Selasa, 13 Juli 2010

Jika Tan Malaka Masih Hidup?

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Universitas Negeri Makassar

Tanggal 19 Februari 1949, masih ingatkah peristiwa yang terjadi kala itu? Malam naas dan tragis bagi Tan Malaka, sang pejuang nasionalis revolusioner. Tertembaknya Tan Malaka oleh saudara sebangsa dan setanah-airnnya dari kalangan tentara reguler Macan Kerah, Brigade “S” di bawah pimpinan Letkol Surachmad di desa Pethok, Kediri. Akhir tragis bagi si pejuang kemerdekaan nasional. Dan beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 53 tahun 1963 yang isinya menganugerahkan gelar pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Tan Malaka.

Persatuan Perjuangan
Pasca-kemerdekaan 1945, Bung Hatta mengeluarkan Manifesto Wapres no. X tanggal 1 November 1945 yang memaklumatkan agar partai-partai politik segera didirikan. Bak gayung bersambut, partai-partai politik pun tumbuh dan berkembang bak jamur di musim hujan. Sedangkan di sisi lain, situasi dan kondisi Indonesia-muda masih sangat rentan terhadap penjajah Belanda.

Sebagai pejuang yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan 100% bagi negaranya, Tan Malaka sangat kecewa dengan sikap yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah sangat bertolak-belakang dengan kemauan rakyat. Karena menurut, Tan Malaka banyaknya partai yang bermunculan hanya akan membuat negara Indonesia lemah dan tak berdaya di hadapan para penjajah. Dan memang benar, Indonesia-muda mengalami “konflik elite politik” di dalam tubuhnya sendiri.

Melihat akan hal ini, Tan Malaka berinisiatif membentuk suatu wadah untuk mengkoordinasikan partai politik, laskar, dan badan-badan perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan 100 %. Dan dalam sejarah Indonesia, Tan malaka berhasil menghimpun dan menyatukan 141 organisasi terdiri atas partai politik, organisasi kepemudaan, kelaskaran rakyat, dan tentara Indonesia, berkumpul sebagai bentuk kritik terbuka atas cara-cara diplomasi pemerintah pusat lewat perjanjian-perjanjian yang sangat merugikan posisi politik dan kepentingan rakyat nasional, sebelumnya pada tahun 1925-1926, Tan Malaka juga pernah membicarakan pentingnya persatuan dan kesatuan, diantara pan-Islamisme, kaum nasionalis dan kaum “merah” dalam mengusir penjajahan kolonial Belanda. (Takashi Shiraishi: Zaman Bergerak).

Persatuan Perjuangan (PP) yang didirikan oleh Tan Malaka berhasil merumuskan minimun program, antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 %; pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintahan dengan kemauan rakyat); tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat); melucuti tentara Jepang; mengurusi tawanan bangsa Eropa; menyita (membeslag, confiscate) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun); menyita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll).

Konflik Elit Politik
Cita-cita reformasi yang terhadang oleh pertikaian elit politik, hanya melahirkan oligarkhi ekonomi dan politik, walaupun beberapa saat lalu Gus Dur dengan dukungan poros tengah pernah menata perekonomian dan perpolitikan dengan baik.

Hal ini diperparah dengan masih terjerembabnya Indonesia dalam posisi semi-kolonial terhadap penjajah asing menjadikan para penyelenggara negara tidak dapat berbuat banyak, selalu di suntik dan di paksa untuk mengikuti petunjuk dari “negara luar”. Apa lacur, nation-state ini tidak hanya keropos dari luar tetapi dari dalam pun sudah di depan mata.

“Malasnya” negara mengurusi tumpukan permasalahan sosial yang dihadapi oleh massa-rakyat, membuat rakyat bersikap apatis terhadap negara sebagai penanggungjawab dalam pemulihan permasalahan-permasalahan sosial. Negara berjalan ke kanan sedangkan massa-rakyatnya berjalan ke kiri. Sungguh ironis.

Terperangkapnya para elit politik yang hanya sibuk mengurusi peristiwa-peristiwa politik dan kekuasaan dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa sosial, seakan membuat kita sekalian bertanya apakah partai politik (parpol) pernah melakukan kaderisasi dan pendidikan politik terhadap kader-kadernya yang berkiprah di pentas perpolitikan nasional saat ini.

Bagi penulis, ada baiknya para elit politik “membaca-ulang” minimum programnya Persatuan-Perjuangan ala Tan Malaka yang dibuat guna mendaulatkan rakyat Indonesia, baik dari luar maupun dari dalam. Harapan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, selalu akan ada dan terpatri, mengutip Erich Fromm bahwa “harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan sosial agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan”.

Jika pejuang nasional itu masih hidup hingga detik ini, penulis yakin ia akan kembali melanjutkan Persatuan-Perjuangannya demi menghindarkan negara dan rakyat pada kehancuran. Semoga, di hari wafatnya ini, gagasan Tan Malaka terus dapat diapresiasi dan tidak lagi dipinggirkan ke panggung sejarah. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Semoga…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mendalam

Posting Komentar