Senin, 12 Juli 2010

Misi Kenabian dan TDL

Pernah diterbitkan oleh Media Harian Manado Pos
Selasa, 06 Juli 2010


SETIAP agama mengajarkan umatnya taat dan patuh kepada sang Pencipta, serta berbuat baik terhadap sesama manusia lainnya. Sesuai dengan definisinya, agama yang berasal dari bahasa Sansekerta a bermakna tidak, sedangkan gama bermakna kacau, agama berarti suatu ajaran yang mengajarkan ketidak-kacauan. Dalam terminologi lain menurut Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam Busyral Karim bi Syarhi Masail at-Ta’lim mengatakan bahwa pengertian agama adalah ketentuan Ketuhanan yang mendorong orang yang berakal sehat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, agama mewartakan bagi setiap pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik secara vertikal kepada Sang Pencipta dan hubungan horizontal kepada manusia, binatang dan alam sekitarnya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang mengatakan: “Dan kami tidak mengutus para Rasul kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Maka barangsiapa beriman dan berbuat kemaslahatan, maka bagi mereka tidak akan takut dan sedih”. (QS. Al-An’am: 48). Imam ar-Razi dalam kitab tafsir MafÄtÄ«h al-Ghayb menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa ayat ini hendak meneguhkan antara dimensi iman dan dimensi kemaslahatan (kebaikan) dalam misi kenabian. Dakwah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw kepada para umatnya, tidaklah membeda-bedakan antara dimensi iman dan dimensi sosial dalam mewujudkan tatanan sosial yang bermartabat. Rasulullah saw telah memberikan contoh melakukan kritik terhadap hal-hal yang menistakan kemanusiaan dan melarang monopoli ekonomi (perdagangan) yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Mekkah kala itu.

Tarif Dasar Listrik (TDL)
Masuknya VOC dengan menganut ideologi kapitalisme-merkantilis serta memanfaatkan sebagian besar kaum feodal atau bangsawan sebagai kaki-tangannya (komprador domestik) dalam menjajah rakyat Indonesia menjadikan negara ini bercorak mode of production colonial (sistem ekonomi kolonial). Meminjam terminologi Hamza Alavi, maka peralihan ke kapitalisme di Indonesia sangat berbeda perkembangannya dengan di Eropa, bukan dari feodalisme ke kapitalisme, melainkan kombinasi yang terartikulasi (articulated combination) yang khas cara produksi kolonial. Sehingga yang terjadi rapuhnya kelas menengah-pribumi serta proletarisasi akut para petani dengan penghilangan akses ekonomi dan politik. Hal ini diperparah dengan dikeluarkannya Undang-Undang kewargaan pada zaman kolonial menyebabkan kaum pribumi (inlander) tersungkur dalam posisi stratum terbawah dari stratatifikasi kelas di antara golongan kulit putih (penduduk Belanda), dan golongan menengah (etnis Tionghoa dan Arab). Stratum terbawah ini terus “mengada” dalam benak mental-pikiran, sehingga massa-rakyat Indonesia mempunyai sikap yang rendah diri, pasrah, menerima apa adanya, selalu menyanjung etnis luar. Tan Malaka, seorang pejuang kemerdekaan mengategorikan penjajahan yang dilakukan oleh suatu bangsa kepada bangsa lain adalah imperialisme.

Era imperialisme belumlah berakhir. Penjajahan baru masih bercokol di tanah tercinta ini, berupa masih dianutnya ideologi kapitalisme pasar bebas oleh pemerintahan saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih menguatnya kebijakan yang hanya pro kepada golongan menengah ke atas dan mengabaikan hingga meminggirkan akses ekonomi golongan menengah ke bawah. Apa lacur, kebijakan menaikkan tarif dasar listrik (TDL), walaupun hanya dikenakan kepada pelanggan daya 1.300-2.200 VA, rata-rata adalah bergulat pada UKM dan sektor menengah. Bukankah ini mengindasikan bahwa negara ini masih menganut kapitalisme sebagai ideologinya?

Padahal seharusnya, UKM-lah yang harus disubsidi agar terjadi pertumbuhan dan penguatan kelas menengah-pribumi, yang sejak awal telah dirapuhkan oleh kolonial Belanda dan menggantinya dengan kelas menengah-semu. Dengan alasan, besarnya ongkos produksi yang mesti ditanggung oleh PLN seiring dengan mahalnya harga minyak dunia, menurut laporan tempointeraktif.com menyatakan tentang kesepakatan dalam rapat kerja Komisi Energi DPR dengan pemerintah, walau ada beberapa fraksi yang tidak sepakat menghasilkan keputusan, yakni tidak menaikkan tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan kapasitas 450-900 volt ampere (VA) dan 6.600 VA ke atas, sedangkan yang terkena kenaikan tarif adalah daya 1.300 VA dan pelanggan 2.200 VA. Hal yang sama juga diberitakan oleh Antaranews.com yang mengatakan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah membatalkan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berpotensi semakin menggerus daya saing industri dalam negeri yang berujung pada PHK.

Peran Pemerintah
Proklamasi kemerdekaan dan ideologi Pancasila tidak boleh berhenti hanya semata-mata pernyataan politik melainkan juga harus disadari sebagai sikap sejarah dan pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia. Kesadaran dasar kita hari ini adalah bahwa di ranah politik, sosial, dan ekonomi, tidak hanya menghadapi tantangan untuk bertarung dengan kekuatan-kekuatan asing yang datang dari luar, tetapi juga harus mewaspadai bahaya keterasingan yang timbul dari dalam akibat pengelolaan ekonomi politik yang hanya diabdikan kepada kepentingan permodalan neo-liberal.

Emmanuel Subangun dalam bukunya Negara Anarkhi mengatakan jikalau negara ini dibiarkan terus-menerus tanpa memiliki pemimpin nasional yang visioner, maka negara ini menuju proses Afrikanisasi. Yakni proses nasionalisme dan demokrasi di sebagian besar negara Afrika yang berakhir dengan menguatnya tabiat suku dan raja kecil, yang tak lain adalah gerak retrogad dan ketidakmampuan sebuah bangsa menghadapi tantangan zaman. Secara ekonomi tetap tergantung pada pertanian, secara politik amat tribal, dan secara sosial menumbuhkembangkan radikalisme segala rupa.

Akhirnya, pemajuan kebijakan alternatif dalam rangka menurunkan ongkos produksi mesti dilakukan, tetapi bukan dengan cara menaikkan TDL. Melainkan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri dengan pasokan batu bara dan gas dibandingkan mengejar keuntungan dengan cara mengekspor besar-besaran kedua sumber daya alam tersebut. Adalah naïf, mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu melakukan penguatan dan pemerataan di sektor kelas menengah ke bawah. Zaman trickle down effect telah berlalu, memprioritaskan kemakmuran itu lebih penting.

Memberikan pelayanan prima kepada warga negara merupakan salah satu fungsi sosial dari aparat pemerintah. Hal ini sesuai dengan kaidah agama yang mengatakan: “Tasharruf al-imam raiyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin selaras dengan kemaslahatan publik). Tugas seorang pemerintah mestilah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada warganya sebagaimana misi para nabi menjadi rahmat sekalian alam. Hal ini mudah dilakukan, jikalau pemerintah serius menanganinya bukan? Semoga.#

0 komentar:

Posting Komentar