Senin, 12 Juli 2010

Islam, Negara, dan Gizi Buruk

Pernah Diterbitkan oleh Media Harian Tribun Timur
Jumat, 6 November 2009

Menarik tulisan yang diangkat dalam Salam Tribun hari Selasa, 3 November 2009 berkaitan dengan memerangi gizi buruk, sehingga membuat penulis yang berkecimpung dalam ranah pemikiran Islam ingin rasanya memberi peran-aktif dalam memerangi dan menurunkan gizi buruk khususnya di kawasan timur Indonesia. Mengingat pemahaman agama yang luas dan dalam dapat memberikan pengaruh yang juga cukup besar dalam berperilaku sehari-hari.

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Hal ini dapat terlihat dalam firman Allah Swt dalam surah `Abasa ayat 24 yang berbunyi: "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya".
Walaupun ayat ini berbicara secara umum, tetapi secara intrinsic berkaitan dengan menjaga dan meningkatkan mutu kesehatan setiap individu. Begitu pula, Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu".

Dari dalil-dalil ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Islam sebagai agama yang menjamin kemaslahatan manusia, juga menjamin peningkatan mutu kesehatan. Rendahnya kualitas kesehatan fisik secara tidak langsung juga mempengaruhi kesehatan mental.

Ajaran agama melarang kita untuk meninggalkan generasi-generasi pelanjut dalam keadaan lemah fisik, mental dan apatah lagi lemah hati.

Sejalan dengan itu, menurut Prof M Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al Quran mengatakan sekian banyak ayat-ayat Al Quran dan hadis yang berbicara mengenai kesehatan, dapatlah ditemukan bahwa ajaran agama mendahulukan pentingnya upaya pencegahan daripada pengobatan.
Ironisnya, persoalan kesehatan sangat jarang diperbincangkan, untuk tidak dikatakan cenderung diabaikan, kecuali hanya di sekitar lingkungan yang berhubungan dengan masalah tersebut, seperti dokter umum, perawat, dokter spesialis ataukah akademisi yang bergelut dengan pengetahuan ini.
Oleh karena itu, persoalan ini sangatlah mendasar karena berkaitan dengan mutu peningkatan dan sumber daya manusia Indonesia sekarang dan akan datang.

Tanggungjawab Negara
Kemarin, para anggota DPR/DPD telah dilantik dengan menelan biaya cukup besar senilai Rp 46, 049 miliar sebanding dengan 1.105 kali lipat biaya jaminan kesehatan masyarakat miskin (Kompas, 18 September 2009). Di sisi lain, anggaran biaya kesehatan sangat kecil untuk masyarakat yang menderita gizi kurang dan gizi buruk.

Padahal, perbaikan gizi sangatlah penting dan menjadi salah satu bagian dasar dalam meningkatka kualitas kesehatan. Gizi kurang adalah jika jumlah asupan zat gizinya lebih rendah dari kebutuhan sedangkan gizi buruk adalah jika jumlah asupan zat gizinya sangat kurang dari kebutuhan.
Gizi buruk dapat di bagi menjadi dua bagian, yakni marasmus (gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat) dengan tanda-tanda klinis seperti wajah sangat kurus, tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit, rambut mudah patah dan kemerahan serta adanya gangguan pencernaan.
Sedangkan kwashiorkor (gangguan gizi karena kekurangan protein) dengan tanda-tanda klinis seperti bengkak di kaki, perut buncit dan wajah membulat. Maka, "gabungan" marasmus-kwashiorkor dikenal luas dengan sebutan busung lapar.

Menurut data WHO, masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi karbohidrat 1.735 kilokalori/kapita/hari dan protein 5,5 gram/kapita/hari. Padahal, idealnya menurut WHO pula, seharusnya mengonsumsi karbohidrat 2.100 kilokalori/kapita/hari dan protein 60 gram/kapita/hari.
Dengan kurangnya asupan gizi inilah, sehingga usia rata-rata harapan hidup masyarakat Indonesia hanya berkisar 68-69 tahun dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang berkisar 72-73 tahun.

Diperlukan Kepeloporan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan gizi buruk adalah kurangnya asupan gizi dalam waktu lama dan menderita penyakit infeksi, sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara baik karena adanya gangguan penyerapan. Sedangkan secara tidak langsung, yakni kurangnya persedian pangan di rumah, pelayanan kesehatan yang terbatas, kesehatan lingkungan yang kurang baik dan pola asuh yang kurang memadai.

Setiap tahunnya Depkes RI, cuma menganggarkan 2,3 persen dari APBN, padahal WHO menyarankan seharusnya lima persen dari APBN. Dengan melihat kondisi obyektif nation-state Indonesia dalam konteks gizi buruk dan peningkatan kualitas kesehatan, maka diperlukan:
Pertama, kepeloporan. Dalam mewujudkan peningkatan kesehatan sangatlah diperlukan kepeloporan. Pengertian penulis, mengenai kepeloporan adalah adanya individu atau kelompok yang "berani" melakukan perubahan sosial terhadap negara dan masyarakat yang menuju negara sehat 2015 sebagaimana yang telah dicanangkan, maka peran Depkes perlu ditingkatkan.

Hassan Hanafi, seorang pemikir asal Mesir memberikan pembedaan antara "pemikir elit" dengan "pemikir massa". Pemikir elit adalah para pemikir yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif (tertutup), sementara pemikir massa adalah para pemikir yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik massa (intelektual organic).

Oleh karena itu, kepeloporan adalah suatu keniscayaan untuk membawa nation-state Indonesia ke arah yang lebih baik dan sehat, sehingga Human Development Index (HDI) menjadi lebih baik lagi dibanding tahun-tahun kemarin.

Pada 2008 lalu, HDI Indonesia berada diperingkat 107 di antara 177 negara, dibandingkan Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 63), Thailand (peringkat 73), Filipina (peringkat 90), dan Vietnam (peringkat 105). Unsur HDI ini ada tiga bagian yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Kedua, reformasi kesehatan, yakni membongkar selubung hegemoni dengan menciptakan reformasi kesehatan dengan cara meningkatkan anggaran kesehatan. Minimnya anggaran kesehatan menjadikan pelayanan dan akses kaum miskin terhadap kesehatan pun menurun. Adalah ironis, Indonesia sebagai Negara agraris dan bahari dengan cakupan sumber daya alam (SDA) melimpah-ruah mempunyai masyarakat sakit-sakitan.

Menurut data, Indonesia adalah penghasil timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubara thermal ketiga di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesr di dunia, penghasil nikel kelima terbesar di dunia, penghasil emas ketujuh terbesar di dunia. Tetapi sayangnya, kesemuanya sedang dieksplorasi dan dieksploitasi oleh pihak swasta-asing dan pemerintah Indonesia hanya memdapatkan beberapa persen saja dari SDA tersebut.

Bukankah tanggung jawab negara seharusnya sesuai pasal 34 ayat 2 dan 3 UUD 1945, pasal 12 Kovenan ekosob, pun di dalam DUHAM pasal 25 ayat 1 berbunyi: "Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya."
Di dalam kaidah Ushul fiqh dikatakan "Tasharruf al-imam `ala al-raiyah manutun bi al-maslahah" (Tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan).

Ketiga, dan persatuan. Kepeloporan tidak akan bermakna dan membuahkan hasil, jika kepeloporan tidak di ikat dan di rajut dengan persatuan. Fenomena kemiskinan dan rendahnya kualitas kesehatan terjadi di dalam struktur masyarakat menengah ke bawah.

Oleh karena itu, perlu adanya restrukturisasi program antar-departemen dengan cara menyatukan anggaran kesejahteraan di setiap departemen dalam satu wadah, tidak berjalan sendiri-sendiri. Dengan persatuan antar-departemen memungkinkan "mendongkrak" kualitas kesehatan yang selama justru diabaikan. Bukankah mengabaikan bidang kesehatan merupakan genosida yang secara perlahan merupakan tindakan negative terhadap kemanusiaan.

Ketiga faktor inilah, paling tidak, dapat menekan kasus gizi buruk dan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan. Hal ini tidak terlepas peran dan tanggung jawab negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya, meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti "hidup" (to live), bukan dalam arti "ada" (to exist), maka untuk tetap to live dan to exist, langkah maju dari amanat reformasi '98 adalah melanjutkan kerja-kerja pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Semoga pemerintahan pada Kabinet Indoensia Bersatu jilid II dapat mewujudkan masyarakat dengan kualitas kesehatan yang lebih baik lagi.***

0 komentar:

Posting Komentar