Rabu, 24 November 2010

Radikal Karakter

Catatan Kaki ini dipresentasikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) PC PMII Soppeng, Oktober 2010

Oleh: Muh. Ilham


1. Paham Problem Globalitas

Detik ini, kita memasuki era globalisasi. Akan tetapi, era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan. Di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk untung di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir yakni: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia III yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia III, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama GLOBALISASI...”


Senada dengan itu Mansur Fakih (Alm.) juga menyebutkan bahwa globalisasi adalah periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia, di mana terjadi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia. Ini sangat berbahaya sekali, karena peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat-pembuat kebijakan yang berpihak kepada pasar. Di era globalisasi penjajahan tingkat tinggi (IMPERIALISME) terjadi lagi. Sedangkan episode penjajahan-penindasan-penghisapan pertama dan kedua, yakni Periode pertama kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme adalah bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

2. Paham problem Nasionalitas

Kuatnya penetrasi modal Internasional ke dalam tubuh Indonesia, menjadikan nation-state ini bersifat semi-kolonial atau semi-terjajah. Ketergantungan utang luar negeri dan investasi asing dijadikan lahan empuk bagi modal internasional untuk memperkuat cengkeramannya di bumi pertiwi ini. Dan ironisnya, negara tidak berkutik di bawah genggaman modal internasional tersebut. Ideologi pembangunan neo-liberalisme yang dianut oleh Indonesia menjadikan negara kehilangan fungsi sosialnya dan memberikan tempat seluas-luasnya bagi berlakunya free fight liberalism. Di samping itu, di dalam tubuh negara terjadi “proses pembusukan diri sebagai sebuah nation-state”. Kalau dulunya, negara ini diatur dan dikomandoi oleh seorang dictator, (Alm.) Soeharto, sekarang pasca reformasi perputaran kekuasaan (yudikatif, eksekutif, legislative) berada ditangan kekuatan-kekuatan otonom yang bersifat oligarkhis. Para aparatur negara sibuk berkonflik dengan para elit politik lainnya dan tidak ada waktu untuk memikirkan nasib rakyatnya yang terlunta-lunta. Dan dampak berantai akibat konflik elite tersebut merembes ke tingkatan massa-rakyat dan menjadi politik aliran.

Dari sinilah terjadi bentuk nyata dari proses perselingkuhan tidak suci antara kekuatan oligarkhi kekuasaan dengan kepentingan modal internasional yang selalu ditandai dengan konsolidasi ditingkatan kebijakan hukum atau peraturan negara yang mendukung atas kepentingan pasar negara-negara imperialisme atau modal internasional. Ini dapat kita lihat terjadinya titik temu antara investor asing dan aparatur Negara dalam mempengaruhi dan membuat kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dan hanya pro pemodal asing. Misalnya, UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 tentang harga jual BBM, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU ini merupakan syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta, pinjaman ini untuk program restrukturisasi air), Keppres nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya UU Sumber Daya Agraria, Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan masih banyak lagi lainnya.

Selain terjadinya dependecia secara politik oleh negara terhadap mata rantai sistem global neoliberalisme secara menyeluruh dan intensif yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, telah “hancurnya” infrastruktur kekuasaan (negara) yang disebabkan oleh keangkuhan kekuatan konservatif (primordialisme = anti perubahan) dan kekuatan oportunis oligarkis yang menyerap keuntungan dari masa transisi. Sementara pada tingkatan horisontal, rembesan konflik elit di ranah perebutan kue kekuasaan mampu melahirkan konflik SARA yang dalam perjalanannya semakin menguatkan legitimasi kekuasaan politik demokrasi yang bersifat sektarian dan manipulatif. Belum lagi, di masa transisi demokrasi ini malah diperparah dengan semaraknya gerakan-gerakan masyarakat untuk mengidentifikasi diri secara “ngawur” dengan menjadikan primordialisme agama, etnisitas, dan sentimen daerah sebagai basis dan orientasi gerakan.

3. Paham Problem Lokalitas

Pergilah ke Rakyat. Tinggalah bersama mereka. Cintailah mereka. Mulailah dari yang mereka tahu. Bangunlah dengan yang mereka miliki. Namun Pemimpin yang baik, ketika kerja telah selesai dan tugas telah dilaksanakan. Rakyat akan berkata kamilah yang mengerjakannya. (Lao Tse)”


Kalau kita meyakini bahwa basis material revolusi adalah kesadaran, kesadaran revolusioner macam apakah yang kita harapkan menjadi nafas, denyut nadi dan jantung masyarakat kita? Apakah syarat-syaratnya? Adakah momentumnya? Hal inilah yang harus menjadi refleksi dan tindakan bagi kaum pergerakan itu sendiri.

Saat ini, kita berada di titik paling krusial dalam sejarah Indonesia. Hanya tersisa dua kemungkinan bagi perjuangan dan cita-cita kerakyatan: MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA. Keterlambatan ideologi kaum pergerakan mengantisipasi gelombang baru pemiskinan dan pembodohan harus diatasi dengan menggali nilai-nilai perjuangan-perubahan dari dasar-dasar penindasan-penghisapan; baik ia bernama moda produksi, moda konsumsi, atau sebatas moda distribusi ekonomi politik masyarakat. Setiap upaya pergerakan yang mengatasnamakan perjuangan-perubahan tetapi tidak mencoba memasuki RELUNG DALAM ekonomi politik yang menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya penindasan-penghisapan kemanusiaan. Pendek kata, sejarah harus dikembalikan pada esensi jiwa sosial di mana perubahan terjadi sebagai hal ALAMIAH DARI MASYARAKAT yang diharuskan (! oleh penindasan-penghisapan) untuk membebaskan diri. Buku suci perubahan adalah logika sosial yang terbentuk dari bukan hanya satu, dua, atau tiga kelas sosial, tapi JUGA dari semesta kesadaran yang mengendap-mendasari relasi sosial antar kelas dalam masyarakat. Historisitas-otentisitas perubahan, kesejatian revolusi, hanya mungkin diawali dari perlawanan atas penindasan-penghisapan otentik-historis yang terjadi dalam setiap fase di setiap tempat hidup masyarakat.



Kekosongan masyarakat (populi vacante) serta kerinduannya untuk segera keluar dari krisis multidimensi ini harus segera diisi dengan pendidikan ekonomi-politik ke dalam seluruh bahasa perjuangan masyarakat Indonesia. Pendidikan sebagai bentuk ideologisasi adalah tahapan awal guna membentuk sistem berfikir yang baru dan melahirkan kader-kader penggerak dan organisasi-organisasi massa yang ulul albab guna memperjelas tahapan keberlangsungan transformasi serta sebagai proses eksperimentasi ideologi untuk mempertanyakan, memperjelas serta memperjuangkan kedaulatan masyarakat Indonesia ke arah pembentukan sistem ekonomi politik yang populistik dan demokratik serta terbentuknya reposisi watak gerakan sosial menjadi gerakan ekonomi-politik yang berani memasuki relung dalam ekonomi politik rakyat Indonesia yang telah menjadi dasar segala “alasan” berputarnya roda sejarah masyarakat.

“Meminjam perspektif psikohistoris foucouldian, hubungan yang sudah terlampau “intens” antara sang penindas dengan mereka yang tertindas melangsungkan bukan saja rentang dominasi atau hegemoni. Lebih jauh, kita semua telah dan sedang mengenyam episode sosial yang dapat kita istilahkan sebagai homogenisasi, suatu keadaan mental dan material yang lahir dari peristiwa identifikasi kolektif dari mereka yang tertindas kepada mereka yang menindas”. Pada episode ini, tidak ada perbedaan mendasar antara sikap dan angan politik golongan tertindas dengan kaum penindas dan menjadi suatu keniscayaan ketika kaum pergerakan tidak mampu melakukan pembacaan yang menyeluruh atas situasi yang melingkupinya dirinya sendiri sebagai seorang individu atau sebagai kelompok pembaharu di tengah-tengah homogenisasi masyarakatnya sendiri pasti akan mengalami nasib tragis yang sama.


Apa Yang Mesti Kaum Pergerakan Lakukan?

Mendorong peristiwa-peristiwa sosial menjadi peristiwa-peristiwa politik, bukan sebaliknya mendorong peristiwa-peristiwa politik menjadi peristiwa-peristiwa sosial. Apa itu peristiwa sosial? Dan apa itu peristiwa politik?. Peristiwa sosial adalah peristiwa yang terjadi di tingkatan rakyat kelas menengah-miskin yang terus menggurita dan belum terselesaikan sedangkan peristiwa politik adalah peristiwa yang terjadi di kalangan elit dari negeri ini. Oleh sebab itu ruang pengorganisiran dan advokasi harus dimaknai sebagai strategi taktik dalam mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik! Untuk itu maka sasaran advokasi yang terdiri dari buruh, petani, kaum miskin kota dan elemen masyarakat yang lainnya haruslah diketahui dahulu apa kebutuhan normatif mereka sampai hari ini. Namun bukan berarti advokasi hanya dimaknai proses perkoncoan semata dalam mendampingi problem-problem masyarakat itu sendiri, melainkan bagaimana kita mampu menjawab mau kemana proses advokasi itu akan berlangsung. Hal ini tentu saja tidak bisa terlepas ideologi sebagai landasan berfikir dalam melihat proyeksi masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang telah digunakan secara luas oleh kalangan pergerakan dalam melakukan advokasi:1. Integrasi, 2. Social Investigation, 3. Prepare Tentatif Program, 4. Group work, 5. Meeting, 6. Rule Play. 7. Mobilization, 8. Evaluasi, 9. Refleksi dan 10. Opinion Building. Langkah ini sering juga disebut sebagai 10 langkah penggorganisiran.
Yang terpenting dalam memahami kerangka dasar dari strategi taktik atas kerja-kerja advokasi, entah itu penggorganisiran sektoral ataupun advokasi kebijakan politik yang tidak berpihak kepada rakyat, haruslah disandarkan atas pembacaan kita dalam memahami struktur penindasan yang terjadi.



Teruslah bergerak sahabat. Perjuangan itu melelahkan, melelahkan belum tentu berbuah, dan berbuah pun belum tentu kita akan menikmati hasilnya.


Wallahu Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq.

0 komentar:

Posting Komentar