Rabu, 24 November 2010

Petani dan Food Estate: Refleksi 50 Tahun Hari Tani

Oleh: Muh. Ilham Usman
(Penggiat Ekopol di Sulawesi Center)


Pada tanggal 24 September 2010 nanti, genap 50 tahun atas lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Produk hukum ini dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno sebagai upaya mengakhiri eksploitasi terhadap petani, menciptakan kebijaksanaan agraria (agrarian policy) yang melindungi masyarakat atas akses kepada tanah, air dan udara serta landasan bagi progam reforma agraria. Dalam kebijakan ini mengandung sebuah keyakinan ukuran keadilan dapat dilakukan dengan melakukan re-distribusi tanah secara adil (land reform). Hari kelahiran UUPA 1960 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963, dijadikan sebagai Hari Tani Nasional.


Petani dari Masa ke Masa

Bung Hatta, Sang proklamator dalam bukunya Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan mengatakan: “Indonesia adalah negara agraria. Oleh karena itu tanah adalah faktor-produksi yang terutama. Baik-buruknya penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah. Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak, dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya orang-seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah”.

Penjajahan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kolonial Belanda selama kurang lebih 350 tahun lamanya, menurut pemetaan ala Tan Malaka, kolonial Belanda masuk dalam kategori imperialisme autokratis dengan menjadikan sebagian besar bangsawan sebagai kaki tangannya (komprador domestik) dalam merampas sumber dan hasil kekayaan rakyat nusantara kala itu (sebagian besar petani). Beberapa kebijakan yang diterapkan, yakni kebijakan Domein Theori oleh Raffles adalah kebijakan pertama yang merusak tatanan cara produksi masyarakat nusantara. Kebijakan ini menerapkan sistem penarikan pajak bumi atau biasa dikenal dengan sebutan landrente sebesar 2/5 dari hasil tanah garapan para petani. Pasca kebijakan domein theory, Jenderal Van den Bosch melaksanakan kebijakan yang lebih menindas dan menyengsarakan masyarakat kala itu yakni cultuurstelsel atau sistem tanah paksa. Kebijakan yang diterapkan oleh den Bosch adalah pencurian kekayaan alam nusantara dengan mekanisme sistem tanam paksa membuat para petani nusantara dipaksa menanami tanahnya dengan rempah-rempah yang laku dijual di pasar internasional (komoditas ekspor), seperti lada, cengkeh, dan sebagainya.

Penindasan terhadap petani terus berlanjut, pada tahun 1870, keluarlah Undang-Undang Agraria buatan pemerintahan Kerajaan Belanda, yang biasa dikenal dengan nama Agrarische Wet 1870. Isinya, Gubernur daerah jajahan dapat menyewakan tanah yang dikuasai kepada para pemodal swasta. Proses penghisapan ini berakhir hingga tahun 1930-1940an, lahan para petani diambil begitu saja oleh para penjajah dan disewakan kepada para pemodal yang ingin menanam saham atau membuka pabrik-pabrik yang keuntungannya berlipat ganda. Zaman ini, terjadi persinggungan nusantara dengan kaum investor pertama kalinya. Sistem tanam paksa dirubah dengan sistem kerja upah secara bebas. Pendek kata, proses liberalisasi I sepanjang sejarah nusantara bermula dan dimulai, akibatnya kebijakan-kebijakan tersebut, aset-aset (tanah, air dan udara) di bumi nusantara, bukan lagi milik rakyat Indonesia, tetapi telah disewakan secara paksa oleh para kolonial Belanda kepada pihak-pihak swasta.

Dengan sejarah penindasan terhadap petani yang nota bene merupakan “profesi” sebagian besar masyarakat Indonesia kala itu, membuat para founding fathers ingin mengembalikan martabat dan kedaulatan petani Indonesia atas tanahnya dengan membuat Undang-Undang Agraria 1960. Singkat kata, reforma agraria adalah fundamen dalam menata kesejahteraan para petani kecil di pedesaan dan juga untuk menimalisasi jarak antara orang kaya dengan orang miskin.

Dengan demikian tujuan pokok lahirnya UUPA 1960 hingga saat ini masih sangat relevan yakni: (1). Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2). Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. (3). Dan meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Hal ini juga ditegaskan oleh sebuah ketetapan MPRS No. II Tahun 1960, dalam kata “menimbang”, antara lain mengatakan: “bahwa syarat pokok pembangunan tata-perekonomian nasional adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme dengan melaksanan land reform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai oleh negara”.


Era Reformasi dan Food Estate

Dalam era neoliberalisme ini, pelbagai kebijakan diamini serta diterapkan oleh pemerintahan hingga detik ini, seperti masih menerapkan perjanjian Agreement on Agriculture (AoA), yakni pemotongan subsidi terhadap sektor publik, termasuk dalam bidang pertanian. Negara melakukan pemotongan subsidi dalam meningkatkan taraf produksi pertanian sehingga harga pupuk dan padi setelah berproduksi mempunyai harga relatif mahal. Kebijakan ini berbanding terbalik dengan kebijakan-kebijakan di negara-negara maju yang melindungi petaninya dengan pemberian subsidi.

Begitu pula, negara lebih memprioritaskan perusahaan swasta-asing untuk melakukan industrialisasi atas lahan tanah sehingga pembukaan lahan tanah yang luas untuk perusahaan besar dalam kegiatan ekonomi (food estate) hanyalah akan menjadikan para petani terpuruk dan lebih terpuruk lagi. Food estate ini akan diselenggarakan di luar pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia yang masih mempunyai lahan tanah luas untuk berproduksi. Akibat terpuruknya, food estate ini bisa me¬ngarah pada feodalisme karena peran petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya pendapatan non-pajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di nege¬rinya sendiri. (www.spi.or.id).

Akhirnya, peningkatan angka kemiskinan, minimnya akses ke lapangan kerja, serta tidak berdaulatnya para petani membuat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sendiri, dalam laporan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002), menyatakan, Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) dalam resolusi 2000/10 tanggal 17 April 2000 dan resolusi 2001/25 tanggal 20 April 2001 telah membentuk Special Rappoteur on the right to food, yang mana Special Rappoteur percaya bahwa akses ke tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia.

Special Rappoteur juga menyebutkan, reforma agraria harus secara serius dijadikan instrumen kebijakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Reforma agraria juga akan mendorong transformasi yang sesungguhnya dan perubahan redistribusi yang bukan hanya tanah, tetapi juga meliputi elemen-elemen penting yang mengakibatkan reforma agraria dapat berjalan, termasuk akses kepada air, kredit, transport, pelayanan-pelayanan tambahan dan infrastruktur lainnya. Oleh karena itu, menerapkan UUPA 1960 menemukan relevansinya, yang selama ini tidak diberlakukan dan tidak juga di cabut, baik pada zaman orba maupun di era reformasi ini.

Semoga, di hari tani nasional ini, para petani di Indonesia lebih makmur dan sejahtera sebagaimana cita-cita para founding fathers nation-state ini. Seorang teman berujar: “Petani semestinya diberikan kedudukan terhormat dan dilindungi, karena merekalah yang menggarap, menanam dan memetik apa yang kita makan”. Dan kali ini saya sangat sepakat bung.

Wallahu Muwaffieq ilaa Aqwamith Tharieq.

0 komentar:

Posting Komentar