Jumat, 16 Juli 2010

Pendidikan dan Elpiji: Nestapa Buat Rakyat Miskin

Oleh Muh. Ilham Usman
(Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar)


Teringat sebuah pesan Kong Fu Tsu: “adalah lebih baik Anda menyalakan sebuah lilin betapapun kecilnya, daripada anda larut dalam kegelapan”. Harapan, sebuah harapan sangat tergambar jelas dari ungkapan mulia ini. Harapan ini masuk di sudut apa pun, tak terkecuali harapan untuk hidup lebih baik. Bukankah tiap ajaran, filsafat sosial, bahkan agama mengajarkannya, hingga predikat tempat “surga” selalu dijadikan pertarungan terakhir dalam pergulatan hidup ini. Akan tetapi, di negeri ini, harapan hidup lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong, ibarat sate jauh panggang dari api. Harapan pendidikan murah dan “bergizi”, aman dari ledakan elpiji selalu dinanti-nantikan.

Pendidikan mahal dan ledakan elpiji bertemu dalam satu titik singgung, titik singgung ketidaksejahteraan. Semuanya belum terwujud akibat pencabutan subsidi publik secara serampangan oleh negara dengan dalih agar masyarakat Indonesia mampu berdiri sendiri di era globalisasi ini. Bulan ini, penerimaan siswa-siswi di sekolah telah di mulai, tingginya minat orang tua menyekolahkan anak-anaknya tak berjalan lurus dengan biaya pendidikan yang terus melambung tinggi, belum lagi alat perlengkapan yang juga ikut-ikutan naik. Begitu pula, pencabutan subsidi terhadap minyak tanah membuat pemerintah mengalihkan peralatan dapurnya ke elpiji gas. Pencabutan subsidi publik merupakan salah satu bentuk dari alienasi (keterasingan) rakyat terhadap tanah airnya. Rakyat dipaksa untuk “merasa” terasing dari kekayaan alam Indonesia sebagai pemilik sah dari bumi pertiwi.

Alienasi? kata ini anda akan dapatkan, menurut Gunawan Mohammad (GM) dalam tulisan Hegel dengan kata entfremdung dan entässuerung. Entfremdung lahir karena adanya kesenjangan antara kerja dan kebutuhan manusia, sedangkan entässuerung merupakan “hal” yang lahir dari kesenjangan manusia dengan apa yang diproduksi dan diciptakannya. Lanjutnya, GM mengucap Marx dalam filsafat sosialnya lebih dekat ke makna yang kedua itu, entässuerung. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? alienasi juga sedang dan akan menyelimutinya. Alienasi itu lahir dari ideologi kapitalisme, ideologi yang memberikan porsi besar pada pasar dalam menentukan hasil akhirnya. Ironisnya, ideologi ini masih mendominasi kebijakan dan regulasi aparat pemerintah.

Peran Bijak Pemerintah
Mahalnya biaya masuk sekolah dan kuliah serta terjadinya ledakan tabung gas di mana-mana merupakan peristiwa-peristiwa sosial yang seharusnya pemerintah menanganinya secara serius, bukan hanya berkomentar yang tidak memberikan solusi terbaik. Jikalau pemerintah tidak menjalan peran sebagaimana mestinya, maka meminjam bahasa Ackermann (1997), agama sejak lahir merupakan sumber koreksi yang hadir sepanjang zaman, di mana dan kapan pun. Agama, elit agama dan kaum agamawan tidak tinggal diam melihat peristiwa-peristiwa sosial ini. Misalnya dengan mengaplikasikan kaidah fiqh agama menyatakan: “daf’u al-mafsadah muqaddam ala jalbi al-maslahah” (menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Menurut data TVone, ledakan tabung gas di tahun 2010 sebanyak 76 kasus lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Menolak ideologi kapitalisme yang telah ditanamkan oleh Amerika Serikat beserta sekutunya adalah hal yang tak mungkin, karena bisa berakibat fatal terhadap negara ini. Amerika Serikat –walaupun Presiden Obama pernah tinggal di Indonesia- akan melakukan segala hal demi mengukuhkan ideologi kapitalismenya. Maka dari itu, hal yang (segera) mungkin dilakukan oleh negara adalah meningkatkan “produktivitas” sektor strategis seperti sektor pendidikan, kesehatan dan perminyakan. Ketiga sektor inilah yang mempunyai peran strategis dalam (minimal) meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, yang hari demi hari, tertatih-tatih.

Pemaksimalan terhadap ketiga sektor strategis dapat dikategorikan sebagai menolak kerusakan besar yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat, sekutunya dan komprador domestik yang loyal terhadapnya. Pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan perminyakan akan mengantarkan masyarakat miskin dan tidak berpunya yang jumlahnya hampir 37, 17 juta jiwa dari total populasi Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan perbaikan di sektor pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi akan menumbuhkan intelektual-intelektual yang mumpuni dan kreatif menghasilkan alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negaranya dalam mengeluarkannya dari cengkeraman ideologi kapitalisme. Sedangkan di sektor kesehatan dengan subsidi yang cukup dapat memberikan kesejahteraan serta mengurangi penyakit yang timbul akibat asupan gizi yang kurang, dan sebagainya.

Tak kalah penting yakni sektor perminyakan dan gas. Sektor migas adalah menjadi kebutuhan vital menuju negara industrialisasi, maka menjadi penting jikalau sektor migas mendapat perhatian lebih dibanding sektor lain dalam menunjang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya tabung gas hasil konversi dari minyak tanah yang banyak mengalami ledakan, menurut koran media Indonesia.com, “pemerintah hanya menyiapkan slang, regulator, dan katup tabung elpiji yang harus ditebus oleh penerima program konversi minyak tanah ke gas sebesar Rp45.209 untuk Jawa dan Bali. Dana sebesar itu digunakan untuk menebus slang dengan harga pabrik Rp12.435, regulator Rp17.774, dan katup tabung Rp15.000”. melihat kenyataan ini, solusi yang diberikan oleh pemerintah seakan “ingin” lepas tangan dari permasalahan yang dihadapi oleh penerima tabung gas tersebut. Ironis bukan?

Akhirnya, memberi perhatian lebih terhadap tiga sektor strategis (pendidikan, kesehatan dan migas) ini merupakan manifestasi dari peniadaan alienasi (keterasingan) rakyat miskin dari sumber-sumber daya alamnya. Oleh karena itu, peran dan tanggungjawab pemerintah/negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya sangat diperlukan, meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti “hidup” (to live), bukan dalam arti “ada” (to exist), maka untuk tetap to live dan to exist, langkah maju dari amanat reformasi ’98 adalah melanjutkan kerja-kerja pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Lilin telah dinyalakan di era reformasi, redup atau memberi terang tergantung bagaimana pemerintah menjaganya dari terpaan angin. Hal ini mudah dikatakan, tapi sangat sulit dilaksanakan bukan?

0 komentar:

Posting Komentar