Selasa, 13 Juli 2010

Idul Fitri dan Nilai-nilai Kemanusiaan

Pernah Diterbitkan Oleh Media Harian Tribun Timur
Rabu, 23 September 2009

Kemarin sebulan penuh umat Islam telah melaksanakan puasa Ramadan. Mudah-mudahan Allah swt menerima segala amalan yang kita perbuat dan tentunya menjadikan diri pribadi sebagai Muslim dan Muslimah yang berakhlak baik.

Momentum Ramadan ini, kita jadikan sebagai latihan dalam mendidik dan menempa jiwa menuju yang fitrah. Oleh karena itu, di akhir Ramadan kita mendirikan salat Idulfitri sebagai perlambang dimulainya era baru bagi setiap individu yang lulus dalam tempaan jiwa selama sebulan ini.

Idulfitri, bermakna id berarti kembali dan fitri berarti fitrah kesucian manusia. Jadi Idulfiri adalah kembali ke fitrah suci manusia ibarat bayi yang baru lahir dari perut ibunya, suci, dan bersih.
Akan tetapi, kenyataannya sangat berbeda dengan realitas masyarakat Islam Indonesia yang menjadikan Idulfitri sebagai ajang "belanja" berbagai kebutuhan Idulfitri. Idulfitri hanya bermakna hari raya Islam yang sangat jauh dari pesan keilahiaan dan kemanusiaan.

Idulfitri hanya dijadikan sebagai hari "berpesta makan dan minum" setelah sebulan penuh menahan makan dan minum di siang hari. Maka dari itu, idealnya Idulfitri adalah momentum awal ujian-aplikatif dari sekian ibadah yang dianjurkan di dalam Ramadan, seperti berkasih-sayang, membeikan perhatian yang tulus, berlemah-lembut, berkata baik, tidak mencaci-maki, memberi infak atau sedeqah, dan sebagainya.

Fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, penciptaan atau kejadian. Sebagaimana di dalam surah al-Rum ayat 30 yang artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".

Dari ayat di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya manusia sejak awal kejadiaannya membawa potensi keagamaan yang hanif (lurus). Dengan demikian, tiap individu manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat mengarahkan hidup dan kehidupan ummat ke arah lebik baik.
Sejalan dengan itu, kelahiran Islam pun untuk mendobrak tatanan sosial masyarakat yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Islam datang dan memihak terhadap kaum mustadh'afin (orang-orang yang lemah dan dilemahkan) dan melarang eksploitasi manusia atas manusia yang lain.
Pesan kemanusiaan Idulfitri seharusnya menjadi pijakan ummat Islam dalam beraktivitas sehingga segala perkataan dan perbuatannya menghormati dan menghargai individu lainnya. Sejak awal, Islam diturunkan dalam konteks zamannya, pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya serta sistem ekonomi alternatif.

Alternatif terhadap sistem sosial-budaya dan sosial-ekonomi di tanah Arab, yang mana pada waktu itu sedang berlangsung sistem yang sangat tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seperti Islam sangat menolak sistem monopoli perdagangan dan riba yang dijalankan oleh para tokoh Quraisy pada kala itu.

Menghargai Perbedaan
Menghargai perbedaan etnis dan keyakinan. Begitu pun dengan ketidakadilan gender yang dilestarikan secara turun-temurun oleh orang-orang Arab, mereka tidak menghargai wanita pada zamannya. Inilah beberapa sistem yang dikritik oleh Islam, sehingga makna Islam sebagai rahmatan lil-'alamin menemukan relevansinya.

Seorang pemikir Islam, Al-Syathibi di dalam bukunya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah memperkenalkan konsep maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari'ah). Adapun tujuan-tujuan syari'ah Islam diturunkan ke muka bumi adalah agar supaya kemaslahatan kehidupan ummat terjaga, yang meliputi 3 (tiga) bagian, yakni 1). Al-daruriyat al-khams (kebutuhan primer) yang meliputi kemaslahatan jiwa, kemaslahatan agama, kemaslahatan keluarga, kemaslahatan akal, dan kemaslahatan harta benda, 2). Al-daruriyat al-hajjiyah (kebutuhan sekunder) yakni untuk mendukung terlaksananya kemaslahatan yang bersifat primer tadi; 3). Al-daruriyat al-tahsiniyyat (kebutuhan tersier) yakni meliputi kebutuhan yang bersifat tambahan. Dari ketiga maqasid al-syari'ah ini, terlihat jelas bahwasanya ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dan Idulfitri pun dapat bermakna sebagai kembali menegakkan dan mempraktikkan nilai-nilai kemanusiaan yang sekian lama terpendam atau terkaburi dengan sifat-siafat egois manusia yang tidak menghargai nilai-nilai universal tersebut. Kembali menegakkan sikap berlemah-lembut di lingkungan sekitarnya.

Kembali mempraktikkan tutur-kata yang baik di antara tetangga dan handai-taulan sekelilingnya. Kembali menghargai dan menghormati perbedaan ras, agama, etnis, suku dan keyakinan di antara masyarakat Islam, khususnya masarakat Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan ini seharusnya menggeser dan menggusur nilai-nilai kepri-binatangan yang menjadikan manusia belum mampu menjadi khalifah-sejati di muka bumi ini

Mengambil Hikmah
Sebuah kisah arif, di mana Timur Lenk menghadiahi Nasruddin seekor keledai dan ia pun menerimanya sepenuh hati. Akan tetapi Timur Lenk berpesan bahwa keledai itu harus bisa membaca buku dalam dua minggu.

Dan Nasruddin pun menyanggupinya. Sebagaimana kita ketahui bersama, dengan akal cerdiknya Nasruddin pun mulai memutar-otak dan berpikir bagaimana caranya keledai ini bisa membaca padahal ia adalah seekor binatang. Ia pun mendapatkan ide dengan memberinya seiap gandum di tiap lembaran buku itu.

Ia pun mulai melatih membolak-balik buku tersebut hingga akhirnya ia pun di panggil oleh Timur Lenk untuk mempertanggungjawabkan kesanggupannya mengajar keledai untuk membaca. Di hadapan Timur Lenk, Nasruddin pun mulai menunjukkan kepiawaiannya sehingga sang keledai itu pun dengan tenang mulai membuka sampul buku, terus membuka lembaran demi lembaran hingga ke lembaran akhir.
Nasruddin pun mendapat penghargaan dan applause dari sang raja Timur Lenk. Timur Lenk pun mulai penasaran dengan berkata dalam hati: "Sungguh hal yang aneh, seekor keledai dapat membaca hanya dalam waktu dua minggu?".

Dengan rasa penasarannya, ia pun mulai mempertanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh Nasruddin sehingga dapat menjadikan seekor keledai dapat membaca. Dengan hati tenang, Nasruddin pun menceritakan bahwa tiap hari ia melatih keledai buka lembaran buku yang mana di setiap lembaran terdapat gandum, sehingga mau tidak mau, sang keledai itu pun akan berusaha mencari gandum itu dengan membuka tiap lembaran.

Sang raja pun mengangguk sebagai rasa takjub atas didikan Nasruddin. Tetapi ia pun melanjutkan rasa penasarannya dengan berkata: "Kalau begitu berarti keledai itu tidak mengetahui dan mengerti apa yang dibacanya?

Nasruddin pun menjawab: "begitulah keledai hanya membalik-balik buku tanpa mengerti isinya".
Dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah bahwa jika seorang individu di bulan Ramadan dan Idulfitri hanya dilalui begitu saja, tanpa ada hikmah yang dapat dipetiknya, maka apa bedanya kita sekalian dengan seekor keledai yang hanya mampu membalik-balik buku tanpa mengerti isinya.

Bukankah seharusnya menjadi muslim sejati adalah dengan mengambil hikmah dari setiap lembaran peristiwa demi peristiwa dan dijadikan pelajaran untuk masa akan datang sehingga terwujud tatanan sosial yang menghormati dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan bathin. Selamat idul fitri 1430 H.***

0 komentar:

Posting Komentar