Rabu, 24 November 2010

Petani dan Food Estate: Refleksi 50 Tahun Hari Tani

Oleh: Muh. Ilham Usman
(Penggiat Ekopol di Sulawesi Center)


Pada tanggal 24 September 2010 nanti, genap 50 tahun atas lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Produk hukum ini dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno sebagai upaya mengakhiri eksploitasi terhadap petani, menciptakan kebijaksanaan agraria (agrarian policy) yang melindungi masyarakat atas akses kepada tanah, air dan udara serta landasan bagi progam reforma agraria. Dalam kebijakan ini mengandung sebuah keyakinan ukuran keadilan dapat dilakukan dengan melakukan re-distribusi tanah secara adil (land reform). Hari kelahiran UUPA 1960 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963, dijadikan sebagai Hari Tani Nasional.


Petani dari Masa ke Masa

Bung Hatta, Sang proklamator dalam bukunya Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan mengatakan: “Indonesia adalah negara agraria. Oleh karena itu tanah adalah faktor-produksi yang terutama. Baik-buruknya penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah. Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya orang-seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah”.

Penjajahan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya, menurut pemetaan ala Tan Malaka, kolonial Belanda masuk dalam kategori imperialisme autokratis dengan menjadikan sebagian besar bangsawan sebagai kaki tangannya (komprador domestik) dalam merampas sumber dan hasil kekayaan rakyat nusantara kala itu (sebagian besar petani). Beberapa kebijakan yang diterapkan, yakni kebijakan Domein Theori oleh Raffles adalah kebijakan pertama yang merusak tatanan cara produksi masyarakat nusantara. Kebijakan ini menerapkan sistem penarikan pajak bumi atau biasa dikenal dengan sebutan landrente sebesar 2/5 dari hasil tanah garapan para petani. Pasca kebijakan domein theory, Jenderal Van den Bosch melaksanakan kebijakan yang lebih menindas dan menyengsarakan masyarakat kala itu yakni cultuurstelsel atau sistem tanah paksa. Kebijakan yang diterapkan oleh den Bosch adalah pencurian kekayaan alam nusantara dengan mekanisme sistem tanam paksa membuat para petani nusantara dipaksa menanami tanahnya dengan rempah-rempah yang laku dijual di pasar internasional (komoditas ekspor), seperti lada, cengkeh, dan sebagainya.

Penindasan terhadap petani terus berlanjut, pada tahun 1870, keluarlah Undang-Undang Agraria buatan pemerintahan Kerajaan Belanda, yang biasa dikenal dengan nama Agrarische Wet 1870. Isinya, Gubernur daerah jajahan dapat menyewakan tanah yang dikuasai kepada para pemodal swasta. Proses penghisapan ini berakhir hingga tahun 1930-1940an, lahan para petani diambil begitu saja oleh para penjajah dan disewakan kepada para pemodal yang ingin menanam saham atau membuka pabrik-pabrik yang keuntungannya berlipat ganda. Zaman ini, terjadi persinggungan nusantara dengan kaum investor pertama kalinya. Sistem tanam paksa dirubah dengan sistem kerja upah secara bebas. Pendek kata, proses liberalisasi I sepanjang sejarah nusantara bermula dan dimulai, akibatnya kebijakan-kebijakan tersebut, aset-aset (tanah, air dan udara) di bumi nusantara, bukan lagi milik rakyat Indonesia, tetapi telah disewakan secara paksa oleh para kolonial Belanda kepada pihak-pihak swasta.

Dengan sejarah penindasan terhadap petani yang nota bene merupakan “profesi” sebagian besar masyarakat Indonesia kala itu, membuat para founding fathers ingin mengembalikan martabat dan kedaulatan petani Indonesia atas tanahnya dengan membuat Undang-Undang Agraria 1960. Singkat kata, reforma agraria adalah fundamen dalam menata kesejahteraan para petani kecil di pedesaan dan juga untuk menimalisasi jarak antara orang kaya dengan orang miskin.

Dengan demikian tujuan pokok lahirnya UUPA 1960 hingga saat ini masih sangat relevan yakni: (1). Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2). Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. (3). Dan meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hal ini juga ditegaskan oleh sebuah ketetapan MPRS No. II Tahun 1960, dalam kata “menimbang”, antara lain mengatakan: “bahwa syarat pokok pembangunan tata-perekonomian nasional adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme dengan melaksanan land reform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai oleh negara”.


Era Reformasi dan Food Estate

Dalam era neoliberalisme ini, pelbagai kebijakan diamini serta diterapkan oleh pemerintahan hingga detik ini, seperti masih menerapkan perjanjian Agreement on Agriculture (AoA), yakni pemotongan subsidi terhadap sektor publik, termasuk dalam bidang pertanian. Negara melakukan pemotongan subsidi dalam meningkatkan taraf produksi pertanian sehingga harga pupuk dan padi setelah berproduksi mempunyai harga relatif mahal. Kebijakan ini berbanding terbalik dengan kebijakan-kebijakan di negara-negara maju yang melindungi petaninya dengan pemberian subsidi.

Begitu pula, negara lebih memprioritaskan perusahaan swasta-asing untuk melakukan industrialisasi atas lahan tanah sehingga pembukaan lahan tanah yang luas untuk perusahaan besar dalam kegiatan ekonomi (food estate) hanyalah akan menjadikan para petani terpuruk dan lebih terpuruk lagi. Food estate ini akan diselenggarakan di luar pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia yang masih mempunyai lahan tanah luas untuk berproduksi. Akibat terpuruknya, food estate ini bisa me¬ngarah pada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya pendapatan non-pajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di nege¬rinya sendiri. (www.spi.or.id).

Akhirnya, peningkatan angka kemiskinan, minimnya akses ke lapangan kerja, serta tidak berdaulatnya para petani membuat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri, dalam laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), menyatakan, Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia.

Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan instrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya. Oleh karena itu, menerapkan UUPA 1960 menemukan relevansinya, yang selama ini tidak diberlakukan dan tidak juga di cabut, baik pada zaman orba maupun di era reformasi ini.

Semoga, di hari tani nasional ini, para petani di Indonesia lebih makmur dan sejahtera sebagaimana cita-cita para founding fathers nation-state ini. Seorang teman berujar: “Petani semestinya diberikan kedudukan terhormat dan dilindungi, karena merekalah yang menggarap, menanam dan memetik apa yang kita makan”. Dan kali ini saya sangat sepakat bung.

Wallahu Muwaffieq ilaa Aqwamith Tharieq.

Re-aktualisasi Mentalitas Kebangsaan

Makalah telah dipresentasikan pada Pelatihan Kepemimpinan BEM PAI UMI Makassar, tanggal 13 November 2010 Ruang BEM PAI.

Oleh Muh. Ilham Usman, M. Fil. I
(Penggiat Ekonomi-Politik Di Sulawesi Center)


Nama Indonesia diperkenalkan pertama kali oleh duo James Richardson Logan-George Samsuel Windsor Earl (etnolog Inggris). Earl di Journal of the Indian archipelago and eastern asia volume IV, pada tahun 1850 memakai kata Melayunesia untuk nama khas Indonesia, akan tetapi Logan lebih sreg memakai kata Indunesia, terus mengganti huruf u dengan o, maka menjadi Indonesia. Kemudian nama Indonesia dipopulerkan oleh Adolf Bastian dalam bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen archipels dan Die volkev des ostl asien. Maka Indonesia pun lahir dan tegak. Di kemudian hari, seorang pejuang bernama Tan Malaka memperjuangkan kata “republik” dilekatkan dan disandingkan ke kata “Indonesia”.


Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara (Persia, India, Cina) merupakan Islam yang sudah berpengalaman dan matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang telah dilewati. Islam yang telah mengalami berbagai tradisi disebarkan di Nusantara oleh Syekh Abdurrauf al-singkel, Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Abdus Shamad al-Palimbangi, Syekh Khatib Sambas, K.H. Hasyim Asy’ari, dll. Islam ini biasa dikenal dengan Islam yang berhaluan Ahl al-Sunnah Wal-Jama’ah.


Ajaran Islam yang disebarkan merupakan hasil “kreatif” dan telah berinteraksi dengan tradisi setempat. Selain mengajarkan dan menyebarkan Islam yang bersifat fiqh (aturan-aturan agama), juga tak ketinggalan mengajarkan ajaran Islam bernuansa moral-etik-spiritual. Dengan demikian, Islam yang berkembang di Nusantara bercorak fiqh-sufistik, hal ini bersumber pada dua gelombang, yakni: pertama, gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi. Kedua, yakni ketika kolonial Belanda membuka perkebunan besar, banyak anak dari tokoh masyarakat mempunyai duit kemudian menyekolahkan anaknya ke semenanjung Arabia dan kembali lagi ke Nusantara membuka pesantren-pesantren. Berawal dari sinilah, corak Islam Indonesia bernuansa fiqh-sufistik, secara fisik dapat dilihat kitab-kitab klasik yang sering dijadikan rujukan antara lain karya Imam Al-Ghazali (Bidayah al-Hidayah), Ibn Atha’illah al-Askandary (Syarh al-Hikam), dsb.


Menilik dari metode yang digunakan para ulama pendahulu, maka dalam pengambilan keputusan hukum Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual dan ibadah muamalah, para ulama menjadikan fiqh sebagai etika sosial yang memuat beberapa hal, yakni pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab, dari mazhab qaulÄ« menjadi mazhab manhaji. Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok dan mana yang cabang. Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial dan bukan sebagai hukum positif negara. Terakhir kelima, pengenalan pendekatan dan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya. Kelima prinsip yang dijadikan dasar dalam pembuatan suatu perkara hukum dapatlah menegakkan kemaslahatan umum sebagai tujuannya. Manusia sebagai subjek akan mendapatkan tempatnya dalam pemikiran ini dan terhindar dari pemasungan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini terkaburkan oleh peraturan hukum yang tidak memanusiakan manusia. Salah contoh aktualnya termaktub dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan bahwa salah satu makna jihad adalah daf’u dlarar ma’shumin musliman kana au ghaira muslim (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).



Mentalitas Kebangsaan


George Orwell pernah berujar “who control the past control the future, who control the present, control the past” (barang siapa yang mengontrol masa lalu, maka ia telah mengontrol masa depan dan barang siapa pula yang mengontrol masa kini, maka ia telah mengontrol masa lalu). Petikan ujaran ini mengajarkan kepada generasi anak bangsa Indonesia untuk lebih memperhatikan dan memahami masa lalu, memperhatikan realitas hari ini untuk merancang masa depan. Begitu pula dalam membangun mentalitas kebangsaan yang telah sekian lama tidur dan ditidurkan oleh para penguasa.


Hilangnya elan vital Islam sebagai agama yang memanusiakan manusia di Indonesia mempunyai sejarah tersendiri. Hal ini dimulai akibat banyak pemberontakan petani terhadap penjajah yang berasal dari kalangan ulama, haji dan kiai dan para santri membuat berang kolonial penjajah. Oleh karena itu, tampillah Snouck C. Hourgenje dan Sayyid Usman menjadi “polisi keagamaan” dalam membid’ahkan kalangan tarekat dan menarik Islam berjarak dengan realitas sosialnya. Tercerabutnya spirit perlawanan Islam Indonesia adalah hal yang signifikan bagi kalangan kolonial sehingga mampu memperkukuh cengkeraman kolonialismenya di negara ini. Pengjungkir-balikan nilai-nilai Islam yang sejak awalnya membawa spirit pembebasan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dalam melarang atau mengkritik monopoli perdagangan yang dijalankan oleh kaum kafir Quraisy. Begitu pula bagaimana Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada umatnya berkaitan mengangkat derajat kaum lemah dan dilemahkan ke tempat yang mulia dan bermartabat.


Oleh karena itu, untuk menuju kepada re-aktualisasi mentalitas kebangsaan, setidaknya ada tiga langkah yang mesti dilakukan dalam waktu dekat, yakni pertama, penekanan terhadap anak bangsa Indonesia, tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Teladan ini dapat dilihat dari sosok K.H. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.


Kedua, penekanan dalam merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kiai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kiai-kiai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.


Ketiga, penekanan dalam memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Meminjam bahasa Hassan Hanafi, yakni melokalisasi Barat dengan mengembalikan kepada batas-batas wilayahnya dan “menghadang” mitos bahwa budaya Barat adalah “pusat peradaban dunia” dan untuk menjadi maju, maka budaya Barat mesti dijadikan contoh teladan. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kiai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang).


Akhirnya, andalah yang membuat tulisan ini berguna atau tidak sama sekali?

Radikal Karakter

Catatan Kaki ini dipresentasikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) PC PMII Soppeng, Oktober 2010

Oleh: Muh. Ilham


1. Paham Problem Globalitas

Detik ini, kita memasuki era globalisasi. Akan tetapi, era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan. Di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk untung di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir yakni: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia III yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia III, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama GLOBALISASI...”


Senada dengan itu Mansur Fakih (Alm.) juga menyebutkan bahwa globalisasi adalah periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia, di mana terjadi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia. Ini sangat berbahaya sekali, karena peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat-pembuat kebijakan yang berpihak kepada pasar. Di era globalisasi penjajahan tingkat tinggi (IMPERIALISME) terjadi lagi. Sedangkan episode penjajahan-penindasan-penghisapan pertama dan kedua, yakni Periode pertama kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme adalah bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

2. Paham problem Nasionalitas

Kuatnya penetrasi modal Internasional ke dalam tubuh Indonesia, menjadikan nation-state ini bersifat semi-kolonial atau semi-terjajah. Ketergantungan utang luar negeri dan investasi asing dijadikan lahan empuk bagi modal internasional untuk memperkuat cengkeramannya di bumi pertiwi ini. Dan ironisnya, negara tidak berkutik di bawah genggaman modal internasional tersebut. Ideologi pembangunan neo-liberalisme yang dianut oleh Indonesia menjadikan negara kehilangan fungsi sosialnya dan memberikan tempat seluas-luasnya bagi berlakunya free fight liberalism. Di samping itu, di dalam tubuh negara terjadi “proses pembusukan diri sebagai sebuah nation-state”. Kalau dulunya, negara ini diatur dan dikomandoi oleh seorang dictator, (Alm.) Soeharto, sekarang pasca reformasi perputaran kekuasaan (yudikatif, eksekutif, legislative) berada ditangan kekuatan-kekuatan otonom yang bersifat oligarkhis. Para aparatur negara sibuk berkonflik dengan para elit politik lainnya dan tidak ada waktu untuk memikirkan nasib rakyatnya yang terlunta-lunta. Dan dampak berantai akibat konflik elite tersebut merembes ke tingkatan massa-rakyat dan menjadi politik aliran.

Dari sinilah terjadi bentuk nyata dari proses perselingkuhan tidak suci antara kekuatan oligarkhi kekuasaan dengan kepentingan modal internasional yang selalu ditandai dengan konsolidasi ditingkatan kebijakan hukum atau peraturan negara yang mendukung atas kepentingan pasar negara-negara imperialisme atau modal internasional. Ini dapat kita lihat terjadinya titik temu antara investor asing dan aparatur Negara dalam mempengaruhi dan membuat kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dan hanya pro pemodal asing. Misalnya, UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 tentang harga jual BBM, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU ini merupakan syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta, pinjaman ini untuk program restrukturisasi air), Keppres nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya UU Sumber Daya Agraria, Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan masih banyak lagi lainnya.

Selain terjadinya dependecia secara politik oleh negara terhadap mata rantai sistem global neoliberalisme secara menyeluruh dan intensif yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, telah “hancurnya” infrastruktur kekuasaan (negara) yang disebabkan oleh keangkuhan kekuatan konservatif (primordialisme = anti perubahan) dan kekuatan oportunis oligarkis yang menyerap keuntungan dari masa transisi. Sementara pada tingkatan horisontal, rembesan konflik elit di ranah perebutan kue kekuasaan mampu melahirkan konflik SARA yang dalam perjalanannya semakin menguatkan legitimasi kekuasaan politik demokrasi yang bersifat sektarian dan manipulatif. Belum lagi, di masa transisi demokrasi ini malah diperparah dengan semaraknya gerakan-gerakan masyarakat untuk mengidentifikasi diri secara “ngawur” dengan menjadikan primordialisme agama, etnisitas, dan sentimen daerah sebagai basis dan orientasi gerakan.

3. Paham Problem Lokalitas

Pergilah ke Rakyat. Tinggalah bersama mereka. Cintailah mereka. Mulailah dari yang mereka tahu. Bangunlah dengan yang mereka miliki. Namun Pemimpin yang baik, ketika kerja telah selesai dan tugas telah dilaksanakan. Rakyat akan berkata kamilah yang mengerjakannya. (Lao Tse)”


Kalau kita meyakini bahwa basis material revolusi adalah kesadaran, kesadaran revolusioner macam apakah yang kita harapkan menjadi nafas, denyut nadi dan jantung masyarakat kita? Apakah syarat-syaratnya? Adakah momentumnya? Hal inilah yang harus menjadi refleksi dan tindakan bagi kaum pergerakan itu sendiri.

Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA. Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan. Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup masyarakat.



Kekosongan masyarakat (populi vacante) serta kerinduannya untuk segera keluar dari krisis multidimensi ini harus segera diisi dengan pendidikan ekonomi-politik ke dalam seluruh bahasa perjuangan masyarakat Indonesia. Pendidikan sebagai bentuk ideologisasi adalah tahapan awal guna membentuk sistem berfikir yang baru dan melahirkan kader-kader penggerak dan organisasi-organisasi massa yang ulul albab guna memperjelas tahapan keberlangsungan transformasi serta sebagai proses eksperimentasi ideologi untuk mempertanyakan, memperjelas serta memperjuangkan kedaulatan masyarakat Indonesia ke arah pembentukan sistem ekonomi politik yang populistik dan demokratik serta terbentuknya reposisi watak gerakan sosial menjadi gerakan ekonomi-politik yang berani memasuki relung dalam ekonomi politik rakyat Indonesia yang telah menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat.

“Meminjam perspektif psikohistoris foucouldian, hubungan yang sudah terlampau “intens” antara sang penindas dengan mereka yang tertindas melangsungkan bukan saja rentang dominasi atau hegemoni. Lebih jauh, kita semua telah dan sedang mengenyam episode sosial yang dapat kita istilahkan sebagai homogenisasi, suatu keadaan mental dan material yang lahir dari peristiwa identifikasi kolektif dari mereka yang tertindas kepada mereka yang menindas”. Pada episode ini, tidak ada perbedaan mendasar antara sikap dan angan politik golongan tertindas dengan kaum penindas dan menjadi suatu keniscayaan ketika kaum pergerakan tidak mampu melakukan pembacaan yang menyeluruh atas situasi yang melingkupinya dirinya sendiri sebagai seorang individu atau sebagai kelompok pembaharu di tengah-tengah homogenisasi masyarakatnya sendiri pasti akan mengalami nasib tragis yang sama.


Apa Yang Mesti Kaum Pergerakan Lakukan?

Mendorong peristiwa-peristiwa sosial menjadi peristiwa-peristiwa politik, bukan sebaliknya mendorong peristiwa-peristiwa politik menjadi peristiwa-peristiwa sosial. Apa itu peristiwa sosial? Dan apa itu peristiwa politik?. Peristiwa sosial adalah peristiwa yang terjadi di tingkatan rakyat kelas menengah-miskin yang terus menggurita dan belum terselesaikan sedangkan peristiwa politik adalah peristiwa yang terjadi di kalangan elit dari negeri ini. Oleh sebab itu ruang pengorganisiran dan advokasi harus dimaknai sebagai strategi taktik dalam mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik! Untuk itu maka sasaran advokasi yang terdiri dari buruh, petani, kaum miskin kota dan elemen masyarakat yang lainnya haruslah diketahui dahulu apa kebutuhan normatif mereka sampai hari ini. Namun bukan berarti advokasi hanya dimaknai proses perkoncoan semata dalam mendampingi problem-problem masyarakat itu sendiri, melainkan bagaimana kita mampu menjawab mau kemana proses advokasi itu akan berlangsung. Hal ini tentu saja tidak bisa terlepas ideologi sebagai landasan berfikir dalam melihat proyeksi masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang telah digunakan secara luas oleh kalangan pergerakan dalam melakukan advokasi:1. Integrasi, 2. Social Investigation, 3. Prepare Tentatif Program, 4. Group work, 5. Meeting, 6. Rule Play. 7. Mobilization, 8. Evaluasi, 9. Refleksi dan 10. Opinion Building. Langkah ini sering juga disebut sebagai 10 langkah penggorganisiran.
Yang terpenting dalam memahami kerangka dasar dari strategi taktik atas kerja-kerja advokasi, entah itu penggorganisiran sektoral ataupun advokasi kebijakan politik yang tidak berpihak kepada rakyat, haruslah disandarkan atas pembacaan kita dalam memahami struktur penindasan yang terjadi.



Teruslah bergerak sahabat. Perjuangan itu melelahkan, melelahkan belum tentu berbuah, dan berbuah pun belum tentu kita akan menikmati hasilnya.


Wallahu Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq.