Senin, 12 Juli 2010

Century, Korupsi Dan Pertentangan Elit Politik

Merajalelanya korupsi di kalangan pejabat bukanlah hal yang baru, tetapi telah terjadi sebelum “bangkitnya” era reformasi. Akhir-akhir ini, kasus penyelewengan dana Bank Century yang diduga telah masuk ke kantong para pejabat menjadi berita menghebohkan sekaligus menggemparkan di sudut-sudut bumi Indonesia. Penyelamatan Century yang terancam kolaps membuat pemerintah melalui KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) merestui pengeluaran dana publik sebesar Rp 6,7 triliun. Hangat dan hebohnya kasus ini pun terjadi mulai dari pembicaraan kecil di warung kopi (warkop) pinggir jalan hingga ke ruang-ruang ber-AC milik para penguasa dan pengusaha. Apa lacur, peristiwa ini membuat para penerima dana bank Century pun bulu-kuduknya berdiri.

Pertentangan Elit Politik
Lengsernya rezim Orde Baru (ORBA) di bawah komando HM. Soeharto dan berhembusnya angin segar reformasi sebelas tahun yang lalu, belumlah berjalan-seiring dengan perombakan atas mode of production yang demokratis serta populis. Masih melanggengkan mode of production colonial, sehingga yang terjadi adalah mandeknya transisi demokrasi ke arah oligarki kekuasaan. Jikalau dulunya kekuasaan eksekutif, legislative, yudikatif berada di bawah tangan Cendana sekaligus. Sekarang, lembaga-lembaga tersebut terdiri dari kekuatan-kekuatan kekuasaan otonomi yang berdiri sendiri dengan mengkultuskan identitas mereka masing-masing, pertentangan elit politik pun terjadi di depan mata.

Kasus korupsi dan penyelewengan dana dalam peristiwa bank Century mampu menjadi alat bantu yang efektif untuk dijadikan senjata mematikan bagi lawan politiknya. Pertanyaanya, siapa yang diuntungkan dari terkuaknya kasus Century ini? Dan siapa pula yang dirugikan dari kasus ini? Pastinya yang mendapat keuntungan dari kasus ini adalah para elit politik yang ingin mendapatkan “jatah” kekuasaan sedangkan orang yang dirugikan adalah sebagian besar rakyat Indonesia. Ini dapat disaksikan di media-media cetak dan elektronik, tokoh elit politik siapa yang “getol” memperjuangkan terbongkar penyelewangan dana ini? Dan tokoh elit politik mana yang juga sama getolnya mempertahankan agar kasus ini tidak di utak-atik? Terbongkarnya atau tidaknya penyelewengan dana ini, kehidupan masyarakat Indonesia tidak banyak berubah. Tetap miskin dan miskin.

Sungguh sangat ironis, para elit politik hanya berkonflik mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya masing-masing di banding memperjuangkan nasib rakyat yang semakin tergilas oleh roda globalisasi dengan ideologi kapitalisme liberalnya.

Apa yang mesti dilakukan?
Di Indonesia, perlawanan terhadap korupsi terus dilaksanakan sejak runtuhnya kekuasaan ORBA hingga detik ini. Menurut data Transparancy International, indeks persepsi korupsi (IPK) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan mulai tahun 2003 (IPK 1,9), tahun 2004 (IPK 2,0), tahun 2005 (IPK 2,2), tahun 2006 (IPK 2,4), tahun 2007 (IPK 2,3), tahun 2008 (IPK 2,6), dan tahun 2009 (IPK 2,8). Sedangkan dalam lingkungan ASEAN, Indonesia termasuk mengalami peningkatan menuju peringkat lima dari sepuluh negara yakni Singapura (IPK 9,2), Brunei Darussalam (IPK 5,5), Malaysia (IPK 4,5), Thailand (IPK 3,4). (Kompas, 19/11/2009)

Kebenaran harus diungkapkan, pelaku penyewelengan dana mesti diadili dan hukum harus ditegakkan. Penuntasan kasus ini adalah sesuatu yang penting untuk memajukan pembangunan hukum di bumi pertiwi. Akan tetapi, ironisnya penuntasan ini membuat pertentangan elit politik pun tak terhindarkan.

“Hilangnya” dana trilyunan entah ke mana itu, membuat sebagian masyarakat bertanya ke kantong siapa lagi dana itu mengalir? Padahal jikalau menyangkut pembicaraan program pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia, pemerintah selalu mengatakan bahwa dananya tidak ada. Akan tetapi jikalau berhubungan dengan pengusaha besar yang diselamatkan, maka dana besar pun mengalirnya begitu cepat.

Olehnya itu, tindakan yang mesti dilakukan adalah mendorong peristiwa-peristiwa sosial menjadi peristiwa-peristiwa politik, bukan sebaliknya mendorong peristiwa-peristiwa politik menjadi peristiwa-peristiwa sosial. Bagi penulis mendorong peningkatan kesehatan, pendidikan dan ekonomi itu lebih penting daripada hanya mendorong kasus korupsi yang ujung-ujungnya pertikaian atau konflik ditingkatan elit politik.

Mendorong peristiwa sosial ke peristiwa politik adalah sebuah penawaran awal supaya masyarakat Indonesia tidak terjebak terhadap kasus ini, khususnya para intelektual dan akademisi tidak hanya berpihak kepada elit-elit politik. Tetapi harus berpihak kepada masyarakat miskin dengan cara memajukan pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Contoh konkretnya dalam bidang kesehatan, masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi karbohidrat 1.735 kilokalori/kapita/hari dan protein 5,5 gram/kapita/hari. Padahal, idealnya menurut WHO pula, seharusnya mengonsumsi karbohidrat 2.100 kilokalori/kapita/hari dan protein 60 gram/kapita/hari. Dengan kurangnya asupan gizi inilah, sehingga usia rata-rata harapan hidup masyarakat Indonesia hanya berkisar 68-69 tahun dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, yang berkisar 72-73 tahun.

Human Development Index (HDI) yang mencakup kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Negara ini berada di peringkat 107 di antara 177 negara, dibandingkan Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 63), Thailand (peringkat 73), Filipina (peringkat 90), dan Vietnam (peringkat 105).

Atau jangan-jangan kebanyakan masyarakat Indonesia terkena penyakit rabies ideologorum (istilah penulis), yakni sekelompok orang bekerja dan bertindak untuk memberikan solusi dalam memperbaiki kondisi pembangunan kesejahteraan masyarakat, padahal sebenarnya solusi yang diberikan hanya memperumit perbaikan ini? Semoga tidak...

Pernah diterbitkan di Media Harian Fajar, 03 Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar