Senin, 12 Juli 2010

Ironi Korupsi Sistemik Dan Kemiskinan Struktural

Pernah diterbitkan di Media Harian Ujungpandang Ekspres
Rabu, 17 Maret 2010

Korupsi dan penggelapan uang merupakan dua padanan kata yang akhir-akhir ini sangat ramai diperbincangkan, mulai dari pos-ronda, pasar hingga hotel-hotel mewah dengan pembicara yang sangat handal dibidangnya. Tak ketinggalan pula banyaknya artikel yang telah ditulis oleh penulis tersohor, baik di buletin, koran, maupun jurnal. Hal ini menjadi penanda bahwa kedua kata tersebut telah memasuki relung batin masyarakat luas. Sekarang pertanyaanya, jikalau korupsi dan pelakunya telah menjadi pembicaraan umum. Mengapa perilaku dan si pelakunya masih bebas berkeliaran di tengah-tengah masyarakat?

Apa yang salah dari penegakan hukum di Indonesia ini? Atau apakah memang benar bahwa hukum di Indonesia ini hanya “mengada” bagi masyarakat miskin, bukan pada masyarakat kelas menengah ke atas? Apakah memang benar hukum di bumi khatulistiwa ini bisa dibeli dengan setumpuk uang? Kalau memang benar demikian, maka negara ini menuju ke ambang kepunahannya. Sungguh ironis.

Sebelas tahun reformasi telah dilewati bersama, ternyata belum membuahkan apa yang diidam-idamkan masyarakat Indonesia. Reformasi yang diharapkan dapat menghancurkan karakter ORBA (karakter ORBA menurut Arief Budiman yakni negara otoriter-birokratik-rente), malah melahirkan elit-elit politik yang patuh pada kebijakan partainya. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka.
Namun, kebijakan dan regulasi yang dihasilkannya justru mengarah pada pengaburan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Ini dapat disaksikan dengan kasus century dan pansusnya, yang kian hari menjadi bola liar, entah kemana arahnya. Hal ini dapat diibaratkan air beriak tanda tak dalam.

Menurut hukum, yang dimaksud dengan korupsi adalah melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; serta menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. Hal ini telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU no. 31 tahun 1999 jo UU no. 20 tahun 2001 (KPK, Memahami Untuk Membasmi, 2006)

Menilik pengertian di atas, tindakan korupsi yang seringkali dilakukan oleh aparat pemerintah dapatlah dikategorikan sebagai bagian dari korupsi sistemik. Korupsi ini dapat bertahan dan langgeng dikarenakan ada unsur-unsur penopangnya. Menjamur dan terlembagakannya tindakan ini menjadikan penyelesaian kasus-kasus korupsi belum bisa dikatakan berhasil, untuk tidak mengatakan mengalami kegagalan. Dan salah satu unsur penopangnya yakni oligarki politik yang dengan setia ”menjaga” kedudukan dan kekuasaanya supaya tidak bergeser sedikit pun.

Runtuhnya konsolidasi demokrasi yang telah terlihat dengan lensernya KH. Abdurrahman Wahid dari tampuk kekuasaannya, menjadikan negara ini berwatak otonomi-relatif. Yang dimaksud otonomi-relatif adalah negara yang mempunyai watak pertarungan kekuasaan terjadi terus-menerus. Perselisihan bahkan hingga pertarungan antar partai selalu dan akan selalu terjadi, hasil final pemilu seakan tidak pernah selesai.
Perselisihan antar elit partai dan antar-partai menjadikan korupsi sistemik langgeng dan menggurita di bumi pertiwi ini. Apa lacur, korupsi sistemik terus merusak dan tegak tanpa tersentuh oleh ”tangan” hukum. Penyelesaian kasus korupsi hanya terlihat dan ramai dibicarakan dipermukaannya saja, tetapi ujung-ujungnya lemas dan redam begitu saja.

Kemiskinan Struktural
Salah satu dampak dari korupsi sistemik adalah terjadinya pembiaran membengkaknya kemiskinan. Di negeri ini, kemiskinan yang tengah terjadi bukanlah kemiskinan kultural, tetapi telah masuk dalam ranah kemiskinan struktural. Ini dapat disaksikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari data yang didapatkan hampir separuh rakyat Indonesia hanya berpendapatan antara US$ 1 – 2 US$ perhari, sedikitnya 45 persen pekerja termasuk kategori miskin atau berpendapatan dibawah 600 ribu/bulan dan lebih dari 62 persen dari 94 juta orang yang bekerja melakukan pekerjaan di sektor informal. Sementara dari sebagian usaha sektor formal, menjalankan kegiatan usaha mereka secara tidak permanen dan rentan mengalami kebangkrutan. Saat ini jumlah orang miskin mencapai 37,17 Juta jiwa (16,58%) dari total populasi Indonesia. Dari total orang miskin di Indonesia, 66% berada di pedesaan dan sekitar 56% menggantungkan hidup dari dunia pertanian. Sedangkan pengangguran terbuka mencapai 11,10 juta Jiwa (10,45% dari total angkatan kerja).

Langgengnya sistem berekonomi khas kolonial (cara berekonomi yang hanya berorientasi pada kalangan Eropa dan Timur Asing pada zaman kolonial Belanda) masih bertahan hingga detik ini, menjadikan aparat pemerintahan hanya mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang melindungi kelas menengah ke atas. Terjadinya proletarisasi dan marginalisasi terhadap kaum miskin mestilah diatasi dengan menggali nilai-nilai perubahan dari dasar-dasar keterpurukan. Setiap upaya kaum pro-demokrasi yang mengatasnamakan perubahan tetapi tidak mencoba memasuki relung dalam ekonomi-politik yang menjadi dasar segala alasan berputarnya roda sejarah masyarakat, hanya akan melahirkan tindakan mempersoalkan untung rugi sosial dan tidak bisa jadi jaminan berakhirnya pengangguran, kemiskinan dan korupsi sistemik.

Dalam sejarah Indonesia, salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit adalah menjamurnya korupsi dan mementingkan kepentingan pribadi dan golongan di atas segala-galanya, begitu pun dengan perusahaan kolonial Belanda, VOC hancur berantakan karena telah menjamurnya perilaku korupsi di antara birokrat-birokrat perusahaan. Apakah sejarah itu akan berulang kembali? Menurut Ortega Y. Gasset, kita harus mempelajari sejarah dalam keseluruhannya, bukan untuk mengulanginya, tapi untuk meninggalkannya.

Akhirnya, pemberantasan terhadap korupsi sistemik sangat penting untuk mengurangi dan mempersempit jurang antara golongan the have dan miskin. Dengan “pemotongan” rantai korupsi sistemik berarti juga telah menegakkan hak-hak sosial ekonomi kaum miskin yang selama ini justru tidak sampai kepada golongan yang berhak. Dan mudah-mudahan awal tahun 2010 ini menjadi tahun komitmen bagi semua pihak bahwa korupsi sistemik tidak boleh dibiarkan dan harus diberantas, agar supaya negara ini tidak menjadi sarang bagi tumbuhnya negara kleptokrasi (pemerintahan oleh pencuri). Semoga…

0 komentar:

Posting Komentar