Senin, 12 Juli 2010

Genitnya Politik Uang Dalam Pilkada

Pernah Diterbitkan Oleh Media Harian Tribun Timur
Selasa, 2 Maret 2010

Kerapuhan kesadaran politik ini bertemu dengan nafsu kekuasaan para calon kandidat, suara massa-rakyat pun dapat dibeli dengan beberapa rupiah saja. Kapan lagi kita menikmati duit pejabat, kalau bukan dalam kesempatan ini atau ambil uangnya, jangan pilih kandidatnya", seakan-akan mensahkan politik uang (money politic) yang sering dijalankan oleh para kandidat dalam pilkada

Lahir, tumbuh, dan berkembangnya demokratisasi lokal belum bisa dipisahkan dari peran parpol, apatah lagi pilkada. Dewasa ini, pilkada dapat dijadikan sebagai proses dalam melahirkan demokratisasi, walaupun masih ada celah yang terbuka.

Sedari awal, pilkada dilaksanakan sebagai kritik atas terjadinya sentralisasi kekuasaan pusat terhadap perpolitikan lokal. Dengan dasar apakah pra-pilkada, masa pilkada dan pasca-pilkada, terjadi (proses) demokratisasi di tingkatan lokal atau sebaliknya membuat rakyat tunduk, patuh, dan terhegemoni dengan kekuasaan yang ada.

Pilkada menjadikan massa-rakyat bebas memilih pemimpinnya sesuai dengan hati nuraninya. Apa lacur, cita-cita luhur itu hanya menggantung di atas awan. Proses demokratisasi ini hanya berlangsung kurang dari tujuh menit dalam bilik suara. Setelahnya, tidak ada lagi proses demokratisasi, slogan demokrasi hanya menjadi lip service belaka. Demokrasi subtansial sangat jauh dari harapan.

Politik Uang
Trauma akan masa lalu yang sangat memiriskan hati, maka pilkada di tiap provinsi, kota/kabupaten dilangsungkan. Terdengar suara-suara miris yang mengatakan bahwa "penyerahan serta pembagian kekuasaan" ke tingkat daerah, tak ayal menciptakan penguasa-penguasa kecil.
Dulunya mereka menjadi "pelayan" terhadap kekuasaan di pusat atau bisa jadi orang yang kurang mendapat tempat kekuasaan pusat. Kemudian "melarikan diri" ke tingkatan lokal dan membuat dinasti tersendiri.

Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena ada juga segelintir tokoh yang maju dan ikut dalam pilkada berkaitan dengan belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan pada pejabat yang kemarin.
Massa-mengambang yang dilahirkan oleh pemerintahan Orba hingga ke desa-desa menjadikan kesadaran politik massa-rakyat tergerus bahkan terberangus.

Hal ini terus langgeng hingga detik ini, sehingga massa-rakyat hanya memaknai pilkada sebagai pergantian kekuasaan belaka. Bukan dalam pengertian mengukuhkan demokratisasi lokal yang telah dirampas dan dicerabut pada zaman lalu.

Kerapuhan kesadaran politik ini "bertemu" dengan nafsu kekuasaan para calon kandidat, suara massa-rakyat pun dapat dibeli dengan beberapa rupiah saja. "Kapan lagi kita menikmati duit pejabat, kalau bukan dalam kesempatan ini" atau "ambil uangnya, jangan pilih kandidatnya", seakan-akan mensahkan politik uang (money politic) yang sering dijalankan oleh para kandidat dalam pilkada. Massa-rakyat seakan hanya menjadi sapi perahan dari para politisi, pengusaha, militer dan akademisi lokal.
Ini dapat disaksikan dalam pilkada di tiap-tiap kota/kabupaten yang telah melaksanakannya, di mana terjadi aliansi yang mengorbankan dan "menipu" rakyat dengan slogan-slogan manis dan menarik. Sungguh ironis.

Tidak berjalannya pendidikan politik bagi kader-kader partai, sangat berbanding terbalik dengan UU No 2 tahun 1999 yang berkaitan dengan fungsi partai politik. Antara lain melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik, menyerap dan memperjuangkan kepentingan massa-rakyat dalam pembuatan kebijakan negara, dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi (Eman Hermawan: Politik Membela Yang Benar).

Bukankah sudah menjadi pemahaman umum bahwa semua partai di dalam AD/ART mempunyai misi membangun Indonesia yang merdeka, mandiri dan berdaulat. Akan tetapi, kenyataannya para kadernya hanya mendahulukan kepentingan partai daripada kepentingan umum.
Dan, juga sudah menyalahi fungsi dari partai politik, yakni memberikan pendidikan politik yang sehat bagi masyarakat Indonesia.

Ilusi Demokrasi
Lengsernya kekuasaan Soeharto sekaligus bertiupnya angin reformasi, membuat sejumlah kalangan sangat anti terhadap otoritarianisme-birokratik. Olehnya itu, untuk mencegah berulangnya hal yang demikian, maka dibuatlah undang-undang yang mengatur tentang desentralisasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, hingga Undang-Undang 34/2004 tentang Pemerintahan daerah.

Ada beberapa point yang menjadi pijakan pelaksanaan pilkada dalam peraturan perundang-undangan yakni menumbuhkan kemampuan warga dalam mengartikulasikan kepentingannya, memajukan inisiatif warga melalui penyadaran politik dan tanggung jawab kemasyarakatan serta mendorong peningkatan sosial-ekonomi ditingkatan pedesaan yang selama ini hanya bertumpu pada perkotaan. di siang bolong.
Menurut Prof Sritua Arief dalam bukunya Ekonomi Kerakyatan Indonesia mengenang Bung Hatta mengatakan bahwa untuk menciptakan ekonomi yang lebih baik, maka perjuangan politik sangat diperlukan. Karena perjuangan politik akan melahirkan elit-elit kekuasaan yang berwatak "an effective developmental state".

Yakni (1) Elit kekuasaan yang bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat. (2) Bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunkan kekuasaan yang dipegangnya; (3) Menganut suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro kepada keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotism, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan commited terhadap emansipasi kemanusiaan untuk orang banyak.
(4) Dan tidak melaksanakan pemerintahan Negara sebagai suatu soft-state, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hokum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki.

Ilusi demokrasi yang selama ini terus membayangi proses demokratisasi lokal mestilah "dihilangkan-kabutnya" sedikit demi sedikit sehingga tidak melahirkan warga masyarakat yang berwatak de-ideoligisasi, de-moralisasi dan de-politisasi.

Adalah naif, jikalau negara yang kaya terkenal dengan penghasil timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubara thermal ketiga di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesr di dunia, penghasil nikel kelima terbesar di dunia, penghasil emas ketujuh terbesar di dunia. Akan tetapi, mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang jauh dari mumpuni.

Oleh karena itu, sebelas kabupaten di Sulawesi Selatan yang akan menggelar pilkada, masing-masing; kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Soppeng, Tana Toraja, Toraja Utara, Luwu Utara, Luwu Timur, Gowa, Bulukumba, dan Selayar. Sangat diharapkan dalam pilkada yang akan berlangsung tahun ini, akan melahirkan seorang pemimpin yang berwatakan effective developmental state, bukan sebaliknya melahirkan pemimpin yang membeli suara rakyat dengan "politik uang". Sebagaimana pula tergambar dalam petunjuk kaidah Ushul fiqh dikatakan Tasharruf al-imam 'ala al-raiyah manutun bi al-maslahah (Tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan).***

0 komentar:

Posting Komentar