Rabu, 24 November 2010

Petani dan Food Estate: Refleksi 50 Tahun Hari Tani

Oleh: Muh. Ilham Usman
(Penggiat Ekopol di Sulawesi Center)


Pada tanggal 24 September 2010 nanti, genap 50 tahun atas lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Produk hukum ini dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno sebagai upaya mengakhiri eksploitasi terhadap petani, menciptakan kebijaksanaan agraria (agrarian policy) yang melindungi masyarakat atas akses kepada tanah, air dan udara serta landasan bagi progam reforma agraria. Dalam kebijakan ini mengandung sebuah keyakinan ukuran keadilan dapat dilakukan dengan melakukan re-distribusi tanah secara adil (land reform). Hari kelahiran UUPA 1960 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963, dijadikan sebagai Hari Tani Nasional.


Petani dari Masa ke Masa

Bung Hatta, Sang proklamator dalam bukunya Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan mengatakan: “Indonesia adalah negara agraria. Oleh karena itu tanah adalah faktor-produksi yang terutama. Baik-buruknya penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah. Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya orang-seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah”.

Penjajahan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya, menurut pemetaan ala Tan Malaka, kolonial Belanda masuk dalam kategori imperialisme autokratis dengan menjadikan sebagian besar bangsawan sebagai kaki tangannya (komprador domestik) dalam merampas sumber dan hasil kekayaan rakyat nusantara kala itu (sebagian besar petani). Beberapa kebijakan yang diterapkan, yakni kebijakan Domein Theori oleh Raffles adalah kebijakan pertama yang merusak tatanan cara produksi masyarakat nusantara. Kebijakan ini menerapkan sistem penarikan pajak bumi atau biasa dikenal dengan sebutan landrente sebesar 2/5 dari hasil tanah garapan para petani. Pasca kebijakan domein theory, Jenderal Van den Bosch melaksanakan kebijakan yang lebih menindas dan menyengsarakan masyarakat kala itu yakni cultuurstelsel atau sistem tanah paksa. Kebijakan yang diterapkan oleh den Bosch adalah pencurian kekayaan alam nusantara dengan mekanisme sistem tanam paksa membuat para petani nusantara dipaksa menanami tanahnya dengan rempah-rempah yang laku dijual di pasar internasional (komoditas ekspor), seperti lada, cengkeh, dan sebagainya.

Penindasan terhadap petani terus berlanjut, pada tahun 1870, keluarlah Undang-Undang Agraria buatan pemerintahan Kerajaan Belanda, yang biasa dikenal dengan nama Agrarische Wet 1870. Isinya, Gubernur daerah jajahan dapat menyewakan tanah yang dikuasai kepada para pemodal swasta. Proses penghisapan ini berakhir hingga tahun 1930-1940an, lahan para petani diambil begitu saja oleh para penjajah dan disewakan kepada para pemodal yang ingin menanam saham atau membuka pabrik-pabrik yang keuntungannya berlipat ganda. Zaman ini, terjadi persinggungan nusantara dengan kaum investor pertama kalinya. Sistem tanam paksa dirubah dengan sistem kerja upah secara bebas. Pendek kata, proses liberalisasi I sepanjang sejarah nusantara bermula dan dimulai, akibatnya kebijakan-kebijakan tersebut, aset-aset (tanah, air dan udara) di bumi nusantara, bukan lagi milik rakyat Indonesia, tetapi telah disewakan secara paksa oleh para kolonial Belanda kepada pihak-pihak swasta.

Dengan sejarah penindasan terhadap petani yang nota bene merupakan “profesi” sebagian besar masyarakat Indonesia kala itu, membuat para founding fathers ingin mengembalikan martabat dan kedaulatan petani Indonesia atas tanahnya dengan membuat Undang-Undang Agraria 1960. Singkat kata, reforma agraria adalah fundamen dalam menata kesejahteraan para petani kecil di pedesaan dan juga untuk menimalisasi jarak antara orang kaya dengan orang miskin.

Dengan demikian tujuan pokok lahirnya UUPA 1960 hingga saat ini masih sangat relevan yakni: (1). Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2). Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. (3). Dan meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hal ini juga ditegaskan oleh sebuah ketetapan MPRS No. II Tahun 1960, dalam kata “menimbang”, antara lain mengatakan: “bahwa syarat pokok pembangunan tata-perekonomian nasional adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme dengan melaksanan land reform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai oleh negara”.


Era Reformasi dan Food Estate

Dalam era neoliberalisme ini, pelbagai kebijakan diamini serta diterapkan oleh pemerintahan hingga detik ini, seperti masih menerapkan perjanjian Agreement on Agriculture (AoA), yakni pemotongan subsidi terhadap sektor publik, termasuk dalam bidang pertanian. Negara melakukan pemotongan subsidi dalam meningkatkan taraf produksi pertanian sehingga harga pupuk dan padi setelah berproduksi mempunyai harga relatif mahal. Kebijakan ini berbanding terbalik dengan kebijakan-kebijakan di negara-negara maju yang melindungi petaninya dengan pemberian subsidi.

Begitu pula, negara lebih memprioritaskan perusahaan swasta-asing untuk melakukan industrialisasi atas lahan tanah sehingga pembukaan lahan tanah yang luas untuk perusahaan besar dalam kegiatan ekonomi (food estate) hanyalah akan menjadikan para petani terpuruk dan lebih terpuruk lagi. Food estate ini akan diselenggarakan di luar pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia yang masih mempunyai lahan tanah luas untuk berproduksi. Akibat terpuruknya, food estate ini bisa me¬ngarah pada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya pendapatan non-pajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di nege¬rinya sendiri. (www.spi.or.id).

Akhirnya, peningkatan angka kemiskinan, minimnya akses ke lapangan kerja, serta tidak berdaulatnya para petani membuat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri, dalam laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), menyatakan, Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia.

Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan instrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya. Oleh karena itu, menerapkan UUPA 1960 menemukan relevansinya, yang selama ini tidak diberlakukan dan tidak juga di cabut, baik pada zaman orba maupun di era reformasi ini.

Semoga, di hari tani nasional ini, para petani di Indonesia lebih makmur dan sejahtera sebagaimana cita-cita para founding fathers nation-state ini. Seorang teman berujar: “Petani semestinya diberikan kedudukan terhormat dan dilindungi, karena merekalah yang menggarap, menanam dan memetik apa yang kita makan”. Dan kali ini saya sangat sepakat bung.

Wallahu Muwaffieq ilaa Aqwamith Tharieq.

Re-aktualisasi Mentalitas Kebangsaan

Makalah telah dipresentasikan pada Pelatihan Kepemimpinan BEM PAI UMI Makassar, tanggal 13 November 2010 Ruang BEM PAI.

Oleh Muh. Ilham Usman, M. Fil. I
(Penggiat Ekonomi-Politik Di Sulawesi Center)


Nama Indonesia diperkenalkan pertama kali oleh duo James Richardson Logan-George Samsuel Windsor Earl (etnolog Inggris). Earl di Journal of the Indian archipelago and eastern asia volume IV, pada tahun 1850 memakai kata Melayunesia untuk nama khas Indonesia, akan tetapi Logan lebih sreg memakai kata Indunesia, terus mengganti huruf u dengan o, maka menjadi Indonesia. Kemudian nama Indonesia dipopulerkan oleh Adolf Bastian dalam bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen archipels dan Die volkev des ostl asien. Maka Indonesia pun lahir dan tegak. Di kemudian hari, seorang pejuang bernama Tan Malaka memperjuangkan kata “republik” dilekatkan dan disandingkan ke kata “Indonesia”.


Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara (Persia, India, Cina) merupakan Islam yang sudah berpengalaman dan matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang telah dilewati. Islam yang telah mengalami berbagai tradisi disebarkan di Nusantara oleh Syekh Abdurrauf al-singkel, Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Abdus Shamad al-Palimbangi, Syekh Khatib Sambas, K.H. Hasyim Asy’ari, dll. Islam ini biasa dikenal dengan Islam yang berhaluan Ahl al-Sunnah Wal-Jama’ah.


Ajaran Islam yang disebarkan merupakan hasil “kreatif” dan telah berinteraksi dengan tradisi setempat. Selain mengajarkan dan menyebarkan Islam yang bersifat fiqh (aturan-aturan agama), juga tak ketinggalan mengajarkan ajaran Islam bernuansa moral-etik-spiritual. Dengan demikian, Islam yang berkembang di Nusantara bercorak fiqh-sufistik, hal ini bersumber pada dua gelombang, yakni: pertama, gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi. Kedua, yakni ketika kolonial Belanda membuka perkebunan besar, banyak anak dari tokoh masyarakat mempunyai duit kemudian menyekolahkan anaknya ke semenanjung Arabia dan kembali lagi ke Nusantara membuka pesantren-pesantren. Berawal dari sinilah, corak Islam Indonesia bernuansa fiqh-sufistik, secara fisik dapat dilihat kitab-kitab klasik yang sering dijadikan rujukan antara lain karya Imam Al-Ghazali (Bidayah al-Hidayah), Ibn Atha’illah al-Askandary (Syarh al-Hikam), dsb.


Menilik dari metode yang digunakan para ulama pendahulu, maka dalam pengambilan keputusan hukum Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual dan ibadah muamalah, para ulama menjadikan fiqh sebagai etika sosial yang memuat beberapa hal, yakni pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab, dari mazhab qaulī menjadi mazhab manhaji. Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok dan mana yang cabang. Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial dan bukan sebagai hukum positif negara. Terakhir kelima, pengenalan pendekatan dan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya. Kelima prinsip yang dijadikan dasar dalam pembuatan suatu perkara hukum dapatlah menegakkan kemaslahatan umum sebagai tujuannya. Manusia sebagai subjek akan mendapatkan tempatnya dalam pemikiran ini dan terhindar dari pemasungan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini terkaburkan oleh peraturan hukum yang tidak memanusiakan manusia. Salah contoh aktualnya termaktub dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan bahwa salah satu makna jihad adalah daf’u dlarar ma’shumin musliman kana au ghaira muslim (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).



Mentalitas Kebangsaan


George Orwell pernah berujar “who control the past control the future, who control the present, control the past” (barang siapa yang mengontrol masa lalu, maka ia telah mengontrol masa depan dan barang siapa pula yang mengontrol masa kini, maka ia telah mengontrol masa lalu). Petikan ujaran ini mengajarkan kepada generasi anak bangsa Indonesia untuk lebih memperhatikan dan memahami masa lalu, memperhatikan realitas hari ini untuk merancang masa depan. Begitu pula dalam membangun mentalitas kebangsaan yang telah sekian lama tidur dan ditidurkan oleh para penguasa.


Hilangnya elan vital Islam sebagai agama yang memanusiakan manusia di Indonesia mempunyai sejarah tersendiri. Hal ini dimulai akibat banyak pemberontakan petani terhadap penjajah yang berasal dari kalangan ulama, haji dan kiai dan para santri membuat berang kolonial penjajah. Oleh karena itu, tampillah Snouck C. Hourgenje dan Sayyid Usman menjadi “polisi keagamaan” dalam membid’ahkan kalangan tarekat dan menarik Islam berjarak dengan realitas sosialnya. Tercerabutnya spirit perlawanan Islam Indonesia adalah hal yang signifikan bagi kalangan kolonial sehingga mampu memperkukuh cengkeraman kolonialismenya di negara ini. Pengjungkir-balikan nilai-nilai Islam yang sejak awalnya membawa spirit pembebasan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dalam melarang atau mengkritik monopoli perdagangan yang dijalankan oleh kaum kafir Quraisy. Begitu pula bagaimana Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada umatnya berkaitan mengangkat derajat kaum lemah dan dilemahkan ke tempat yang mulia dan bermartabat.


Oleh karena itu, untuk menuju kepada re-aktualisasi mentalitas kebangsaan, setidaknya ada tiga langkah yang mesti dilakukan dalam waktu dekat, yakni pertama, penekanan terhadap anak bangsa Indonesia, tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Teladan ini dapat dilihat dari sosok K.H. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.


Kedua, penekanan dalam merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kiai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kiai-kiai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.


Ketiga, penekanan dalam memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Meminjam bahasa Hassan Hanafi, yakni melokalisasi Barat dengan mengembalikan kepada batas-batas wilayahnya dan “menghadang” mitos bahwa budaya Barat adalah “pusat peradaban dunia” dan untuk menjadi maju, maka budaya Barat mesti dijadikan contoh teladan. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kiai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang).


Akhirnya, andalah yang membuat tulisan ini berguna atau tidak sama sekali?

Radikal Karakter

Catatan Kaki ini dipresentasikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) PC PMII Soppeng, Oktober 2010

Oleh: Muh. Ilham


1. Paham Problem Globalitas

Detik ini, kita memasuki era globalisasi. Akan tetapi, era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan. Di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk untung di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir yakni: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia III yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia III, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama GLOBALISASI...”


Senada dengan itu Mansur Fakih (Alm.) juga menyebutkan bahwa globalisasi adalah periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia, di mana terjadi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia. Ini sangat berbahaya sekali, karena peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat-pembuat kebijakan yang berpihak kepada pasar. Di era globalisasi penjajahan tingkat tinggi (IMPERIALISME) terjadi lagi. Sedangkan episode penjajahan-penindasan-penghisapan pertama dan kedua, yakni Periode pertama kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme adalah bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

2. Paham problem Nasionalitas

Kuatnya penetrasi modal Internasional ke dalam tubuh Indonesia, menjadikan nation-state ini bersifat semi-kolonial atau semi-terjajah. Ketergantungan utang luar negeri dan investasi asing dijadikan lahan empuk bagi modal internasional untuk memperkuat cengkeramannya di bumi pertiwi ini. Dan ironisnya, negara tidak berkutik di bawah genggaman modal internasional tersebut. Ideologi pembangunan neo-liberalisme yang dianut oleh Indonesia menjadikan negara kehilangan fungsi sosialnya dan memberikan tempat seluas-luasnya bagi berlakunya free fight liberalism. Di samping itu, di dalam tubuh negara terjadi “proses pembusukan diri sebagai sebuah nation-state”. Kalau dulunya, negara ini diatur dan dikomandoi oleh seorang dictator, (Alm.) Soeharto, sekarang pasca reformasi perputaran kekuasaan (yudikatif, eksekutif, legislative) berada ditangan kekuatan-kekuatan otonom yang bersifat oligarkhis. Para aparatur negara sibuk berkonflik dengan para elit politik lainnya dan tidak ada waktu untuk memikirkan nasib rakyatnya yang terlunta-lunta. Dan dampak berantai akibat konflik elite tersebut merembes ke tingkatan massa-rakyat dan menjadi politik aliran.

Dari sinilah terjadi bentuk nyata dari proses perselingkuhan tidak suci antara kekuatan oligarkhi kekuasaan dengan kepentingan modal internasional yang selalu ditandai dengan konsolidasi ditingkatan kebijakan hukum atau peraturan negara yang mendukung atas kepentingan pasar negara-negara imperialisme atau modal internasional. Ini dapat kita lihat terjadinya titik temu antara investor asing dan aparatur Negara dalam mempengaruhi dan membuat kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dan hanya pro pemodal asing. Misalnya, UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 tentang harga jual BBM, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU ini merupakan syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta, pinjaman ini untuk program restrukturisasi air), Keppres nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya UU Sumber Daya Agraria, Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan masih banyak lagi lainnya.

Selain terjadinya dependecia secara politik oleh negara terhadap mata rantai sistem global neoliberalisme secara menyeluruh dan intensif yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, telah “hancurnya” infrastruktur kekuasaan (negara) yang disebabkan oleh keangkuhan kekuatan konservatif (primordialisme = anti perubahan) dan kekuatan oportunis oligarkis yang menyerap keuntungan dari masa transisi. Sementara pada tingkatan horisontal, rembesan konflik elit di ranah perebutan kue kekuasaan mampu melahirkan konflik SARA yang dalam perjalanannya semakin menguatkan legitimasi kekuasaan politik demokrasi yang bersifat sektarian dan manipulatif. Belum lagi, di masa transisi demokrasi ini malah diperparah dengan semaraknya gerakan-gerakan masyarakat untuk mengidentifikasi diri secara “ngawur” dengan menjadikan primordialisme agama, etnisitas, dan sentimen daerah sebagai basis dan orientasi gerakan.

3. Paham Problem Lokalitas

Pergilah ke Rakyat. Tinggalah bersama mereka. Cintailah mereka. Mulailah dari yang mereka tahu. Bangunlah dengan yang mereka miliki. Namun Pemimpin yang baik, ketika kerja telah selesai dan tugas telah dilaksanakan. Rakyat akan berkata kamilah yang mengerjakannya. (Lao Tse)”


Kalau kita meyakini bahwa basis material revolusi adalah kesadaran, kesadaran revolusioner macam apakah yang kita harapkan menjadi nafas, denyut nadi dan jantung masyarakat kita? Apakah syarat-syaratnya? Adakah momentumnya? Hal inilah yang harus menjadi refleksi dan tindakan bagi kaum pergerakan itu sendiri.

Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA. Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan. Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup masyarakat.



Kekosongan masyarakat (populi vacante) serta kerinduannya untuk segera keluar dari krisis multidimensi ini harus segera diisi dengan pendidikan ekonomi-politik ke dalam seluruh bahasa perjuangan masyarakat Indonesia. Pendidikan sebagai bentuk ideologisasi adalah tahapan awal guna membentuk sistem berfikir yang baru dan melahirkan kader-kader penggerak dan organisasi-organisasi massa yang ulul albab guna memperjelas tahapan keberlangsungan transformasi serta sebagai proses eksperimentasi ideologi untuk mempertanyakan, memperjelas serta memperjuangkan kedaulatan masyarakat Indonesia ke arah pembentukan sistem ekonomi politik yang populistik dan demokratik serta terbentuknya reposisi watak gerakan sosial menjadi gerakan ekonomi-politik yang berani memasuki relung dalam ekonomi politik rakyat Indonesia yang telah menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat.

“Meminjam perspektif psikohistoris foucouldian, hubungan yang sudah terlampau “intens” antara sang penindas dengan mereka yang tertindas melangsungkan bukan saja rentang dominasi atau hegemoni. Lebih jauh, kita semua telah dan sedang mengenyam episode sosial yang dapat kita istilahkan sebagai homogenisasi, suatu keadaan mental dan material yang lahir dari peristiwa identifikasi kolektif dari mereka yang tertindas kepada mereka yang menindas”. Pada episode ini, tidak ada perbedaan mendasar antara sikap dan angan politik golongan tertindas dengan kaum penindas dan menjadi suatu keniscayaan ketika kaum pergerakan tidak mampu melakukan pembacaan yang menyeluruh atas situasi yang melingkupinya dirinya sendiri sebagai seorang individu atau sebagai kelompok pembaharu di tengah-tengah homogenisasi masyarakatnya sendiri pasti akan mengalami nasib tragis yang sama.


Apa Yang Mesti Kaum Pergerakan Lakukan?

Mendorong peristiwa-peristiwa sosial menjadi peristiwa-peristiwa politik, bukan sebaliknya mendorong peristiwa-peristiwa politik menjadi peristiwa-peristiwa sosial. Apa itu peristiwa sosial? Dan apa itu peristiwa politik?. Peristiwa sosial adalah peristiwa yang terjadi di tingkatan rakyat kelas menengah-miskin yang terus menggurita dan belum terselesaikan sedangkan peristiwa politik adalah peristiwa yang terjadi di kalangan elit dari negeri ini. Oleh sebab itu ruang pengorganisiran dan advokasi harus dimaknai sebagai strategi taktik dalam mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik! Untuk itu maka sasaran advokasi yang terdiri dari buruh, petani, kaum miskin kota dan elemen masyarakat yang lainnya haruslah diketahui dahulu apa kebutuhan normatif mereka sampai hari ini. Namun bukan berarti advokasi hanya dimaknai proses perkoncoan semata dalam mendampingi problem-problem masyarakat itu sendiri, melainkan bagaimana kita mampu menjawab mau kemana proses advokasi itu akan berlangsung. Hal ini tentu saja tidak bisa terlepas ideologi sebagai landasan berfikir dalam melihat proyeksi masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang telah digunakan secara luas oleh kalangan pergerakan dalam melakukan advokasi:1. Integrasi, 2. Social Investigation, 3. Prepare Tentatif Program, 4. Group work, 5. Meeting, 6. Rule Play. 7. Mobilization, 8. Evaluasi, 9. Refleksi dan 10. Opinion Building. Langkah ini sering juga disebut sebagai 10 langkah penggorganisiran.
Yang terpenting dalam memahami kerangka dasar dari strategi taktik atas kerja-kerja advokasi, entah itu penggorganisiran sektoral ataupun advokasi kebijakan politik yang tidak berpihak kepada rakyat, haruslah disandarkan atas pembacaan kita dalam memahami struktur penindasan yang terjadi.



Teruslah bergerak sahabat. Perjuangan itu melelahkan, melelahkan belum tentu berbuah, dan berbuah pun belum tentu kita akan menikmati hasilnya.


Wallahu Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq.

Jumat, 16 Juli 2010

Resensi Buku : Melacak Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Sulawesi Selatan

Judul Buku : Camp Pengasingan Moncongloe
Penulis : Taufik
Penerbit : Desantara Foundation dan LAPAR
Cetakan : Pertama, 2009
Pengantar : Erwiza Erman
Tebal : xxii + 270 halaman
ISBN : 978-979-19646-1-6

Dalam buku ini di bagi beberapa bagian, yakni bab I pendahuluan; bab 2 mengupas kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan; bab 3 mengutarakan Moncongloe: dari hutan menjadi kamp pengasingan tapol; bab 4 mengutarakan tahanan politik di Moncongloe; bab 5 menjelaskan pembebasan tahanan politik; dan bab 6 menjelaskan kesimpulan dan saran.

Masuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Sul-Sel
Makassar yang di kenal sebagai kota pelabuhan berpuluh-puluh pedagang singgah, berdagang, hingga bertempat tinggal di Makassar menyebabakan arus pergerakan nasional juga menampakkan wajahnya. Menurut catatan Taufik, pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di “Butta Daeng” ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin. Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami. Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar
Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong “Pemberita Makassar”.

Dengan surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat Sul-Sel untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah. Dan PKI cabang Makassar ini diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.

Dengan gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah. Perlawanan sosial terhadap colonial Belanda menjadi “berhenti dan tiarap”. Dan banyak para akitivisnya yang di tangkap, bahkan ada yang di buang keluar negeri. Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat maupun di daerah-daerah “tidak terdengar” lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat dipatahkah.

Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat Sul-Sel pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya. Hal ini didasari oleh kuatnya control aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan “anti-tesa” dari PKI tersebut. Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sul-sel menjadikan partai ini “melunakkan” propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambing palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).

Walaupun giat melakukan propaganda turun ke grass-root, tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1, 6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative. Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap. Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Da’wah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.

Camp Pengasingan Moncongloe
Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Pelbagai organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan “perlawanan-balik” terhadap PKI yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.

Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila.

Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI (lihat 112-116) Razia, pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya “dijebloskan” ke kamp pengasingan di Moncongloe. Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang. Di penjara, para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam.

Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana. Sebagaimana diteliti oleh penulis buku ini, bahwa Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan “Tanah Merah”.

Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP. 024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya. Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di Sul-Sel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI.

Pengamanan dan penangkapan aktivis dan simpatisan PKI di tangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di kampong Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik (tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto. Begitupula di tempat lain, kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani di tangkap karena mempunyai hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68.

Dalam wawancara peneliti kepada tapol (Cak Gun, namanya) berkata: “Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa salah saya, atau mungkin leluhur saya pernah membuat kesalahan sehingga sayalah yang harus menanggung akibatnya. Saya ditahan pada usia 15 tahun ketika itu saya duduk di bangku SMP kelas II, mana mungkin saya terlibat dalam Gerakan 30 September, sejak di penjara sampai pengasingan, saya tidak mengerti mengapa saya di tahan. Ada apa dengan nasib saya.”. Ini hanya sekedar salah satu contoh bahwa dalam penangkapan G 30 S/PKI, banyak dari tapol adalah salah tangkap. Dan ini bukan hanya terjadi di Sul-Sel, akan tetapi (mungkin) dapat terjadi di tempat lain di luar Sul-Sel.

Sebagai penutup, buku ini sangat penting untuk melengkapi “serpihan” sejarah Indonesia yang tercecer dan belum dikuak-publikasikan kepada khalayak ramai. Semoga buku ini menjadi bermanfaat bagi generasi masa kini dan generasi masa depan. Semoga...

Pendidikan dan Elpiji: Nestapa Buat Rakyat Miskin

Oleh Muh. Ilham Usman
(Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar)


Teringat sebuah pesan Kong Fu Tsu: “adalah lebih baik Anda menyalakan sebuah lilin betapapun kecilnya, daripada anda larut dalam kegelapan”. Harapan, sebuah harapan sangat tergambar jelas dari ungkapan mulia ini. Harapan ini masuk di sudut apa pun, tak terkecuali harapan untuk hidup lebih baik. Bukankah tiap ajaran, filsafat sosial, bahkan agama mengajarkannya, hingga predikat tempat “surga” selalu dijadikan pertarungan terakhir dalam pergulatan hidup ini. Akan tetapi, di negeri ini, harapan hidup lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong, ibarat sate jauh panggang dari api. Harapan pendidikan murah dan “bergizi”, aman dari ledakan elpiji selalu dinanti-nantikan.

Pendidikan mahal dan ledakan elpiji bertemu dalam satu titik singgung, titik singgung ketidaksejahteraan. Semuanya belum terwujud akibat pencabutan subsidi publik secara serampangan oleh negara dengan dalih agar masyarakat Indonesia mampu berdiri sendiri di era globalisasi ini. Bulan ini, penerimaan siswa-siswi di sekolah telah di mulai, tingginya minat orang tua menyekolahkan anak-anaknya tak berjalan lurus dengan biaya pendidikan yang terus melambung tinggi, belum lagi alat perlengkapan yang juga ikut-ikutan naik. Begitu pula, pencabutan subsidi terhadap minyak tanah membuat pemerintah mengalihkan peralatan dapurnya ke elpiji gas. Pencabutan subsidi publik merupakan salah satu bentuk dari alienasi (keterasingan) rakyat terhadap tanah airnya. Rakyat dipaksa untuk “merasa” terasing dari kekayaan alam Indonesia sebagai pemilik sah dari bumi pertiwi.

Alienasi? kata ini anda akan dapatkan, menurut Gunawan Mohammad (GM) dalam tulisan Hegel dengan kata entfremdung dan entässuerung. Entfremdung lahir karena adanya kesenjangan antara kerja dan kebutuhan manusia, sedangkan entässuerung merupakan “hal” yang lahir dari kesenjangan manusia dengan apa yang diproduksi dan diciptakannya. Lanjutnya, GM mengucap Marx dalam filsafat sosialnya lebih dekat ke makna yang kedua itu, entässuerung. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? alienasi juga sedang dan akan menyelimutinya. Alienasi itu lahir dari ideologi kapitalisme, ideologi yang memberikan porsi besar pada pasar dalam menentukan hasil akhirnya. Ironisnya, ideologi ini masih mendominasi kebijakan dan regulasi aparat pemerintah.

Peran Bijak Pemerintah
Mahalnya biaya masuk sekolah dan kuliah serta terjadinya ledakan tabung gas di mana-mana merupakan peristiwa-peristiwa sosial yang seharusnya pemerintah menanganinya secara serius, bukan hanya berkomentar yang tidak memberikan solusi terbaik. Jikalau pemerintah tidak menjalan peran sebagaimana mestinya, maka meminjam bahasa Ackermann (1997), agama sejak lahir merupakan sumber koreksi yang hadir sepanjang zaman, di mana dan kapan pun. Agama, elit agama dan kaum agamawan tidak tinggal diam melihat peristiwa-peristiwa sosial ini. Misalnya dengan mengaplikasikan kaidah fiqh agama menyatakan: “daf’u al-mafsadah muqaddam ala jalbi al-maslahah” (menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Menurut data TVone, ledakan tabung gas di tahun 2010 sebanyak 76 kasus lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Menolak ideologi kapitalisme yang telah ditanamkan oleh Amerika Serikat beserta sekutunya adalah hal yang tak mungkin, karena bisa berakibat fatal terhadap negara ini. Amerika Serikat –walaupun Presiden Obama pernah tinggal di Indonesia- akan melakukan segala hal demi mengukuhkan ideologi kapitalismenya. Maka dari itu, hal yang (segera) mungkin dilakukan oleh negara adalah meningkatkan “produktivitas” sektor strategis seperti sektor pendidikan, kesehatan dan perminyakan. Ketiga sektor inilah yang mempunyai peran strategis dalam (minimal) meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, yang hari demi hari, tertatih-tatih.

Pemaksimalan terhadap ketiga sektor strategis dapat dikategorikan sebagai menolak kerusakan besar yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat, sekutunya dan komprador domestik yang loyal terhadapnya. Pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan perminyakan akan mengantarkan masyarakat miskin dan tidak berpunya yang jumlahnya hampir 37, 17 juta jiwa dari total populasi Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan perbaikan di sektor pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi akan menumbuhkan intelektual-intelektual yang mumpuni dan kreatif menghasilkan alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negaranya dalam mengeluarkannya dari cengkeraman ideologi kapitalisme. Sedangkan di sektor kesehatan dengan subsidi yang cukup dapat memberikan kesejahteraan serta mengurangi penyakit yang timbul akibat asupan gizi yang kurang, dan sebagainya.

Tak kalah penting yakni sektor perminyakan dan gas. Sektor migas adalah menjadi kebutuhan vital menuju negara industrialisasi, maka menjadi penting jikalau sektor migas mendapat perhatian lebih dibanding sektor lain dalam menunjang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya tabung gas hasil konversi dari minyak tanah yang banyak mengalami ledakan, menurut koran media Indonesia.com, “pemerintah hanya menyiapkan slang, regulator, dan katup tabung elpiji yang harus ditebus oleh penerima program konversi minyak tanah ke gas sebesar Rp45.209 untuk Jawa dan Bali. Dana sebesar itu digunakan untuk menebus slang dengan harga pabrik Rp12.435, regulator Rp17.774, dan katup tabung Rp15.000”. melihat kenyataan ini, solusi yang diberikan oleh pemerintah seakan “ingin” lepas tangan dari permasalahan yang dihadapi oleh penerima tabung gas tersebut. Ironis bukan?

Akhirnya, memberi perhatian lebih terhadap tiga sektor strategis (pendidikan, kesehatan dan migas) ini merupakan manifestasi dari peniadaan alienasi (keterasingan) rakyat miskin dari sumber-sumber daya alamnya. Oleh karena itu, peran dan tanggungjawab pemerintah/negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya sangat diperlukan, meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti “hidup” (to live), bukan dalam arti “ada” (to exist), maka untuk tetap to live dan to exist, langkah maju dari amanat reformasi ’98 adalah melanjutkan kerja-kerja pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Lilin telah dinyalakan di era reformasi, redup atau memberi terang tergantung bagaimana pemerintah menjaganya dari terpaan angin. Hal ini mudah dikatakan, tapi sangat sulit dilaksanakan bukan?

Selasa, 13 Juli 2010

Negara dan Militer

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Di Universitas Hasanuddin
Makassar, 03 April 2010

Indonesia, lebih baik di bom atom sekalian daripada tidak merdeka 100 %
(Jendral Besar Sudirman)

Petikan penyataan diatas menyiratkan bahwa seharusnya negara Indonesia sebagai tempat manusia-manusia Indonesia berpijak, merdeka dan berdaulat atas tanah, air dan udaranya. Merdeka dan berdaulat atas ekonomi dan politiknya. Ironisnya, yang terjadi adalah semua kekayaan alam Indonesia dicaplok, diperas dan dikikis habis-habisan oleh para pemodal internasional (perusahaan internasional seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Shell, dsb). Massifnya penetrasi modal internasional membuat negara ini sangat tergantung, akibatnya, penentu kebijakan ekonomi sekaligus politik ada di tangan para pengusaha luar negeri yang bergandeng-tangan dengan para penguasa, pengusaha dalam negeri dan militer. Posisi ini menjadikan negara Indonesia bersifat semi-kolonial, setengah dijajah atau belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Rakyat Indonesia sebagai pemilik sah atas kekayaan alam Indonesia, ternyata dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan besar milik pengusaha luar negeri.

Peranan negara sebagai pelayan massa-rakyat dalam mensejahterakan, memakmurkan dan menjaga keamanan belum terpenuhi. Negara sebagai fasilitator bagi segala kepentingan rakyat Indonesia diabaikan begitu saja. Segala peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan SBY-JK tidak berorientasi dan berpihak pada rakyat, mulai dari kenaikan BBM, keppres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, swastanisasi BUMN, dan sebagainya. Memang benar, Indonesia telah merdeka bertepatan dengan dibacakannya TEKS PROKLAMASI oleh Soekarno-Hatta, tetapi faktanya tidaklah demikian. Negara justru menjadi hamba atau budak lewat cara membuat kebijakan-kebijakan “hasil pesanan” para kaum kapitalis monopoli.

Begitupula dengan reformasi, yang dielu-elukan sebagai pembawa angin segar bagi perbaikan negara Indonesia, tidaklah bersua. Alih-alih memberikan perbaikan bagi kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya bangsa Indonesia, malahan yang terjadi adalah penindasan dan penjajahan yang lebih parah lagi. Penindasan dan penjajahan ini justru dilanggengkan oleh Aparatur negara sendiri. Menurut Louis Althusser, seorang tokoh pembebasan Eropa, membagi aparatur negara menjadi dua, yakni Ideologi State Aparatus (ISA) yang bekerja secara persuasive dan ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dsb. Sedangkan Represif State Aparatus (RSA) yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan, seperti polisi, militer, penjara, pengadilan, dsb.

Sejarah Lahirnya Militer
Pada tahun 1825-1830 telah terjadi perang Jawa yang sangat dahsyiat antara pangeran Diponegoro dengan VOC. Walaupun kemenangan berada di tangan VOC, tetapi perang ini menyebabkan VOC bangkrut dan bubar, kemudian kerajaan Belanda mengambil alih seluruh yang berkaitan dengan VOC, termasuk tentara. Akibat perang yang dahsyiat itu, VOC kehilangan tentara sebanyak 15. 000 orang, dengan estimasi 7. 000 tentara VOC dan 8. 000 tentara yang dipasok dari para raja yang pro terhadap VOC. Atas dasar inilah, Kerajaan Belanda yang berkuasa di Hindia Belanda sepeninggal VOC, membangun tentaranya dengan KNIL (Koninklijk Nederlandhsch Indische Leger) yang berfungsi sebagai menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri.

Para tentara KNIL atau biasa disebut kompeni inilah yang menjadi penjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas colonial Belanda di negeri Indonesia. Pendek kata, jika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh para pahlawan kita dalam perjuangan kemerdekaan, maka KNIL - yang para anggotanya banyak direkrut dari para pemuda miskin Indonesia - menjadi garda depan dalam menghalangi perjuangan tersebut. Belanda dengan Politik devide et impera (politik pecah-belah) dapat mematahkan perjuangan-pergerakan para pahlawan Indonesia. Dan dengan kekuatan KNIL pulalah, Belanda melanggengkan penindasan dan penjajahannya di bumi persada ini.

Menjelang kekalahannya dari Jepang, KNIL mengalami pergeseran dalam rekruitmen dan fungsinya. Dari segi rekruitmen banyak golongan terpelajar, golongan kaya dan golongan aristocrat yang diterima menjadi anggota KNIL, antara lain Didi Kartasasmita (keturunan keluarga Menak yang sangat dihormati di Sunda), Surjadi Surjadharma (bangsawan Jawa keturunan Banyuwangi), Pangeran Purbonegoro dan adiknya BKPH Djatikusumo (putra dari Susuhan Pakubuwono X dari Surakarta, Ahmad Junus Mokoginta (seorang aristocrat dari Kotamobagu, SULUT), Alex Kawilarang, A. H. Nasution, TB. Simatupang, Rahmat Kartakusumah, Askari, dan lain sebagainya. Sedangkan dari segi fungsinya, tentara KNIL tidak hanya menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri, tetapi juga mempertahankan Hindia Belanda (Indonesia) dari serangan tentara Dai Nippon Jepang.

Pada tahun 1942, Jepang mengalahkan dan memukul mundur Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Jepang pun menguasai negara Indonesia. Akan tetapi, kekuasaan Jepang atas Indonesia tidak berlangsung lama. Dikarenakan di luar negeri, Jepang secara bertubi-tubi diperangi oleh tentara Belanda dan sekutu sedangkan di dalam negeri, Jepang “disibukkan” dengan perjuangan kaum muda Indonesia dalam menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dititik persinggungan inilah, Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) sebagai kekuatan yang dapat menggempur tentara sekutu, jikalau tentara sekutu memasuki wilayah Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh Ruslan Abdul Gani , pertama, semakin terjepitnya tentara Jepang di Lautan Pasifik, di Pasifik Utara, tentara Jepang berhasil di usir dari kepulauan Alexantian; di pasifik Tengah, armada Amerika siap mendekati Filipina; di pasifik Selatan, pasukan Jepang berhasil dipukul mundur dan direbutnya kembali kepulauan Solomon; di pasifik Barat Daya, tentara sekutu mulai memasuki Papua dan pantai Nugini. Kedua, sebagai akibat dari semakin terjepitnya tentara Jepang oleh tentara Sekutu di Lautan Pasifik, maka Jepang pun merekrut para pemuda guna mempertahankan angkatan perangnya. Ketiga, tumbuh-kembangnya semangat nasionalisme dan patriotisme di jiwa para pemuda Indonesia, maka banyaklah para pemuda mendaftarkan diri menjadi bagian dari tentara sukarela bentukan Jepang.

Selain PETA, berdiri pula laskar-laskar rakyat yang berjuang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia 100 %. Di dalam sejarah Indonesia, kelompok inilah yang menculik dan memaksa Soekarno-Hatta untuk membacakan TEKS PROKLAMASI. Di era ini, kaum muda yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat kembali memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson, bahwa revolusi kemerdekaan 1945 adalah REVOLUSI PEMUDA.

Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Laskar Rakyat “ditelikung”
Pada tanggal 5 Oktober 1945, para bekas-bekas tentara PETA, KNIL serta beberapa badan perjuangan pemuda melakukan konferensi di Yogyakarta dan menghasilkan pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mendirikan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta dan mengangkat Panglima-sendirinya. Schodanco Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Mayjend Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR. Dikarenakan, Schodanco Supriyadi tidak pernah muncul sesudah pemberontakan PETA, maka terjadi perubahan hirarki-struktural dalam TKR, Muhammad Sulyoadikusumo diangkat sebagai ad interim. Di dalam pengangkatannya Muhammad Sulyoadikusomo berpidato bahwa “Pemerintah Republik Indonesia lagi berusaha menyusun secepat-cepatnya Tentara Keamanan Rakyat untuk menanggung keamanan dalam negeri. Tentara Keamanan ini didirikan, supaya tiap-tiap orang nanti merasa aman sehingga tidak perlu lagi-lagi tiap-tiap orang atau golongan bertindak sendiri-sendiri untuk menjaga keamanannya. Yang perlu sekali sekarang untuk mencapai susunan yang teratur dalam negeri ialah disiplin, dan kemauan untuk tunduk kepada kekuasaan negara yang sah. Dan janganlah orang atau golongan sendiri-sendiri melakukan kekuasaan yang menjadi hak pemerintah” .

TKR ini terus bertahan hingga pada tanggal 29 Januari 1948, Bung Hatta resmi menjadi Perdana Menteri menggantikan Amir Syarifuddin. Dan sebagai salah satu programnya adalah Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa). Sebagai rencana tindak lanjut dari program ReRA, maka pada tanggal 27 Februari 1948 pemerintah mengeluarkan Keppres No. 9 mengenai rencana ReRa dalam tubuh Kementerian Pertahanan maupun dalam Markas Besar Angkatan Perang. Dalam kementerian Pertahanan dibentuk Staf Umum Angkatan Perang dengan pimpinan Komodor Suryadhama dan wakilnya Kolonel Simatupang. Sedangkan Jendral Sudirman ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil dan wakilnya Mayjend AH. Nasution.

Kawan-kawan sekalian, janganlah berpikir jikalau program ReRa ini berjalan mulus dan tak ada penentangnya. Dengan adanya Keppres No. 9 yang isinya berbunyi bahwa “anggota militer yang sah adalah yang pernah mendapatkan pendidikan militer”. Ini berarti bahwa Laskar-laskar rakyat – yang tak pernah mendapatkan pendidikan militer - “nggak direkeng dalam pemerintahan”. Suara-suara KETIDAK-SETUJUAN dengan program ReRa ini pun bergema, diantaranya Badan Pemberontak Indonesia di bawah komando Bung Tomo adalah laskar rakyat yang pertama kali berteriak lantang untuk mengatakan “TIDAK” pada program ReRa inini (sebagaimana diketahui bersama bahwa dibawah komando Bung Tomo lah, terjadi perang arek-arek suroboyo yang terkenal dengan hari Pahlawan), lasykar yang dibentuk Nahdlatul Ulama juga berteriak kemudian disusul laskar-laskar rakyat lain. Sedangkan Divisi Ke-IV Senopati (didalamnya terdapat laskar-laskar rakyat, antara lain Pesindo, BPRI, Barisan Banteng, Hizbullah, dll), yang berkedudukan di Surakarta di bawah pimpinan Mayjend Sutarto (ex-PETA) adalah kubu terbesar dalam menolak ReRa. Pertentangan antara kubu pro-ReRa dan kontra-ReRa terus terjadi mulai dari teror, penculikan mengintai para prajurit maupun perwira angkatan perang hingga gencatan senjata.

Peristiwa ini merembes ke mana-mana, sehingga Jenderal Besar Sudirman pun turun-tangan dan bertindak menangani problem ini, akhirnya pertentangan pun reda. Tapi, tak berselang lama, genjatan senjata pun terjadi antara kubu divisi ke-IV Senopati dan divisi pemerintah yang diwakili oleh divisi Siliwangi, dengan akhir kekalahan di kubu kontra-ReRa. Dengan sisa-sisa pasukan divisi ke-IV, mereka pun kembali membangun kekuatan dengan berafiliasi dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin. Mereka yang berjuang agar program ReRa dihapus, didesak ke pinggir dan ironisnya, dituduh berbuat makar dan ingin melakukan tindakan kudeta terhadap pemerintah pusat. Akibat tuduhan tersebut, mereka “dihabisi tak tersisa” oleh tentara pemerintah. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa berdarah Madiun 1948 (Madiun Affairs) . Dengan “dihabisinya” gerakan ini, maka pupuslah sudah harapan kubu kontra-ReRa (Laskar Rakyat) “berkiprah” dalam memperjuangkan agar program ReRa ini dihapus.

Akhirnya, Kaum muda Indonesia yang mempunyai peranan penting di dalam revolusi kemerdekaan “dihabisi” oleh saudara sebangsa dan setanah-airnya sendiri. Kematian yang sangat tragis.

Eks-PETA, para pejuang yang tersingkir secara tragis.
Dengan wafatnya Jenderal Besar Sudirman, konflik para tentara ex-KNIL dan ex-PETA pun kembali terulang. Pertama, dari golongan mana yang berhak menjadi panglima besar. Kedua, tentang ideology militer di bawah pemerintahan sipil, apakah sebagai alat negara (ex-PETA) atau sebagai pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet (ex-KNIL). Oleh karena Itulah, Persaingan untuk merebut kursi pimpinan AD menjadi sangat penting, dengan jabatan ini dapat menentukan posisi dan kedudukan tentara/militer di dalam tubuh negara.

Bak gayung bersambut, para perwira ex-KNIL menempati posisi penting di Departemen Pertahanan dan MBT. Dan untuk mengimplementasikan ideologi militernya, maka AH. Nasution selaku KSAD menyusun strategi pembangunan AD yang terdiri dari program jangka pendek dan jangka panjang ke kabinet Wilopo, diantaranya melakukan Re-Ra. Program ReRa adalah program kedua kalinya di dalam sejarah militer Indonesia. Di dalam paket program Re-Ra ini, ada tiga golongan yang akan dibebas-tugaskan, pertama, prajurit-prajurit yang sudah pensiun; kedua, prajurit-prajurit yang sakit-sakitan atau yang secara fisik tidak cocok untuk tetap dalam tugas aktif; dan ketiga, prajurit-prajurit yang korup, melakukan tindakan kriminal, dsb. Dari program Re-Ra ini, para prajurit dan perwira ex-PETA yang kurang berpendidikan tetapi pernah mendapat pelatihan militer (terancam) tersingkir.

Seperti program Re-Ra I, suara-suara penolakan pun mulai bermunculan di mana-mana, dengan tokoh sentralnya Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis dan Panglima Divisi V Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng. Konflik antara pro-ReRa dan Kontra-ReRa terus terjadi, bahkan menjadi perbincangan hangat di parlemen, sehingga problema ini berlarut-larut dan tak terselesaikan. Campur tangan sipil dalam konflik di dalam tubuh militer, memerahkan telinga dan membuat geram para petinggi militer, hingga akhirnya terjadi peristiwa peristiwa 17 Oktober 1952, suatu preseden yang paling mencoreng sejarah militer. Ribuan pasukan dengan persenjataan berat dikerahkan mengepung istana untuk mengancam kabinet sipil. Akan tetapi, kudeta yang dikoordinir oleh AH. Nasution gagal.

Akibat kegagalan kudeta tersebut, terjadi perpecahan internal di tubuh AD. Tetapi perpecahan itu dapat diperdamaikan dengan diadakannya konferensi di Yogyakrata yang melahrkan “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Maka, diangkatlah Bambang Sugeng sebagai KSAD dan wakilnya Zulkifli Lubis. Konflik pun masih terus berkecamuk di dalam internal AD dan KSAD Bambang Sugeng menyatakan mengundurkan diri, dikarena tidak mampu menangani dan membenahi konflik tersebut.

Siapa yang berhak menjadi KSAD? Menjadi pemicu konflik internal AD. Di dalam perkembangan konflik tersebut, akhirnya pada tanggal 25-28 Oktober 1955 AH. Nasution terpilih kembali menjadi KSAD. Spontan, Mahidin Simbolon, Alex Kawilarang dan J. F. Warouw menolak keputusan tersebut.

Setelah dilantik AH. Nasution langsung mangadakan mutasi terhadap para perwira yang
menentangnya. Secara otomatis, kemarahan pun tersulut. Dan mengakibatkan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah. Hingga akhirnya, negara Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat. Dan atas perintah AH. Nasution, para pemberontak di daerah-daerah “diadili” dengan menggunakan senjata. Dengan diberlakukannya UU keadaan Bahaya (Staat van Oorlog en Beleg), maka militer mempunyai peranan dan kedudukan penting di dalam Republik Indonesia. Di aras inilah, militer yang dikomandoi oleh AH. Nasution menjadi “penguasa tunggal” dan secara resmi memasuki wilayah sosial-politik.

Ex-KNIL, Sang Penguasa Baru
Militer profesional dan bukan alat negara yang dikomandoi oleh AH. Nasution mencapai puncaknya. Tidak ada lagi aral melintang. Dengan angkuh, sombong, militer pun melangkah bak peragawati berjalan lenggak-lenggok di catwalk. Pada suatu acara wisuda di Magelang, Jendral AH. Nasution berpidato bahwa ABRI bukan sekedar alat sipil seperti di negara Barat, tapi juga bukan Rezim militer yang mendominasi kekuasaan negara, melainkan salah satu dari kekuatan masyarakat. Konsep jalan tengahnya inilah, menjadi embrio dari Dwi Fungsi ABRI, yang pada era reformasi dituntut untuk dicabut. Dengan Dwi Fungsi ABRI, maka secara tersirat ABRI menjadi pengontrol negara dan masyarakat, baik dari segi pertahanan, keamanan, sosial, politik, budaya, dll.

Pada tahun 1950-1965, dominasi ABRI di level sosial dan politik begitu terasa, seperti dikeluarkannya dekrit Presiden 1959, ditangkapinya berbagai tokoh partai yang keluar dari “koridor” konstitusional ala AH. Nasutionn dan beralihnya era demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Kesemuanya ini adalah konsep AH. Nasution yang dijalankan oleh Presiden Soekarno secara paksa. Pendek kata, zaman ini adalah zaman militer ala AH. Nasution.

Akan tetapi, disela-sela zaman ini muncul PKI sebagai kekuatan penyeimbang. Di zaman ini, PKI “bisa dikatakan” sebagai pahlawan dalam memperjuangkan demokratisasi. Pertentangan antara ABRI dengan PKI dalam memperebutkan pengaruh ditingkatan masyarakat terus berlangsung, hingga akhirnya terjadi konflik berdarah pada tahun 1965/1966.

Membaca sejarah secara jernih dan terang, sangatlah dibutuhkan dalam melihat peristiwa 1965/1966. Agar supaya kita tidak salah memahami dan kepada siapa kita memihak. Sungguh hal yang menyedihkan, jikalau kita menyalahkan PKI sebagai pembuat makar dan pemberontak di dalam negara Indonesia. Bagi penulis, PKI adalah pahlawan yang memperjuangkan tegaknya demokratisasi di negara ini dengan reforma agraria, akan tetapi kesahannya PKI terlalu tergesa-gesa melakukan reforma agraria, ketika ABRI dengan senjata modernnya justru melanggengkan penindasan dengan cara menginjak-injak Hak Azasi Manusia dan “memandulkan” arti demokrasi.

Pasca peristiwa 65/66, kembali militer menjadi “penguasa tunggal” di negara Indonesia. Jutaan nyawa manusia melayang, dibantai, dihabisi dengan alasan menyelamatkan Indonesia dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua organisasi, partai, kelompok diskusi yang berhaluan kiri dan “dindikasi” berlabel PKI di bubarkan secara paksa. Tidak ada yang tersisa. Di era orde baru ini yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto, militer dengan gagahnya kembali menjadi penindas-penindas baru dengan peran Dwi fungsi ABRI. Di titik inilah, Peran sosial-politik ABRI mendapat legitimasi MPR melalui TAP MPR No. XXIV/MPRS/1966 dan pada tahun 1982, Dwi Fungsi ABRI mendapatkan kekuatan hukum melalui UU No. 20 tahun 1982.

Kepada kawan-kawan sekalian, jikalau muncul pertanyaan, apakah kita harus menolak keberadaan militer atau tidak. Kita tidak menolak keberadaan militer, justru yang kita tolak adalah MILITERISME, ideologi militer. Militer harus tetap ada, tetapi ideologi yang bersifat militer mesti kita tolak secara mentah-mentah. Kiprah dan peran militer di level pertahanan masih sangat diperlukan, tetapi di level politik mestilah DICABUT.

Kawan-kawan sekalian, Selamat datang di negeri yang masih dijajah dengan baju baru oleh ideologi yang melahirkan kebijakan dan regulasi yang tak berpihak kepada rakyat miskin dan papa. Inilah realita di negara Indonesia, sebagaimana yang digoreskan oleh Wiji Thukul dalam puisinya: Di tanah ini // Terkubur orang-orang yang // Sepanjang hidupnya memburuh // Terhisap dan menanggung hutang // Di sini // Gali-gali // Tukang becak // Orang-orang kampung // Yang berjasa dalam setiap pemilu // Terbaring // Dan keadilan masih saja hanya janji // Di sini // Kubaca kembali; // Sejarah kita belum berubah!

Penutup
ANDA Sebagai generasi pelanjut bangsa Indonesia memikul tanggungjawab lebih besar. Sebab masa depan Indonesia tetap berada di tangan kaum muda. Oleh karena itu, Tugas Nasional Pemuda adalah perjuangan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala Neo-Kolonialisme dan Imperealisme, Tugas Demokrasi Pemuda adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis dan Tugas Kerakyatan Pemuda dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas.

Semoga KAMI tidak salah menaruh harapan kepada ANDA, Sebagaimana yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam bukunya Revolusi Harapan bahwa harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan social agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan. “MEI 1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia menemukan sejarah dan kemanusiannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan para pemuda satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah carut-marut keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimpin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis. Situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideology ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan. Pemuda satu-satunya tenaga tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan. Dan pemuda adalah tenaga inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran kaum penindas atas mereka yang tertindas, sehingga rantai pembodohan-pemiskinan rakyat dapat segera dihancurbuyarkan”. (Manifesto Politik FPPI)

Di akhir tulisan ini, penulis hanya ingin menyitir tulisan Paulo Coelho, dalam novelnya yang berjudul The Alchemist: “orang menjadi tua tidak karena bertambahnya usia, tetapi karena ia menyerah dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citannya. Ia tidak menjadi tua karena kisut kulitnya, tetapi karena meringkus jiwanya. Kamu akan muda semuda kepercayaanmu, dan kamu akan tua setua keraguanmu. Kamu akan muda semuda harapanmu, dan kamu akan tua setua keputusasaanmu. Maka sejauh keindahan, kegembiraan, keagungan dunia, manusia dan Tuhan merambati hatimu, kamu akan tetap tinggal muda selamanya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya”.

”Sampai Ketemu Di Medan Perjuangan”

“Perjuangan selalu melelahkan. Dan yang melelahkan itu belum tentu berbuah. Dan jika berbuah belum tentu bisa ikut menikmati hasilnya

Jika Tan Malaka Masih Hidup?

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Universitas Negeri Makassar

Tanggal 19 Februari 1949, masih ingatkah peristiwa yang terjadi kala itu? Malam naas dan tragis bagi Tan Malaka, sang pejuang nasionalis revolusioner. Tertembaknya Tan Malaka oleh saudara sebangsa dan setanah-airnnya dari kalangan tentara reguler Macan Kerah, Brigade “S” di bawah pimpinan Letkol Surachmad di desa Pethok, Kediri. Akhir tragis bagi si pejuang kemerdekaan nasional. Dan beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 53 tahun 1963 yang isinya menganugerahkan gelar pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Tan Malaka.

Persatuan Perjuangan
Pasca-kemerdekaan 1945, Bung Hatta mengeluarkan Manifesto Wapres no. X tanggal 1 November 1945 yang memaklumatkan agar partai-partai politik segera didirikan. Bak gayung bersambut, partai-partai politik pun tumbuh dan berkembang bak jamur di musim hujan. Sedangkan di sisi lain, situasi dan kondisi Indonesia-muda masih sangat rentan terhadap penjajah Belanda.

Sebagai pejuang yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan 100% bagi negaranya, Tan Malaka sangat kecewa dengan sikap yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah sangat bertolak-belakang dengan kemauan rakyat. Karena menurut, Tan Malaka banyaknya partai yang bermunculan hanya akan membuat negara Indonesia lemah dan tak berdaya di hadapan para penjajah. Dan memang benar, Indonesia-muda mengalami “konflik elite politik” di dalam tubuhnya sendiri.

Melihat akan hal ini, Tan Malaka berinisiatif membentuk suatu wadah untuk mengkoordinasikan partai politik, laskar, dan badan-badan perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan 100 %. Dan dalam sejarah Indonesia, Tan malaka berhasil menghimpun dan menyatukan 141 organisasi terdiri atas partai politik, organisasi kepemudaan, kelaskaran rakyat, dan tentara Indonesia, berkumpul sebagai bentuk kritik terbuka atas cara-cara diplomasi pemerintah pusat lewat perjanjian-perjanjian yang sangat merugikan posisi politik dan kepentingan rakyat nasional, sebelumnya pada tahun 1925-1926, Tan Malaka juga pernah membicarakan pentingnya persatuan dan kesatuan, diantara pan-Islamisme, kaum nasionalis dan kaum “merah” dalam mengusir penjajahan kolonial Belanda. (Takashi Shiraishi: Zaman Bergerak).

Persatuan Perjuangan (PP) yang didirikan oleh Tan Malaka berhasil merumuskan minimun program, antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 %; pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintahan dengan kemauan rakyat); tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat); melucuti tentara Jepang; mengurusi tawanan bangsa Eropa; menyita (membeslag, confiscate) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun); menyita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll).

Konflik Elit Politik
Cita-cita reformasi yang terhadang oleh pertikaian elit politik, hanya melahirkan oligarkhi ekonomi dan politik, walaupun beberapa saat lalu Gus Dur dengan dukungan poros tengah pernah menata perekonomian dan perpolitikan dengan baik.

Hal ini diperparah dengan masih terjerembabnya Indonesia dalam posisi semi-kolonial terhadap penjajah asing menjadikan para penyelenggara negara tidak dapat berbuat banyak, selalu di suntik dan di paksa untuk mengikuti petunjuk dari “negara luar”. Apa lacur, nation-state ini tidak hanya keropos dari luar tetapi dari dalam pun sudah di depan mata.

“Malasnya” negara mengurusi tumpukan permasalahan sosial yang dihadapi oleh massa-rakyat, membuat rakyat bersikap apatis terhadap negara sebagai penanggungjawab dalam pemulihan permasalahan-permasalahan sosial. Negara berjalan ke kanan sedangkan massa-rakyatnya berjalan ke kiri. Sungguh ironis.

Terperangkapnya para elit politik yang hanya sibuk mengurusi peristiwa-peristiwa politik dan kekuasaan dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa sosial, seakan membuat kita sekalian bertanya apakah partai politik (parpol) pernah melakukan kaderisasi dan pendidikan politik terhadap kader-kadernya yang berkiprah di pentas perpolitikan nasional saat ini.

Bagi penulis, ada baiknya para elit politik “membaca-ulang” minimum programnya Persatuan-Perjuangan ala Tan Malaka yang dibuat guna mendaulatkan rakyat Indonesia, baik dari luar maupun dari dalam. Harapan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, selalu akan ada dan terpatri, mengutip Erich Fromm bahwa “harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan sosial agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan”.

Jika pejuang nasional itu masih hidup hingga detik ini, penulis yakin ia akan kembali melanjutkan Persatuan-Perjuangannya demi menghindarkan negara dan rakyat pada kehancuran. Semoga, di hari wafatnya ini, gagasan Tan Malaka terus dapat diapresiasi dan tidak lagi dipinggirkan ke panggung sejarah. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Semoga…

Gugatan Pendidikan Islam Terhadap Globalisasi

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pendidikan Islam di Universitas Mandar As'ariyyah (UNASMAN) Polewali Mandar, Sulbar.

Detik ini, era globalisasi sedang dan telah bergelinding. Era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan, ia adalah keharusan zaman. Tetapi di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk keuntungan di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir dalam buku Imperialisme Abad 21: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi...”

Maka tidaklah heran jikalau Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

Sedangkan periode ketiga, yakni globalisasi, terjadinya pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pasar.

Tantangan Pendidikan Islam
Bagaimana respon pendidikan Islam terhadap globalisasi? Apakah pendidikan Islam menerima globalisasi dan dampaknya atau menolak hal tersebut? Menurut Dr. Mahmud Arif dalam bukunya Pendidikan Islam Transformatif menulis bahwa sejak masa keemasan Islam, pendidikan Islam dapat dipetakan dalam dua arus utama aliran, yakni aliran konservatif dan aliran rasional. Aliran konservatif (al-Muhafizh) adalah aliran pendidikan Islam yang mempunyai kecenderungan “keagamaan” sangat kuat dengan ciri-cirinya hanya memaknai ilmu terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan, berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap “mengecilkan” dunia, dan menganggap ilmu hanya untuk ilmu. Titik ujungnya hanya dimaknai sebagai pewarisan budaya.

Sedangkan aliran rasional adalah aliran yang berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi (natiqah, ghadhabiyyah, dan shahwatiyyah) yang dimiliki individu sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual, antara lain hikmah (kemampuan mengetahui, berpikir, menalar dan memilah), ‘iffah (kemampuan mengendalikan keinginan sesuai dengan pertimbangan akal sehat), shaja’ah (kemampuan mengarahkan semangat/keberanian selaras pertimbangan akal sehat) dan ‘adalah (kemampuan menyeimbangkan antarberbagai potensi diri). Dengan pelbagai potensi ini dapat menjadikan manusia yang terdidik dengan pendidikan Islam menpunyai pola pikir dan cara pandang yang kritis-transformatif dan kritis-praksis terhadap globalisasi.

Ikhwan as-Shafa sebagai pelopor pendidikan Islam kritis-transformatif, melihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya berkutat pada pembinaan moral personal semata, akan tetapi juga mesti diarahkan pada pembinaan moral sosial. Dengan moral sosial inilah, maka pendidikan politik dijadikan sebagai agenda dalam melakukan transformasi sosial. Pendidikan politik dapat dijadikan sebagai alat bagi ummat Islam Indonesia untuk meningkatkan

Dengan pembinaan moral sosial, maka tugas pendidikan Islam dapat dipetakan menjadi tiga bagian. Yakni pertama, bahwa tugas nasional pendidikan Islam adalah memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kyai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang)

Kedua, tugas demokrasi pendidikan Islam adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kyai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kyai-kyai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.

Dan ketiga, tugas kerakyatan pendidikan Islam dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas. Pendidikan Islam aliran rasional ingin menekankan bahwa seorang pendidik tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Hal ini pula telah dicontohkan oleh KH. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.

Penutup
Dari uraian di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan ranah khatulistiwa ini tercerahkan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pendidikan Islam menjadi garda depan transformasi sosial menuju negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan (Tri Sakti ala Soekarno). Dengan pendidikan Islam beserta varian lembaganya pula dapat melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, kritis, kreatif, inovatif, dan tidak fanatik terhadap fundamentalisme agama yang justru menumbuh-kembangkan truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) serta fundamentalisme pasar yang menumbuh-kembangkan sistem ekonomi kapitalisme ortodoks. Semoga...

Kemiskinan Masih Menghimpit

Pernah Dipresentasikan Dalam Latihan Kader Kab. Mamuju Utara Sulbar
Tahun 2009


Di tanah ini// terkubur orang-orang yang//sepanjang hidupnya memburuh//terhisap dan menanggung hutang//di sini//gali-gali//tukang becak//orang-orang kampong//yang berjasa dalam setiap pemilu//terbaring//dan keadilan masih saja hanya janji//di sini//kubaca kembali//: sejarah kita belum berubah!//

Petikan puisi Wiji Thukul di atas seakan menyiratkan sejarah perjalanan nation-state Indonesia yang terus berada dalam jurang kehancuran. Mulai dari Penindasan, diskriminasi sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidaksetaraan gender dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya ini terjadi dan dirasakan hingga ke dalam relung batin masyarakat Indonesia. Sungguh ironis, negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, akan tetapi masyarakatnya berada dalam “penindasan yang sungguh sangat tragis”. Penindasan serta penjajahan yang dirasakan oleh massa-rakyat Indonesia erat kaitannya dengan konteks globalitas dan nasionalitas yang dialami oleh negara saat ini.

Di dalam konteks globalitas, sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya ideologi kapitalisme neo-liberal sedang menanamkan kukunya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kemerdekaan Indonesia yang sudah berlangsung selama hampir 63 tahun, tidak lantas dengan mudah membebaskan rakyat kita dari penjajahan dan penghisapan dari para pemilik modal yang terus-menerus melanggengkan suatu praktek kolonialisme dan imperialisme yang berkepanjangan. Rakyat Indonesia sendiri telah lama terasing dari tanah airnya sendiri yang telah dilakukan oleh modal internasional melalui kaki-tangannya pada masa Orde Baru dan masih terus dilanggengkan hingga detik ini. Kekosongan masyarakat (baca: massa mengambang/depolitisasi) yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru telah mengantarkan masyarakat kita menjadi budak dinegerinya sendiri. Sementara itu, pemerintah yang berwatak kapitalisme birokratik terus-menerus mengulang kesalahan yang sama dengan kesalahan yang dilakukan di masa lampau, menjadi pemuja kemegahan pembangunan manusia Indonesia secara fisik dan mental yang senyata-nyatanya malahan justru menyengsarakan rakyat sendiri.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi persoalan yang cukup besar menyangkut tanah, air dan udara yang dikuasai oleh pihak asing. Kedaulatan nasional yang dicita-citakan oleh para founding father negeri kita senyatanya tidak terwujud setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang mensyaratkan pembayaran denda kerugian perang yang dikeluarkan oleh Belanda dalam perang kemerdekaan. Indonesia pun mulai berhutang kepada Amerika Serikat sejak saat itu. Pada masa Orde Lama, pemerintahan Sukarno menyerukan kemerdekaan sepenuhnya sebagai prasyarat kedaulatan, termasuk juga membebaskan diri dari beban hutang luar negeri Amerika Serikat dan menjadikan politik sebagai panglima dalam pemerintahannya. Tetapi, keadaan ini berbalik dengan adanya pembantaian massal pada akhir September 1965 yang menjadi awal lahirnya Orde Baru.

Lahirnya Orde Baru dengan developmentalisme-nya telah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam pemerintahannya. Secara teoritik, terdapat dua pendekatan besar dalam pembangunan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, yakni pertama, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan terjadi, karena akibat kekurangan modal, maka investasi modal secara besar-besaran menjadi agenda utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Dan pendekatan ini dominan di pakai oleh pemerintahan anggota WTO dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kedua, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kebijakan kelembagaan yang tidak memberi ruang dan kesempatan bagi si miskin. Olehnya itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan terhadap kelompok miskin agar mereka dapat memiliki serta mampu merebut aset di berbagai level kehidupan.

Sebagai negara yang tunduk kepada pihak asing, maka pilihan pendekatan pertama pun jatuh padanya. Dikeluarkannya berbagai regulasi yang ”mengamini” masuknya investasi asing, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian dikeluarkannya hak guna bangun (HGB), hak guna usaha (HGU) dan hak pengelolaan hutan (HPH) yang di atur dalam UU No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan UU No. 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan serta UU No. 8/1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Modal internasional menggunakan strategi baru dalam melakukan penjajahan terhadap negara dunia ketiga dengan menggunakan Multi National Corporation (MNC)/Trans National Corporation (TNC).

Kehadiran MNC/TNC di Indonesia semakin dipermudah dengan penawaran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan keunggulan komparatifnya yaitu buruh yang murah, tanah yang murah, dan sumber daya alam yang melimpah. Perampasan serta perampokan tanah milik rakyat tersebut hingga hari ini melahirkan sengketa agraria yang sulit terselesaikan, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum. Akhirnya sampai detik lengsernya pemerintahan Orde Baru, ribuan pabrik sudah berdiri di Indonesia, di atas tanah milik rakyat yang tergusur. Hal ini sangatlah bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, empat cita-cita kemerdekaan bangsa adalah (1). Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2). Memajukan kesejahteraan umum, (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4). Ikut melaksanakan perdamaian dunia.

Era Reformasi dan pertarungan Para Elit Politik
Lengsernya kepemimpinan diktator-militeristk HM. Soeharto, memberikan angin segar terhadap kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Seiring perjalanan era reformasi, kekecewaan ternyata sangat terlihat di wajah kusut rakyat Indonesia, betapa tidak, perbaikan nasib dan keadilan dalam memperoleh kekayaan alam Indonesia pupus sudah oleh kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa yang tidak (pernah) memihak kepada grass root, malahan hanya berpihak kepada investor asing yang menanamkan modalnya (modal internasional) di bumi pertiwi ini.

Tak pelak lagi, transisi demokrasi telah berubah haluan menjadi institusional oligarkhi politik di antara elit-elit politik. Legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lagi dalam satu payung kepemimpinan tetapi telah terbagi-bagi dan tersebar ke dalam ranah kekuasaan otonom. Pertarungan kekuasaan di antara elit politik menjadikan negara ini seakan berada dalam “perang saudara” sebangsa dan setanah-air sendiri. Mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia, akan tetapi mereka lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu.

Untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik kita melakukan berbagai usaha untuk mencapai tampuk kekuasaan, akibatnya tidak muncul pemimpin nasional dengan karakter kerakyatan. Untuk dapat menjaga kelanggengan kekuasaan mereka, mereka juga mencari dukungan dari modal internasional yang tentunya juga berimbas pada paket-paket kebijakan yang harus mereka keluarkan, dan pastinya berpihak pada modal internasional. Kebijakan otonomi daerah yang ditandatangani oleh B. J. Habibie adalah salah satu usaha membuka peluang besar bagi modal internasional untuk melakukan ekspansi langsung ke daerah tanpa harus mendapat persetujuan dengan pemerintah pusat.

Singkatnya, pemerintahan melakukan kongkalikong (perselingkuhan tidak suci) dengan modal internasional. Rakyat sendiri hanya diajak untuk berbicara soal politik lima tahun sekali, saat pemilu. Hal ini ditujukan untuk melestarikan politik massa mengambang yang menguntungkan bagi pemerintah di mana kesadaran rakyat semesta dikendalikan dan di hegemoni oleh negara.

Akibat dari penjajahan neo-kolonialisme dan imperialisme dalam rupa IMF, World Bank, WTO dan lain sebagainya, hari ini rakyat harus menghadapi berbagai persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat menikmati hidup sebagai manusia, mulai dari terampasnya tanah yang dimilikinya untuk industri hingga mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Di dalam ideologi kapitalisme internasional, manusia di anggap sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan dengan sistem upah yang tidak layak.

Pemiskinan Sama Dengan Melanggar HAM
Dalam situasi ketertindasan dan kemiskinan seperti ini, sudah layak dan sepantasnya jika kita mempunyai sistem pemerintahan yang mampu mengambil keberpihakan kepada rakyat atau dalam istilah Bung Karno pemerintahan yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Namun kenyataan yang kita saksikan hari ini adalah sebuah panggung sinetron yang setiap hari seorang pemain dapat berganti lakon dan watak seribu kali. Pada awal masa kampanye Pemilu 2004 ini, kita dapat menyaksikan sebuah fenomena menarik di mana setiap partai politik yang terlibat dalam pemilu mencoba untuk mati-matian menarik simpati rakyat dengan ikut mencangkul di sawah, berkunjung ke rumah sakit, sampai ke pasar tradisional hanya demi satu tujuan yang sama, memperoleh dukungan yang sebanyak-banyaknya dari rakyat banyak.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 Desember 1984, di kota Paris, dideklarasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kemudian pada tanggal 16 Desember 1966, PBB menghasilkan dua konvenan, yakni konvenan hak-hak sipil-politik dan konvenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. DUHAM dan dua konvenan tersebut kemudian menjadi UU HAM internasional dan menjadi bagian dari hukum internasional. Dengan demikian, perjanjian tersebut adalah perjanjian antar-negara, maka dalam hukum asasi manusia internasional, negara merupakan subjek hukum. Oleh karena itu, negara-negara peserta perjanjian mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus diberikan kepada warga negaranya, yang meliputi: 1). Kewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia; 2). Kewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia; 3). Kewajiban memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia. Sedangkan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara dapat mengambil dua bentuk, yakni 1). Melanggar melalui pelanggaran dengan tindakan (violence by action); 2). Dan melanggar melalui pelanggaran dengan cara pembiaran (violence by omision)

Dengan menilik hal di atas, maka negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan pelanggaran dengan cara pembiaran. Karena telah membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan, ketertindasan, keterjajahan dan penderitaan yang akut. Dan sejarah kita belum berubah, sejarah penindasan. Wallahu a’lam bisshawab…

Elit Politik: Merapuh Dan Melangit (Catatan 12 Tahun Reformasi)

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Reformasi
Oleh Lingkar Studi Merah Putih (LSMP) UIN Alauddin

Runtuhnya konsolidasi demokrasi di era Presiden Gus Dur berefek lahirnya oligarkhi politik di perpolitikan nasional tempat kita berpijak. Angin reformasi yang berhembus membawa transformasi sosial yang dinanti-nantikan telah beralih arah menuju ilusi demokrasi. Harapan menjadi tak bersua seiring elit politik sebagai salah satu penyangga terwujudnya demokratisasi, terkotak-kotak dan berpikir-bertindak hanya demi partainya saja. Era reformasi pun tak jelas arahnya.

Berubahnya haluan menjadi institusional oligarkhi politik dalam ranah kekuasaan otonom melahirkan pertarungan kekuasaan dan ujungnya adalah berlaku slogan “memahami berarti mendamaikan”. Negara menjadi arena “perang saudara”, mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia dan hanya lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu. Ironis.

Politik Egois
Para elit politik pra-kemerdekaan angkatan 1928 dengan visi geopolitik dapat “mencuri” momentum Perang Dunia I antara tripple entente (Perancis, Inggris, dan Rusia) melawan tripple alliance (Jerman, Italia dan Turki) dan menguatnya rasa nasionalisme di negara-negara luar, sehingga berhasil melakukan konsolidasi kebangsaan dengan melahirkan Sumpah Pemuda. Begitu pun dengan elit politik angkatan 1945 seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soerkarno dan Bung Hatta mempunyai visi geopolitik yang terang sehingga dapat “membaca” Undang-undang Agraria 1870 yang berlaku masa 75 tahun ke depan, maka pada tahun 1945 adalah masa-masa bumi pertiwi tak bertuan dan kolonial Belanda “habis” kontraknya di bumi pertiwi dan tanpa menghiraukan peristiwa globalitas perang antara Negara-negara fasis (Jerman, Italia dan Jepang) melawan aliansi sekutu (Polandia, Perancis, Inggris, AS) dengan diluluh-lantahkannya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS. Maka dengan visi inilah mampu mencuri momentum dengan memekikkan kemerdekaan Indonesia, ketika terjadi perang pasifik.

Sekarang, apakah para elit politik juga mempunyai visi geopolitik seperti elit-elit politik pra-kemerdekaan yang mampu membaca peristiwa demi peristiwa, momentum demi momentum, yang mempengaruhi nasionalitas dan lokalitas? Berjayanya pihak AS dalam memenangkan Perang Dunia II menyebabkannya ingin menjadi polisi dunia, sehingga leluasa mencengkeram negara-negara yang baru berdiri di satu sisi dan di sisi lain, munculnya kekhawatiran “kekuatan tandingan” komunisme yang dipelopori oleh Uni Soviet, ujungnya terjadi “perang dingin” antara blok Barat dan blok Timur.

Kemenangan revolusi Tiongkok di bawah komando Mao Tse Tung, lahirnya Republik Demokratik Vietnam di bawah Ho Chi Minh, terjadinya perang Korea, dipindahkannya rudal nuklir Uni soviet ke Kuba dan dominannya kekuatan kiri di Indonesia menjadikan AS memperluas dominasi dan hegemoninya, hingga akhirnya AS pun menjadi polisi dan penguasa dunia beserta ideologinya sebagaimana dilukiskan oleh Daniel Bell dalam bukunya ‘The End of Ideology” dan “The End of History and The Last Man” oleh Francis Fukuyama. Kekukuhan ideologi kapitalisme tak terelakkan dan terus berlanggeng hingga detik ini, walaupun di sisi kanan dan kirinya ada kekuatan yang mengancam, seperti China, Iran dan Amerika Latin.

Belum adanya visi geopolitik yang dimiliki oleh para elit-lit politik di tanah tercinta ini, dapat terlihat bagaimana untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik pusat melakukan berbagai usaha dan upaya untuk mencapai tampuk kekuasaan. Akibatnya belumlah muncul pimpinan nasional dengan karakter kerakyatan, transformatif dan visioner.

Mental Inlander
Tempo dulu, pemerintahan kolonial Belanda membagi stratifikasi masyarakat menjadi tiga bagian, yakni bagian atas adalah golongan kulit putih, golongan kedua adalah bangsa Arab dan Tionghoa, sedangkan golongan terbawah adalah pribumi/masyarakat asli Indonesia (inlander). Pembagian strata ini terus langgeng hingga kesadaran sosial-politik dan sosial-ekonomi yang mewarnai kehidupan nation-state hingga detik ini.

Mental pribumi sebagai stratum terbawah dari stratifikasi masyarakat “mengada” dalam mental-kesadaran-keyakinan yang terus ditundukkan. Tunduk, patuh, tidak percaya diri, merasa rendah diri dan pasif adalah sebagian dari hasil konstruksi yang telah “terlembagakan dan dilembagakan” oleh penjajah dan terus dipatenkan hingga penguasa saat ini. Mental inlander membumi terhadap massa-rakyat Indonesia. Dan negara sebagai fasilitator belum sungguh-aktif memainkan perannya dalam menggeser watak mental pribumi menjadi mental merdeka sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa ini.

Dibacakannya teks proklamasi oleh Bung Karno-Hatta, menandai nation-state telah memasuki fase revolusi nasional-demokratis dengan pengukuhan bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan. Akan tetapi, hal itu belumlah menjadikan pribumi menghirup kemerdekaan dan kedaulatan sendiri. Oleh karena itu, transformasi fase revolusi nasional-demokratis mestilah dilanjutkan pada fase revolusi sosial-demokratis dengan memprioritaskan penggeseran watak feodalistik (tuan-hamba) dan restrukturisasi sosial-ekonomi dengan mementingkan kebutuhan pribumi daripada yang lainnya.

Proklamasi kemerdekaan dan ideologi Pancasila tidak boleh berhenti hanya semata-mata pernyataan politik melainkan juga harus disadari sebagai sikap sejarah dan pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia. Kesadaran dasar kita hari ini adalah bahwa di ranah politik, sosial, dan ekonomi, kita tidak hanya menghadapi tantangan untuk bertarung dengan kekuatan-kekuatan asing yang datang dari luar, tetapi juga harus mewaspadai bahaya keterasingan yang timbul dari dalam akibat pengelolaan ekonomi politik yang hanya diabdikan kepada kepentingan permodalan neo-liberal.

Emmanuel Subangun dalam bukunya Negara Anarkhi mengatakan jikalau negara ini dibiarkan terus-menerus tanpa memiliki pemimpin nasional yang visioner, maka negara ini menuju proses Afrikanisasi. Yakni proses nasionalisme dan demokrasi di sebagian besar negara Afrika yang berakhir dengan menguatnya tabiat suku dan raja kecil, yang tak lain adalah gerak retrogad dan ketidakmampuan sebuah bangsa menghadapi tantangan jaman. Secara ekonomi tetap tergantung pada pertanian, secara politik amat tribal, dan secara sosialmenumbuhkembangkan radikalisme segala rupa, sehingga ujungnya adalah selalu ethnic cleansing seperti yang terjadi di Rwanda, Sudan dan Nigeria.

Oleh karena itu, mental inlander yang masih (banyak) mengada dalam era reformasi seharusnya dihilangkan asap-kabutnya dengan pendidikan politik yang memerdekakan sesuai dengan jiwa budaya bangsa Indonesia. Agar supaya – meminjam bahasa Karl Jaspers- kita tidak hanya merdeka dalam arti to live (hidup) bermakna pasif dan menjadi objek, akan tetapi merdeka dalam arti to exits (ada) bermakna aktif dan menjadi subjek. Semoga

Manifesto Kaum Tertindas

Pernah Diterbitkan Di Buletin Kampus Lentera Alauddin

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di muka bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka yang mewarisi bumi” (QS. Al-Qashash: 5)

PROLOG
Naïf kiranya, bilamana pelbagai persoalan yang sedang melilit negeri yang kita cintai bersama ini, tidak dikaitkan dengan kondisi-situasi yang sedang terjadi di dunia Internasional. Problem nternasional mempengaruhi problem nasional, problem nasional mempengaruhi problem regional bahkan local. Contoh kasus seperti peristiwa kenaikan BBM yang dilegalkan dengan pepres no. 55/2005 (premium naik 87, 5 %; Solar naik menjadi 104, 7 %; dan minyak tanah 185, 7 %) tidaklah terlepas dari pengaruh dunia Internasional sehingga minyak dunia naik menjadi 67 $US/barrel. Peristiwa ini terjadi karena adanya ketegangan Iran versus Amerika dan Eropa mengenai pengembangan nuklir, juga terjadinya kekacauan politik di negara Nigeria (negara penghasil minyak keenam di dunia), mau tak mau mempengaruhi “dunia perminyakan” di dunia. Dan juga terjadinya ketegangan antara Rusia dan Ukraina mengenai masalah minyak dan gas. Rusia sebagai negara penghasil minyak dan gas banyak memasok ke Eropa dan Amerika, tetapi terjadinya ketegangan antara Rusia dan Ukraina menyebabkan terhentinya pasokan tersebut, dikarenakan Ukraina tak mengizinkan Rusia melewati pipa mereka. Permintaan semakin tinggi, tetapi penawaran (barang) tak ada atau kurang, sehingga menyebabkan naiknya harga minyak dunia.

Ironisnya, kok Indonesia ikut-ikutan menaikkan BBM. Padahal Indonesia mempunyai sumber ladang minyak yang banyak, apalagi yang terakhir menjadi perbincangan hangat di Media massa yakni perebutan Blok Cepu (terjadi perebutan antara Exxon Mobil dan Pertamina, yang katanya melibatkan campur tangan George W. Bush dan SBY) yang mempunyai kandungan minyak 600 juta barrel hingga dua milyar barrel. Ternyata jawabannya adalah sebagian besar perusahaan minyak di Indonesia adalah milik swasta dan luar negeri. Indonesia sebagai salah satu negara anggota World Trade Organization (WTO) atau perdagangan dunia internasional harus dan wajib mengikuti “aturan main” di WTO, salah satu aturan mainnya adalah National Treatment (NT), yakni apabila sebuah perusahaan negara lain masuk ke sebuah negara, maka negara tersebut harus memperlakukan perusahaan-perusahaan tersebut sebagaimana perusahaan-perusahaan dalam negeri sendiri. Karena pemerintah mendapat tekanan dari pihak luar dan swasta, mau tidak mau, harus menaikkan harga BBM.

Penindasan-pembodohan yang dulunya dilakukan oleh VOC (Belanda), sekarang kembali lagi terjadi, tetapi dalam wujud yang berbeda. Utang luar negeri dan investasi para investor adalah dua bagian dari penjajahan dan pembodohan tersebut. Ketika terjadi krisis moneter medio 1997, para aparat negara yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto mengundang International Monetery Found (IMF) untuk “memperbaiki” krisis tersebut. IMF memberikan beberapa syarat, agar supaya kondisi perekonomian Indonesia kembali pulih. Adapun syarat-syaratnya terangkum dalam Struktural Adjustment Programe (SAP), yakni Liberalisasi Perdagangan (menghilangkan aturan-aturan yang melindungi industri-industri local), Liberalisasi Investasi (diberikannya kesempatan kepada perusahaan-perusahaan luar negeri untuk memiliki saham hingga 100% dan pembebasan tariff bea masuk), Pemotongan Anggaran untuk Kepentingan Publik (seluruh anggaran untuk kepentingan publik, seperti biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, dsb di potong bahkan kalau perlu dihapuskan. Inilah yang menyebabkan biaya-baiya pendidikan, kesehatan, dsb naik melambung tinggi), Devaluasi Mata Uang (pelaksanaan kurs mengambang bebas, ini berbahaya sekali, karena kurs mata uang di tentukan oleh pasar yang di dalam terdapat para spekulan mata uang yang licik), Upah Buruh yang Rendah (peraturan ini dibuat, agar supaya para investor asing mudah masuk ke negara Indonesia dan menanamkan sahamnya. Bahasa kasarnya, menanamkan modal yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda), .

Inilah sebagian syarat-syarat yang diberikan oleh IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Bukan pemulihan dan perbaikan yang datang, tetapi yang terjadi kondisi perekonomian makin parah hingga detik ini. Dari pelbagai kebijakan yang diberikan, ternyata terdapat penindasan dan penjajahan di dalamnya. Kaum menengah ke bawah, terpinggirkan dan terdiskriminasi dalam kebijakan tersebut. Liberalisai perdagangan, liberalisasi investasi, pemotongan anggaran untuk kepentingan publik, devaluasi mata uang, dan upah buruh yang rendah adalah bagian dari eksploitasi terhadap kaum miskin yang hari demi hari meningkat tajam. Inilah realita sesungguhnya di negeri Indonesia.

Dengan demikian, apa yang sedang terjadi di dunia Internasional sangat berkaitan erat dengan apa yang sedang dan akan terjadi di negeri Indonesia. Disinilah peran negara sangat dibutuhkan. Apakah negara (para aparatnya) mengikuti apa yang diingini oleh para penjajah atau bangkit dan melawan segala kebijakan yang “didikte” terhadapnya? Bukankah tugas negara adalah melindungi warganegaranya dari penindasan-pembodohan alias penjajahan.

DIALOG
Presiden I RI, Soekarno pernah melukiskan mengapa kita melakukan pergerakan secara sempurna: “Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan culture – pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya. Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imprealisme. Sebab stelsel (sistem) inilah yang sebagai kamiladen (lintah/parasit) tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita. Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan kecil-kecilan. Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan yang ingin merubah samasekali sifatnya masyarakat”.

Mansur Fakih (Alm.) telah menyebutkan bahwa Indonesia telah mengalami beberapa episode penjajahan, Periode pertama kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua adalah bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan). Sedangkan periode ketiga adalah globalisasi, di mana terjadi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia. Ini sangat berbahaya sekali, karena peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat-pembuat kebijakan yang berpihak kepada pasar. Di era globalisasi penjajahan tingkat tinggi (IMPEREALISME) terjadi lagi.

Anda sebagai bagian dari negeri tercinta ini, seharusnya tidak berpangku tangan dalam melihat keterpurukan Indonesia. Anda sebagai kaum intelektual, tidak sewajarnya menghabiskan waktu dengan berdiskusi-ria, tetapi semestinya bangkit dan bertindak. Anda sebagai generasi pelanjut bangsa ini, sewajibnya menjadi pelindung atau benteng para kaum yang teraniaya oleh sistem yang tidak adil.

EPILOG
Penulis hanya ingin menyatakan bahwa siapa yang salah dan pihak mana yang benar mesti benar-benar ditegaskan. Mungkinkah tercapai kompromi apabila kepentingan “kita” dan “mereka” saling berseberangan. Kepentingan “kita” (bangsa terjajah) menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi-politik sepenuhya sedangkan kepentingan “mereka” (bangsa penjajah) menginginkan terjadinya koloni, prektorat, dan mendikte. Ini persoalan krusial, menyangkut penghidupan yang layak di masa depan dan berkaitan harga diri serta martabat negara Indonesia di antara negara-negara lain.

Penindasan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja. Akan tetapi, tidak ada orang yang rela jika hak-hak dasarnya di injak-injak, dihilangkan. Siapapun tak rela, termasuk si penulis, begitupula dengan si pembaca. Oleh karena Itulah, satu-satunya cara untuk menyadarkan penguasa adalah melawannya. Tidak dengan kekuasaan baru tetapi dengan KUASA RAKYAT yang kokoh dalam kesadaran sejarah pembebasan.

Mari kita hentikan jerit-tangis kesedihan hingga segaris senyum-bahagia terpancar dari rona wajah mereka dengan cara memanifestasikan sekuat tenaga dalam memperjuangkan hak-haknya. Setitik kehidupan sangatlah berharga. Bangkit dan melawan adalah satu pilihan dan kewajiban, karena kita tidak ingin wilayah NKRI terus menerus dieksploitasi dan dijajah. Mari bergerak dan berjuang untuk Res-publica. Mungkin inilah, MANIFESTO yang cocok bagi kaum teraniaya. MANIFESTO KAUM TERTINDAS. Selamat berjuang dan sampai jumpa di sudut-sudut jalan kebenaran. Semoga fajar kemerdekaan dan kedaulatan cepat menyingsing, serta jangan lupa jaga kesehatan. ®