Selasa, 13 Juli 2010

Kemiskinan Masih Menghimpit

Pernah Dipresentasikan Dalam Latihan Kader Kab. Mamuju Utara Sulbar
Tahun 2009


Di tanah ini// terkubur orang-orang yang//sepanjang hidupnya memburuh//terhisap dan menanggung hutang//di sini//gali-gali//tukang becak//orang-orang kampong//yang berjasa dalam setiap pemilu//terbaring//dan keadilan masih saja hanya janji//di sini//kubaca kembali//: sejarah kita belum berubah!//

Petikan puisi Wiji Thukul di atas seakan menyiratkan sejarah perjalanan nation-state Indonesia yang terus berada dalam jurang kehancuran. Mulai dari Penindasan, diskriminasi sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidaksetaraan gender dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya ini terjadi dan dirasakan hingga ke dalam relung batin masyarakat Indonesia. Sungguh ironis, negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, akan tetapi masyarakatnya berada dalam “penindasan yang sungguh sangat tragis”. Penindasan serta penjajahan yang dirasakan oleh massa-rakyat Indonesia erat kaitannya dengan konteks globalitas dan nasionalitas yang dialami oleh negara saat ini.

Di dalam konteks globalitas, sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya ideologi kapitalisme neo-liberal sedang menanamkan kukunya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kemerdekaan Indonesia yang sudah berlangsung selama hampir 63 tahun, tidak lantas dengan mudah membebaskan rakyat kita dari penjajahan dan penghisapan dari para pemilik modal yang terus-menerus melanggengkan suatu praktek kolonialisme dan imperialisme yang berkepanjangan. Rakyat Indonesia sendiri telah lama terasing dari tanah airnya sendiri yang telah dilakukan oleh modal internasional melalui kaki-tangannya pada masa Orde Baru dan masih terus dilanggengkan hingga detik ini. Kekosongan masyarakat (baca: massa mengambang/depolitisasi) yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru telah mengantarkan masyarakat kita menjadi budak dinegerinya sendiri. Sementara itu, pemerintah yang berwatak kapitalisme birokratik terus-menerus mengulang kesalahan yang sama dengan kesalahan yang dilakukan di masa lampau, menjadi pemuja kemegahan pembangunan manusia Indonesia secara fisik dan mental yang senyata-nyatanya malahan justru menyengsarakan rakyat sendiri.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi persoalan yang cukup besar menyangkut tanah, air dan udara yang dikuasai oleh pihak asing. Kedaulatan nasional yang dicita-citakan oleh para founding father negeri kita senyatanya tidak terwujud setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang mensyaratkan pembayaran denda kerugian perang yang dikeluarkan oleh Belanda dalam perang kemerdekaan. Indonesia pun mulai berhutang kepada Amerika Serikat sejak saat itu. Pada masa Orde Lama, pemerintahan Sukarno menyerukan kemerdekaan sepenuhnya sebagai prasyarat kedaulatan, termasuk juga membebaskan diri dari beban hutang luar negeri Amerika Serikat dan menjadikan politik sebagai panglima dalam pemerintahannya. Tetapi, keadaan ini berbalik dengan adanya pembantaian massal pada akhir September 1965 yang menjadi awal lahirnya Orde Baru.

Lahirnya Orde Baru dengan developmentalisme-nya telah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam pemerintahannya. Secara teoritik, terdapat dua pendekatan besar dalam pembangunan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, yakni pertama, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan terjadi, karena akibat kekurangan modal, maka investasi modal secara besar-besaran menjadi agenda utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Dan pendekatan ini dominan di pakai oleh pemerintahan anggota WTO dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kedua, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kebijakan kelembagaan yang tidak memberi ruang dan kesempatan bagi si miskin. Olehnya itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan terhadap kelompok miskin agar mereka dapat memiliki serta mampu merebut aset di berbagai level kehidupan.

Sebagai negara yang tunduk kepada pihak asing, maka pilihan pendekatan pertama pun jatuh padanya. Dikeluarkannya berbagai regulasi yang ”mengamini” masuknya investasi asing, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian dikeluarkannya hak guna bangun (HGB), hak guna usaha (HGU) dan hak pengelolaan hutan (HPH) yang di atur dalam UU No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan UU No. 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan serta UU No. 8/1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Modal internasional menggunakan strategi baru dalam melakukan penjajahan terhadap negara dunia ketiga dengan menggunakan Multi National Corporation (MNC)/Trans National Corporation (TNC).

Kehadiran MNC/TNC di Indonesia semakin dipermudah dengan penawaran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan keunggulan komparatifnya yaitu buruh yang murah, tanah yang murah, dan sumber daya alam yang melimpah. Perampasan serta perampokan tanah milik rakyat tersebut hingga hari ini melahirkan sengketa agraria yang sulit terselesaikan, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum. Akhirnya sampai detik lengsernya pemerintahan Orde Baru, ribuan pabrik sudah berdiri di Indonesia, di atas tanah milik rakyat yang tergusur. Hal ini sangatlah bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, empat cita-cita kemerdekaan bangsa adalah (1). Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2). Memajukan kesejahteraan umum, (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4). Ikut melaksanakan perdamaian dunia.

Era Reformasi dan pertarungan Para Elit Politik
Lengsernya kepemimpinan diktator-militeristk HM. Soeharto, memberikan angin segar terhadap kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Seiring perjalanan era reformasi, kekecewaan ternyata sangat terlihat di wajah kusut rakyat Indonesia, betapa tidak, perbaikan nasib dan keadilan dalam memperoleh kekayaan alam Indonesia pupus sudah oleh kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa yang tidak (pernah) memihak kepada grass root, malahan hanya berpihak kepada investor asing yang menanamkan modalnya (modal internasional) di bumi pertiwi ini.

Tak pelak lagi, transisi demokrasi telah berubah haluan menjadi institusional oligarkhi politik di antara elit-elit politik. Legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lagi dalam satu payung kepemimpinan tetapi telah terbagi-bagi dan tersebar ke dalam ranah kekuasaan otonom. Pertarungan kekuasaan di antara elit politik menjadikan negara ini seakan berada dalam “perang saudara” sebangsa dan setanah-air sendiri. Mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia, akan tetapi mereka lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu.

Untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik kita melakukan berbagai usaha untuk mencapai tampuk kekuasaan, akibatnya tidak muncul pemimpin nasional dengan karakter kerakyatan. Untuk dapat menjaga kelanggengan kekuasaan mereka, mereka juga mencari dukungan dari modal internasional yang tentunya juga berimbas pada paket-paket kebijakan yang harus mereka keluarkan, dan pastinya berpihak pada modal internasional. Kebijakan otonomi daerah yang ditandatangani oleh B. J. Habibie adalah salah satu usaha membuka peluang besar bagi modal internasional untuk melakukan ekspansi langsung ke daerah tanpa harus mendapat persetujuan dengan pemerintah pusat.

Singkatnya, pemerintahan melakukan kongkalikong (perselingkuhan tidak suci) dengan modal internasional. Rakyat sendiri hanya diajak untuk berbicara soal politik lima tahun sekali, saat pemilu. Hal ini ditujukan untuk melestarikan politik massa mengambang yang menguntungkan bagi pemerintah di mana kesadaran rakyat semesta dikendalikan dan di hegemoni oleh negara.

Akibat dari penjajahan neo-kolonialisme dan imperialisme dalam rupa IMF, World Bank, WTO dan lain sebagainya, hari ini rakyat harus menghadapi berbagai persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat menikmati hidup sebagai manusia, mulai dari terampasnya tanah yang dimilikinya untuk industri hingga mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Di dalam ideologi kapitalisme internasional, manusia di anggap sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan dengan sistem upah yang tidak layak.

Pemiskinan Sama Dengan Melanggar HAM
Dalam situasi ketertindasan dan kemiskinan seperti ini, sudah layak dan sepantasnya jika kita mempunyai sistem pemerintahan yang mampu mengambil keberpihakan kepada rakyat atau dalam istilah Bung Karno pemerintahan yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Namun kenyataan yang kita saksikan hari ini adalah sebuah panggung sinetron yang setiap hari seorang pemain dapat berganti lakon dan watak seribu kali. Pada awal masa kampanye Pemilu 2004 ini, kita dapat menyaksikan sebuah fenomena menarik di mana setiap partai politik yang terlibat dalam pemilu mencoba untuk mati-matian menarik simpati rakyat dengan ikut mencangkul di sawah, berkunjung ke rumah sakit, sampai ke pasar tradisional hanya demi satu tujuan yang sama, memperoleh dukungan yang sebanyak-banyaknya dari rakyat banyak.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 Desember 1984, di kota Paris, dideklarasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kemudian pada tanggal 16 Desember 1966, PBB menghasilkan dua konvenan, yakni konvenan hak-hak sipil-politik dan konvenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. DUHAM dan dua konvenan tersebut kemudian menjadi UU HAM internasional dan menjadi bagian dari hukum internasional. Dengan demikian, perjanjian tersebut adalah perjanjian antar-negara, maka dalam hukum asasi manusia internasional, negara merupakan subjek hukum. Oleh karena itu, negara-negara peserta perjanjian mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus diberikan kepada warga negaranya, yang meliputi: 1). Kewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia; 2). Kewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia; 3). Kewajiban memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia. Sedangkan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara dapat mengambil dua bentuk, yakni 1). Melanggar melalui pelanggaran dengan tindakan (violence by action); 2). Dan melanggar melalui pelanggaran dengan cara pembiaran (violence by omision)

Dengan menilik hal di atas, maka negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan pelanggaran dengan cara pembiaran. Karena telah membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan, ketertindasan, keterjajahan dan penderitaan yang akut. Dan sejarah kita belum berubah, sejarah penindasan. Wallahu a’lam bisshawab…

0 komentar:

Posting Komentar