Selasa, 13 Juli 2010

Negara dan Militer

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Di Universitas Hasanuddin
Makassar, 03 April 2010

Indonesia, lebih baik di bom atom sekalian daripada tidak merdeka 100 %
(Jendral Besar Sudirman)

Petikan penyataan diatas menyiratkan bahwa seharusnya negara Indonesia sebagai tempat manusia-manusia Indonesia berpijak, merdeka dan berdaulat atas tanah, air dan udaranya. Merdeka dan berdaulat atas ekonomi dan politiknya. Ironisnya, yang terjadi adalah semua kekayaan alam Indonesia dicaplok, diperas dan dikikis habis-habisan oleh para pemodal internasional (perusahaan internasional seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Shell, dsb). Massifnya penetrasi modal internasional membuat negara ini sangat tergantung, akibatnya, penentu kebijakan ekonomi sekaligus politik ada di tangan para pengusaha luar negeri yang bergandeng-tangan dengan para penguasa, pengusaha dalam negeri dan militer. Posisi ini menjadikan negara Indonesia bersifat semi-kolonial, setengah dijajah atau belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Rakyat Indonesia sebagai pemilik sah atas kekayaan alam Indonesia, ternyata dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan besar milik pengusaha luar negeri.

Peranan negara sebagai pelayan massa-rakyat dalam mensejahterakan, memakmurkan dan menjaga keamanan belum terpenuhi. Negara sebagai fasilitator bagi segala kepentingan rakyat Indonesia diabaikan begitu saja. Segala peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan SBY-JK tidak berorientasi dan berpihak pada rakyat, mulai dari kenaikan BBM, keppres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, swastanisasi BUMN, dan sebagainya. Memang benar, Indonesia telah merdeka bertepatan dengan dibacakannya TEKS PROKLAMASI oleh Soekarno-Hatta, tetapi faktanya tidaklah demikian. Negara justru menjadi hamba atau budak lewat cara membuat kebijakan-kebijakan “hasil pesanan” para kaum kapitalis monopoli.

Begitupula dengan reformasi, yang dielu-elukan sebagai pembawa angin segar bagi perbaikan negara Indonesia, tidaklah bersua. Alih-alih memberikan perbaikan bagi kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya bangsa Indonesia, malahan yang terjadi adalah penindasan dan penjajahan yang lebih parah lagi. Penindasan dan penjajahan ini justru dilanggengkan oleh Aparatur negara sendiri. Menurut Louis Althusser, seorang tokoh pembebasan Eropa, membagi aparatur negara menjadi dua, yakni Ideologi State Aparatus (ISA) yang bekerja secara persuasive dan ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dsb. Sedangkan Represif State Aparatus (RSA) yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan, seperti polisi, militer, penjara, pengadilan, dsb.

Sejarah Lahirnya Militer
Pada tahun 1825-1830 telah terjadi perang Jawa yang sangat dahsyiat antara pangeran Diponegoro dengan VOC. Walaupun kemenangan berada di tangan VOC, tetapi perang ini menyebabkan VOC bangkrut dan bubar, kemudian kerajaan Belanda mengambil alih seluruh yang berkaitan dengan VOC, termasuk tentara. Akibat perang yang dahsyiat itu, VOC kehilangan tentara sebanyak 15. 000 orang, dengan estimasi 7. 000 tentara VOC dan 8. 000 tentara yang dipasok dari para raja yang pro terhadap VOC. Atas dasar inilah, Kerajaan Belanda yang berkuasa di Hindia Belanda sepeninggal VOC, membangun tentaranya dengan KNIL (Koninklijk Nederlandhsch Indische Leger) yang berfungsi sebagai menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri.

Para tentara KNIL atau biasa disebut kompeni inilah yang menjadi penjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas colonial Belanda di negeri Indonesia. Pendek kata, jika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh para pahlawan kita dalam perjuangan kemerdekaan, maka KNIL - yang para anggotanya banyak direkrut dari para pemuda miskin Indonesia - menjadi garda depan dalam menghalangi perjuangan tersebut. Belanda dengan Politik devide et impera (politik pecah-belah) dapat mematahkan perjuangan-pergerakan para pahlawan Indonesia. Dan dengan kekuatan KNIL pulalah, Belanda melanggengkan penindasan dan penjajahannya di bumi persada ini.

Menjelang kekalahannya dari Jepang, KNIL mengalami pergeseran dalam rekruitmen dan fungsinya. Dari segi rekruitmen banyak golongan terpelajar, golongan kaya dan golongan aristocrat yang diterima menjadi anggota KNIL, antara lain Didi Kartasasmita (keturunan keluarga Menak yang sangat dihormati di Sunda), Surjadi Surjadharma (bangsawan Jawa keturunan Banyuwangi), Pangeran Purbonegoro dan adiknya BKPH Djatikusumo (putra dari Susuhan Pakubuwono X dari Surakarta, Ahmad Junus Mokoginta (seorang aristocrat dari Kotamobagu, SULUT), Alex Kawilarang, A. H. Nasution, TB. Simatupang, Rahmat Kartakusumah, Askari, dan lain sebagainya. Sedangkan dari segi fungsinya, tentara KNIL tidak hanya menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri, tetapi juga mempertahankan Hindia Belanda (Indonesia) dari serangan tentara Dai Nippon Jepang.

Pada tahun 1942, Jepang mengalahkan dan memukul mundur Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Jepang pun menguasai negara Indonesia. Akan tetapi, kekuasaan Jepang atas Indonesia tidak berlangsung lama. Dikarenakan di luar negeri, Jepang secara bertubi-tubi diperangi oleh tentara Belanda dan sekutu sedangkan di dalam negeri, Jepang “disibukkan” dengan perjuangan kaum muda Indonesia dalam menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dititik persinggungan inilah, Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) sebagai kekuatan yang dapat menggempur tentara sekutu, jikalau tentara sekutu memasuki wilayah Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh Ruslan Abdul Gani , pertama, semakin terjepitnya tentara Jepang di Lautan Pasifik, di Pasifik Utara, tentara Jepang berhasil di usir dari kepulauan Alexantian; di pasifik Tengah, armada Amerika siap mendekati Filipina; di pasifik Selatan, pasukan Jepang berhasil dipukul mundur dan direbutnya kembali kepulauan Solomon; di pasifik Barat Daya, tentara sekutu mulai memasuki Papua dan pantai Nugini. Kedua, sebagai akibat dari semakin terjepitnya tentara Jepang oleh tentara Sekutu di Lautan Pasifik, maka Jepang pun merekrut para pemuda guna mempertahankan angkatan perangnya. Ketiga, tumbuh-kembangnya semangat nasionalisme dan patriotisme di jiwa para pemuda Indonesia, maka banyaklah para pemuda mendaftarkan diri menjadi bagian dari tentara sukarela bentukan Jepang.

Selain PETA, berdiri pula laskar-laskar rakyat yang berjuang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia 100 %. Di dalam sejarah Indonesia, kelompok inilah yang menculik dan memaksa Soekarno-Hatta untuk membacakan TEKS PROKLAMASI. Di era ini, kaum muda yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat kembali memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson, bahwa revolusi kemerdekaan 1945 adalah REVOLUSI PEMUDA.

Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Laskar Rakyat “ditelikung”
Pada tanggal 5 Oktober 1945, para bekas-bekas tentara PETA, KNIL serta beberapa badan perjuangan pemuda melakukan konferensi di Yogyakarta dan menghasilkan pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mendirikan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta dan mengangkat Panglima-sendirinya. Schodanco Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Mayjend Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR. Dikarenakan, Schodanco Supriyadi tidak pernah muncul sesudah pemberontakan PETA, maka terjadi perubahan hirarki-struktural dalam TKR, Muhammad Sulyoadikusumo diangkat sebagai ad interim. Di dalam pengangkatannya Muhammad Sulyoadikusomo berpidato bahwa “Pemerintah Republik Indonesia lagi berusaha menyusun secepat-cepatnya Tentara Keamanan Rakyat untuk menanggung keamanan dalam negeri. Tentara Keamanan ini didirikan, supaya tiap-tiap orang nanti merasa aman sehingga tidak perlu lagi-lagi tiap-tiap orang atau golongan bertindak sendiri-sendiri untuk menjaga keamanannya. Yang perlu sekali sekarang untuk mencapai susunan yang teratur dalam negeri ialah disiplin, dan kemauan untuk tunduk kepada kekuasaan negara yang sah. Dan janganlah orang atau golongan sendiri-sendiri melakukan kekuasaan yang menjadi hak pemerintah” .

TKR ini terus bertahan hingga pada tanggal 29 Januari 1948, Bung Hatta resmi menjadi Perdana Menteri menggantikan Amir Syarifuddin. Dan sebagai salah satu programnya adalah Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa). Sebagai rencana tindak lanjut dari program ReRA, maka pada tanggal 27 Februari 1948 pemerintah mengeluarkan Keppres No. 9 mengenai rencana ReRa dalam tubuh Kementerian Pertahanan maupun dalam Markas Besar Angkatan Perang. Dalam kementerian Pertahanan dibentuk Staf Umum Angkatan Perang dengan pimpinan Komodor Suryadhama dan wakilnya Kolonel Simatupang. Sedangkan Jendral Sudirman ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil dan wakilnya Mayjend AH. Nasution.

Kawan-kawan sekalian, janganlah berpikir jikalau program ReRa ini berjalan mulus dan tak ada penentangnya. Dengan adanya Keppres No. 9 yang isinya berbunyi bahwa “anggota militer yang sah adalah yang pernah mendapatkan pendidikan militer”. Ini berarti bahwa Laskar-laskar rakyat – yang tak pernah mendapatkan pendidikan militer - “nggak direkeng dalam pemerintahan”. Suara-suara KETIDAK-SETUJUAN dengan program ReRa ini pun bergema, diantaranya Badan Pemberontak Indonesia di bawah komando Bung Tomo adalah laskar rakyat yang pertama kali berteriak lantang untuk mengatakan “TIDAK” pada program ReRa inini (sebagaimana diketahui bersama bahwa dibawah komando Bung Tomo lah, terjadi perang arek-arek suroboyo yang terkenal dengan hari Pahlawan), lasykar yang dibentuk Nahdlatul Ulama juga berteriak kemudian disusul laskar-laskar rakyat lain. Sedangkan Divisi Ke-IV Senopati (didalamnya terdapat laskar-laskar rakyat, antara lain Pesindo, BPRI, Barisan Banteng, Hizbullah, dll), yang berkedudukan di Surakarta di bawah pimpinan Mayjend Sutarto (ex-PETA) adalah kubu terbesar dalam menolak ReRa. Pertentangan antara kubu pro-ReRa dan kontra-ReRa terus terjadi mulai dari teror, penculikan mengintai para prajurit maupun perwira angkatan perang hingga gencatan senjata.

Peristiwa ini merembes ke mana-mana, sehingga Jenderal Besar Sudirman pun turun-tangan dan bertindak menangani problem ini, akhirnya pertentangan pun reda. Tapi, tak berselang lama, genjatan senjata pun terjadi antara kubu divisi ke-IV Senopati dan divisi pemerintah yang diwakili oleh divisi Siliwangi, dengan akhir kekalahan di kubu kontra-ReRa. Dengan sisa-sisa pasukan divisi ke-IV, mereka pun kembali membangun kekuatan dengan berafiliasi dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin. Mereka yang berjuang agar program ReRa dihapus, didesak ke pinggir dan ironisnya, dituduh berbuat makar dan ingin melakukan tindakan kudeta terhadap pemerintah pusat. Akibat tuduhan tersebut, mereka “dihabisi tak tersisa” oleh tentara pemerintah. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa berdarah Madiun 1948 (Madiun Affairs) . Dengan “dihabisinya” gerakan ini, maka pupuslah sudah harapan kubu kontra-ReRa (Laskar Rakyat) “berkiprah” dalam memperjuangkan agar program ReRa ini dihapus.

Akhirnya, Kaum muda Indonesia yang mempunyai peranan penting di dalam revolusi kemerdekaan “dihabisi” oleh saudara sebangsa dan setanah-airnya sendiri. Kematian yang sangat tragis.

Eks-PETA, para pejuang yang tersingkir secara tragis.
Dengan wafatnya Jenderal Besar Sudirman, konflik para tentara ex-KNIL dan ex-PETA pun kembali terulang. Pertama, dari golongan mana yang berhak menjadi panglima besar. Kedua, tentang ideology militer di bawah pemerintahan sipil, apakah sebagai alat negara (ex-PETA) atau sebagai pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet (ex-KNIL). Oleh karena Itulah, Persaingan untuk merebut kursi pimpinan AD menjadi sangat penting, dengan jabatan ini dapat menentukan posisi dan kedudukan tentara/militer di dalam tubuh negara.

Bak gayung bersambut, para perwira ex-KNIL menempati posisi penting di Departemen Pertahanan dan MBT. Dan untuk mengimplementasikan ideologi militernya, maka AH. Nasution selaku KSAD menyusun strategi pembangunan AD yang terdiri dari program jangka pendek dan jangka panjang ke kabinet Wilopo, diantaranya melakukan Re-Ra. Program ReRa adalah program kedua kalinya di dalam sejarah militer Indonesia. Di dalam paket program Re-Ra ini, ada tiga golongan yang akan dibebas-tugaskan, pertama, prajurit-prajurit yang sudah pensiun; kedua, prajurit-prajurit yang sakit-sakitan atau yang secara fisik tidak cocok untuk tetap dalam tugas aktif; dan ketiga, prajurit-prajurit yang korup, melakukan tindakan kriminal, dsb. Dari program Re-Ra ini, para prajurit dan perwira ex-PETA yang kurang berpendidikan tetapi pernah mendapat pelatihan militer (terancam) tersingkir.

Seperti program Re-Ra I, suara-suara penolakan pun mulai bermunculan di mana-mana, dengan tokoh sentralnya Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis dan Panglima Divisi V Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng. Konflik antara pro-ReRa dan Kontra-ReRa terus terjadi, bahkan menjadi perbincangan hangat di parlemen, sehingga problema ini berlarut-larut dan tak terselesaikan. Campur tangan sipil dalam konflik di dalam tubuh militer, memerahkan telinga dan membuat geram para petinggi militer, hingga akhirnya terjadi peristiwa peristiwa 17 Oktober 1952, suatu preseden yang paling mencoreng sejarah militer. Ribuan pasukan dengan persenjataan berat dikerahkan mengepung istana untuk mengancam kabinet sipil. Akan tetapi, kudeta yang dikoordinir oleh AH. Nasution gagal.

Akibat kegagalan kudeta tersebut, terjadi perpecahan internal di tubuh AD. Tetapi perpecahan itu dapat diperdamaikan dengan diadakannya konferensi di Yogyakrata yang melahrkan “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Maka, diangkatlah Bambang Sugeng sebagai KSAD dan wakilnya Zulkifli Lubis. Konflik pun masih terus berkecamuk di dalam internal AD dan KSAD Bambang Sugeng menyatakan mengundurkan diri, dikarena tidak mampu menangani dan membenahi konflik tersebut.

Siapa yang berhak menjadi KSAD? Menjadi pemicu konflik internal AD. Di dalam perkembangan konflik tersebut, akhirnya pada tanggal 25-28 Oktober 1955 AH. Nasution terpilih kembali menjadi KSAD. Spontan, Mahidin Simbolon, Alex Kawilarang dan J. F. Warouw menolak keputusan tersebut.

Setelah dilantik AH. Nasution langsung mangadakan mutasi terhadap para perwira yang
menentangnya. Secara otomatis, kemarahan pun tersulut. Dan mengakibatkan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah. Hingga akhirnya, negara Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat. Dan atas perintah AH. Nasution, para pemberontak di daerah-daerah “diadili” dengan menggunakan senjata. Dengan diberlakukannya UU keadaan Bahaya (Staat van Oorlog en Beleg), maka militer mempunyai peranan dan kedudukan penting di dalam Republik Indonesia. Di aras inilah, militer yang dikomandoi oleh AH. Nasution menjadi “penguasa tunggal” dan secara resmi memasuki wilayah sosial-politik.

Ex-KNIL, Sang Penguasa Baru
Militer profesional dan bukan alat negara yang dikomandoi oleh AH. Nasution mencapai puncaknya. Tidak ada lagi aral melintang. Dengan angkuh, sombong, militer pun melangkah bak peragawati berjalan lenggak-lenggok di catwalk. Pada suatu acara wisuda di Magelang, Jendral AH. Nasution berpidato bahwa ABRI bukan sekedar alat sipil seperti di negara Barat, tapi juga bukan Rezim militer yang mendominasi kekuasaan negara, melainkan salah satu dari kekuatan masyarakat. Konsep jalan tengahnya inilah, menjadi embrio dari Dwi Fungsi ABRI, yang pada era reformasi dituntut untuk dicabut. Dengan Dwi Fungsi ABRI, maka secara tersirat ABRI menjadi pengontrol negara dan masyarakat, baik dari segi pertahanan, keamanan, sosial, politik, budaya, dll.

Pada tahun 1950-1965, dominasi ABRI di level sosial dan politik begitu terasa, seperti dikeluarkannya dekrit Presiden 1959, ditangkapinya berbagai tokoh partai yang keluar dari “koridor” konstitusional ala AH. Nasutionn dan beralihnya era demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Kesemuanya ini adalah konsep AH. Nasution yang dijalankan oleh Presiden Soekarno secara paksa. Pendek kata, zaman ini adalah zaman militer ala AH. Nasution.

Akan tetapi, disela-sela zaman ini muncul PKI sebagai kekuatan penyeimbang. Di zaman ini, PKI “bisa dikatakan” sebagai pahlawan dalam memperjuangkan demokratisasi. Pertentangan antara ABRI dengan PKI dalam memperebutkan pengaruh ditingkatan masyarakat terus berlangsung, hingga akhirnya terjadi konflik berdarah pada tahun 1965/1966.

Membaca sejarah secara jernih dan terang, sangatlah dibutuhkan dalam melihat peristiwa 1965/1966. Agar supaya kita tidak salah memahami dan kepada siapa kita memihak. Sungguh hal yang menyedihkan, jikalau kita menyalahkan PKI sebagai pembuat makar dan pemberontak di dalam negara Indonesia. Bagi penulis, PKI adalah pahlawan yang memperjuangkan tegaknya demokratisasi di negara ini dengan reforma agraria, akan tetapi kesahannya PKI terlalu tergesa-gesa melakukan reforma agraria, ketika ABRI dengan senjata modernnya justru melanggengkan penindasan dengan cara menginjak-injak Hak Azasi Manusia dan “memandulkan” arti demokrasi.

Pasca peristiwa 65/66, kembali militer menjadi “penguasa tunggal” di negara Indonesia. Jutaan nyawa manusia melayang, dibantai, dihabisi dengan alasan menyelamatkan Indonesia dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua organisasi, partai, kelompok diskusi yang berhaluan kiri dan “dindikasi” berlabel PKI di bubarkan secara paksa. Tidak ada yang tersisa. Di era orde baru ini yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto, militer dengan gagahnya kembali menjadi penindas-penindas baru dengan peran Dwi fungsi ABRI. Di titik inilah, Peran sosial-politik ABRI mendapat legitimasi MPR melalui TAP MPR No. XXIV/MPRS/1966 dan pada tahun 1982, Dwi Fungsi ABRI mendapatkan kekuatan hukum melalui UU No. 20 tahun 1982.

Kepada kawan-kawan sekalian, jikalau muncul pertanyaan, apakah kita harus menolak keberadaan militer atau tidak. Kita tidak menolak keberadaan militer, justru yang kita tolak adalah MILITERISME, ideologi militer. Militer harus tetap ada, tetapi ideologi yang bersifat militer mesti kita tolak secara mentah-mentah. Kiprah dan peran militer di level pertahanan masih sangat diperlukan, tetapi di level politik mestilah DICABUT.

Kawan-kawan sekalian, Selamat datang di negeri yang masih dijajah dengan baju baru oleh ideologi yang melahirkan kebijakan dan regulasi yang tak berpihak kepada rakyat miskin dan papa. Inilah realita di negara Indonesia, sebagaimana yang digoreskan oleh Wiji Thukul dalam puisinya: Di tanah ini // Terkubur orang-orang yang // Sepanjang hidupnya memburuh // Terhisap dan menanggung hutang // Di sini // Gali-gali // Tukang becak // Orang-orang kampung // Yang berjasa dalam setiap pemilu // Terbaring // Dan keadilan masih saja hanya janji // Di sini // Kubaca kembali; // Sejarah kita belum berubah!

Penutup
ANDA Sebagai generasi pelanjut bangsa Indonesia memikul tanggungjawab lebih besar. Sebab masa depan Indonesia tetap berada di tangan kaum muda. Oleh karena itu, Tugas Nasional Pemuda adalah perjuangan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala Neo-Kolonialisme dan Imperealisme, Tugas Demokrasi Pemuda adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis dan Tugas Kerakyatan Pemuda dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas.

Semoga KAMI tidak salah menaruh harapan kepada ANDA, Sebagaimana yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam bukunya Revolusi Harapan bahwa harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan social agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan. “MEI 1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia menemukan sejarah dan kemanusiannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan para pemuda satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah carut-marut keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimpin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis. Situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideology ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan. Pemuda satu-satunya tenaga tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan. Dan pemuda adalah tenaga inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran kaum penindas atas mereka yang tertindas, sehingga rantai pembodohan-pemiskinan rakyat dapat segera dihancurbuyarkan”. (Manifesto Politik FPPI)

Di akhir tulisan ini, penulis hanya ingin menyitir tulisan Paulo Coelho, dalam novelnya yang berjudul The Alchemist: “orang menjadi tua tidak karena bertambahnya usia, tetapi karena ia menyerah dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citannya. Ia tidak menjadi tua karena kisut kulitnya, tetapi karena meringkus jiwanya. Kamu akan muda semuda kepercayaanmu, dan kamu akan tua setua keraguanmu. Kamu akan muda semuda harapanmu, dan kamu akan tua setua keputusasaanmu. Maka sejauh keindahan, kegembiraan, keagungan dunia, manusia dan Tuhan merambati hatimu, kamu akan tetap tinggal muda selamanya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya”.

”Sampai Ketemu Di Medan Perjuangan”

“Perjuangan selalu melelahkan. Dan yang melelahkan itu belum tentu berbuah. Dan jika berbuah belum tentu bisa ikut menikmati hasilnya

0 komentar:

Posting Komentar