Rabu, 24 November 2010

Re-aktualisasi Mentalitas Kebangsaan

Makalah telah dipresentasikan pada Pelatihan Kepemimpinan BEM PAI UMI Makassar, tanggal 13 November 2010 Ruang BEM PAI.

Oleh Muh. Ilham Usman, M. Fil. I
(Penggiat Ekonomi-Politik Di Sulawesi Center)


Nama Indonesia diperkenalkan pertama kali oleh duo James Richardson Logan-George Samsuel Windsor Earl (etnolog Inggris). Earl di Journal of the Indian archipelago and eastern asia volume IV, pada tahun 1850 memakai kata Melayunesia untuk nama khas Indonesia, akan tetapi Logan lebih sreg memakai kata Indunesia, terus mengganti huruf u dengan o, maka menjadi Indonesia. Kemudian nama Indonesia dipopulerkan oleh Adolf Bastian dalam bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen archipels dan Die volkev des ostl asien. Maka Indonesia pun lahir dan tegak. Di kemudian hari, seorang pejuang bernama Tan Malaka memperjuangkan kata “republik” dilekatkan dan disandingkan ke kata “Indonesia”.


Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai negara (Persia, India, Cina) merupakan Islam yang sudah berpengalaman dan matang, Islam yang sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang telah dilewati. Islam yang telah mengalami berbagai tradisi disebarkan di Nusantara oleh Syekh Abdurrauf al-singkel, Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Abdus Shamad al-Palimbangi, Syekh Khatib Sambas, K.H. Hasyim Asy’ari, dll. Islam ini biasa dikenal dengan Islam yang berhaluan Ahl al-Sunnah Wal-Jama’ah.


Ajaran Islam yang disebarkan merupakan hasil “kreatif” dan telah berinteraksi dengan tradisi setempat. Selain mengajarkan dan menyebarkan Islam yang bersifat fiqh (aturan-aturan agama), juga tak ketinggalan mengajarkan ajaran Islam bernuansa moral-etik-spiritual. Dengan demikian, Islam yang berkembang di Nusantara bercorak fiqh-sufistik, hal ini bersumber pada dua gelombang, yakni: pertama, gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi. Kedua, yakni ketika kolonial Belanda membuka perkebunan besar, banyak anak dari tokoh masyarakat mempunyai duit kemudian menyekolahkan anaknya ke semenanjung Arabia dan kembali lagi ke Nusantara membuka pesantren-pesantren. Berawal dari sinilah, corak Islam Indonesia bernuansa fiqh-sufistik, secara fisik dapat dilihat kitab-kitab klasik yang sering dijadikan rujukan antara lain karya Imam Al-Ghazali (Bidayah al-Hidayah), Ibn Atha’illah al-Askandary (Syarh al-Hikam), dsb.


Menilik dari metode yang digunakan para ulama pendahulu, maka dalam pengambilan keputusan hukum Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual dan ibadah muamalah, para ulama menjadikan fiqh sebagai etika sosial yang memuat beberapa hal, yakni pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermazhab, dari mazhab qaulÄ« menjadi mazhab manhaji. Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok dan mana yang cabang. Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial dan bukan sebagai hukum positif negara. Terakhir kelima, pengenalan pendekatan dan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah-masalah sosial dan budaya. Kelima prinsip yang dijadikan dasar dalam pembuatan suatu perkara hukum dapatlah menegakkan kemaslahatan umum sebagai tujuannya. Manusia sebagai subjek akan mendapatkan tempatnya dalam pemikiran ini dan terhindar dari pemasungan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini terkaburkan oleh peraturan hukum yang tidak memanusiakan manusia. Salah contoh aktualnya termaktub dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan bahwa salah satu makna jihad adalah daf’u dlarar ma’shumin musliman kana au ghaira muslim (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).



Mentalitas Kebangsaan


George Orwell pernah berujar “who control the past control the future, who control the present, control the past” (barang siapa yang mengontrol masa lalu, maka ia telah mengontrol masa depan dan barang siapa pula yang mengontrol masa kini, maka ia telah mengontrol masa lalu). Petikan ujaran ini mengajarkan kepada generasi anak bangsa Indonesia untuk lebih memperhatikan dan memahami masa lalu, memperhatikan realitas hari ini untuk merancang masa depan. Begitu pula dalam membangun mentalitas kebangsaan yang telah sekian lama tidur dan ditidurkan oleh para penguasa.


Hilangnya elan vital Islam sebagai agama yang memanusiakan manusia di Indonesia mempunyai sejarah tersendiri. Hal ini dimulai akibat banyak pemberontakan petani terhadap penjajah yang berasal dari kalangan ulama, haji dan kiai dan para santri membuat berang kolonial penjajah. Oleh karena itu, tampillah Snouck C. Hourgenje dan Sayyid Usman menjadi “polisi keagamaan” dalam membid’ahkan kalangan tarekat dan menarik Islam berjarak dengan realitas sosialnya. Tercerabutnya spirit perlawanan Islam Indonesia adalah hal yang signifikan bagi kalangan kolonial sehingga mampu memperkukuh cengkeraman kolonialismenya di negara ini. Pengjungkir-balikan nilai-nilai Islam yang sejak awalnya membawa spirit pembebasan sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dalam melarang atau mengkritik monopoli perdagangan yang dijalankan oleh kaum kafir Quraisy. Begitu pula bagaimana Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada umatnya berkaitan mengangkat derajat kaum lemah dan dilemahkan ke tempat yang mulia dan bermartabat.


Oleh karena itu, untuk menuju kepada re-aktualisasi mentalitas kebangsaan, setidaknya ada tiga langkah yang mesti dilakukan dalam waktu dekat, yakni pertama, penekanan terhadap anak bangsa Indonesia, tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Teladan ini dapat dilihat dari sosok K.H. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.


Kedua, penekanan dalam merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kiai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kiai-kiai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.


Ketiga, penekanan dalam memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Meminjam bahasa Hassan Hanafi, yakni melokalisasi Barat dengan mengembalikan kepada batas-batas wilayahnya dan “menghadang” mitos bahwa budaya Barat adalah “pusat peradaban dunia” dan untuk menjadi maju, maka budaya Barat mesti dijadikan contoh teladan. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kiai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang).


Akhirnya, andalah yang membuat tulisan ini berguna atau tidak sama sekali?

0 komentar:

Posting Komentar