Selasa, 13 Juli 2010

Gugatan Pendidikan Islam Terhadap Globalisasi

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pendidikan Islam di Universitas Mandar As'ariyyah (UNASMAN) Polewali Mandar, Sulbar.

Detik ini, era globalisasi sedang dan telah bergelinding. Era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan, ia adalah keharusan zaman. Tetapi di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk keuntungan di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir dalam buku Imperialisme Abad 21: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi...”

Maka tidaklah heran jikalau Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

Sedangkan periode ketiga, yakni globalisasi, terjadinya pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pasar.

Tantangan Pendidikan Islam
Bagaimana respon pendidikan Islam terhadap globalisasi? Apakah pendidikan Islam menerima globalisasi dan dampaknya atau menolak hal tersebut? Menurut Dr. Mahmud Arif dalam bukunya Pendidikan Islam Transformatif menulis bahwa sejak masa keemasan Islam, pendidikan Islam dapat dipetakan dalam dua arus utama aliran, yakni aliran konservatif dan aliran rasional. Aliran konservatif (al-Muhafizh) adalah aliran pendidikan Islam yang mempunyai kecenderungan “keagamaan” sangat kuat dengan ciri-cirinya hanya memaknai ilmu terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan, berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap “mengecilkan” dunia, dan menganggap ilmu hanya untuk ilmu. Titik ujungnya hanya dimaknai sebagai pewarisan budaya.

Sedangkan aliran rasional adalah aliran yang berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi (natiqah, ghadhabiyyah, dan shahwatiyyah) yang dimiliki individu sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual, antara lain hikmah (kemampuan mengetahui, berpikir, menalar dan memilah), ‘iffah (kemampuan mengendalikan keinginan sesuai dengan pertimbangan akal sehat), shaja’ah (kemampuan mengarahkan semangat/keberanian selaras pertimbangan akal sehat) dan ‘adalah (kemampuan menyeimbangkan antarberbagai potensi diri). Dengan pelbagai potensi ini dapat menjadikan manusia yang terdidik dengan pendidikan Islam menpunyai pola pikir dan cara pandang yang kritis-transformatif dan kritis-praksis terhadap globalisasi.

Ikhwan as-Shafa sebagai pelopor pendidikan Islam kritis-transformatif, melihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya berkutat pada pembinaan moral personal semata, akan tetapi juga mesti diarahkan pada pembinaan moral sosial. Dengan moral sosial inilah, maka pendidikan politik dijadikan sebagai agenda dalam melakukan transformasi sosial. Pendidikan politik dapat dijadikan sebagai alat bagi ummat Islam Indonesia untuk meningkatkan

Dengan pembinaan moral sosial, maka tugas pendidikan Islam dapat dipetakan menjadi tiga bagian. Yakni pertama, bahwa tugas nasional pendidikan Islam adalah memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kyai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang)

Kedua, tugas demokrasi pendidikan Islam adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kyai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kyai-kyai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.

Dan ketiga, tugas kerakyatan pendidikan Islam dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas. Pendidikan Islam aliran rasional ingin menekankan bahwa seorang pendidik tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Hal ini pula telah dicontohkan oleh KH. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.

Penutup
Dari uraian di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan ranah khatulistiwa ini tercerahkan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pendidikan Islam menjadi garda depan transformasi sosial menuju negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan (Tri Sakti ala Soekarno). Dengan pendidikan Islam beserta varian lembaganya pula dapat melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, kritis, kreatif, inovatif, dan tidak fanatik terhadap fundamentalisme agama yang justru menumbuh-kembangkan truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) serta fundamentalisme pasar yang menumbuh-kembangkan sistem ekonomi kapitalisme ortodoks. Semoga...

0 komentar:

Posting Komentar