Selasa, 13 Juli 2010

Elit Politik: Merapuh Dan Melangit (Catatan 12 Tahun Reformasi)

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Reformasi
Oleh Lingkar Studi Merah Putih (LSMP) UIN Alauddin

Runtuhnya konsolidasi demokrasi di era Presiden Gus Dur berefek lahirnya oligarkhi politik di perpolitikan nasional tempat kita berpijak. Angin reformasi yang berhembus membawa transformasi sosial yang dinanti-nantikan telah beralih arah menuju ilusi demokrasi. Harapan menjadi tak bersua seiring elit politik sebagai salah satu penyangga terwujudnya demokratisasi, terkotak-kotak dan berpikir-bertindak hanya demi partainya saja. Era reformasi pun tak jelas arahnya.

Berubahnya haluan menjadi institusional oligarkhi politik dalam ranah kekuasaan otonom melahirkan pertarungan kekuasaan dan ujungnya adalah berlaku slogan “memahami berarti mendamaikan”. Negara menjadi arena “perang saudara”, mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia dan hanya lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu. Ironis.

Politik Egois
Para elit politik pra-kemerdekaan angkatan 1928 dengan visi geopolitik dapat “mencuri” momentum Perang Dunia I antara tripple entente (Perancis, Inggris, dan Rusia) melawan tripple alliance (Jerman, Italia dan Turki) dan menguatnya rasa nasionalisme di negara-negara luar, sehingga berhasil melakukan konsolidasi kebangsaan dengan melahirkan Sumpah Pemuda. Begitu pun dengan elit politik angkatan 1945 seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soerkarno dan Bung Hatta mempunyai visi geopolitik yang terang sehingga dapat “membaca” Undang-undang Agraria 1870 yang berlaku masa 75 tahun ke depan, maka pada tahun 1945 adalah masa-masa bumi pertiwi tak bertuan dan kolonial Belanda “habis” kontraknya di bumi pertiwi dan tanpa menghiraukan peristiwa globalitas perang antara Negara-negara fasis (Jerman, Italia dan Jepang) melawan aliansi sekutu (Polandia, Perancis, Inggris, AS) dengan diluluh-lantahkannya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS. Maka dengan visi inilah mampu mencuri momentum dengan memekikkan kemerdekaan Indonesia, ketika terjadi perang pasifik.

Sekarang, apakah para elit politik juga mempunyai visi geopolitik seperti elit-elit politik pra-kemerdekaan yang mampu membaca peristiwa demi peristiwa, momentum demi momentum, yang mempengaruhi nasionalitas dan lokalitas? Berjayanya pihak AS dalam memenangkan Perang Dunia II menyebabkannya ingin menjadi polisi dunia, sehingga leluasa mencengkeram negara-negara yang baru berdiri di satu sisi dan di sisi lain, munculnya kekhawatiran “kekuatan tandingan” komunisme yang dipelopori oleh Uni Soviet, ujungnya terjadi “perang dingin” antara blok Barat dan blok Timur.

Kemenangan revolusi Tiongkok di bawah komando Mao Tse Tung, lahirnya Republik Demokratik Vietnam di bawah Ho Chi Minh, terjadinya perang Korea, dipindahkannya rudal nuklir Uni soviet ke Kuba dan dominannya kekuatan kiri di Indonesia menjadikan AS memperluas dominasi dan hegemoninya, hingga akhirnya AS pun menjadi polisi dan penguasa dunia beserta ideologinya sebagaimana dilukiskan oleh Daniel Bell dalam bukunya ‘The End of Ideology” dan “The End of History and The Last Man” oleh Francis Fukuyama. Kekukuhan ideologi kapitalisme tak terelakkan dan terus berlanggeng hingga detik ini, walaupun di sisi kanan dan kirinya ada kekuatan yang mengancam, seperti China, Iran dan Amerika Latin.

Belum adanya visi geopolitik yang dimiliki oleh para elit-lit politik di tanah tercinta ini, dapat terlihat bagaimana untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik pusat melakukan berbagai usaha dan upaya untuk mencapai tampuk kekuasaan. Akibatnya belumlah muncul pimpinan nasional dengan karakter kerakyatan, transformatif dan visioner.

Mental Inlander
Tempo dulu, pemerintahan kolonial Belanda membagi stratifikasi masyarakat menjadi tiga bagian, yakni bagian atas adalah golongan kulit putih, golongan kedua adalah bangsa Arab dan Tionghoa, sedangkan golongan terbawah adalah pribumi/masyarakat asli Indonesia (inlander). Pembagian strata ini terus langgeng hingga kesadaran sosial-politik dan sosial-ekonomi yang mewarnai kehidupan nation-state hingga detik ini.

Mental pribumi sebagai stratum terbawah dari stratifikasi masyarakat “mengada” dalam mental-kesadaran-keyakinan yang terus ditundukkan. Tunduk, patuh, tidak percaya diri, merasa rendah diri dan pasif adalah sebagian dari hasil konstruksi yang telah “terlembagakan dan dilembagakan” oleh penjajah dan terus dipatenkan hingga penguasa saat ini. Mental inlander membumi terhadap massa-rakyat Indonesia. Dan negara sebagai fasilitator belum sungguh-aktif memainkan perannya dalam menggeser watak mental pribumi menjadi mental merdeka sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa ini.

Dibacakannya teks proklamasi oleh Bung Karno-Hatta, menandai nation-state telah memasuki fase revolusi nasional-demokratis dengan pengukuhan bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan. Akan tetapi, hal itu belumlah menjadikan pribumi menghirup kemerdekaan dan kedaulatan sendiri. Oleh karena itu, transformasi fase revolusi nasional-demokratis mestilah dilanjutkan pada fase revolusi sosial-demokratis dengan memprioritaskan penggeseran watak feodalistik (tuan-hamba) dan restrukturisasi sosial-ekonomi dengan mementingkan kebutuhan pribumi daripada yang lainnya.

Proklamasi kemerdekaan dan ideologi Pancasila tidak boleh berhenti hanya semata-mata pernyataan politik melainkan juga harus disadari sebagai sikap sejarah dan pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia. Kesadaran dasar kita hari ini adalah bahwa di ranah politik, sosial, dan ekonomi, kita tidak hanya menghadapi tantangan untuk bertarung dengan kekuatan-kekuatan asing yang datang dari luar, tetapi juga harus mewaspadai bahaya keterasingan yang timbul dari dalam akibat pengelolaan ekonomi politik yang hanya diabdikan kepada kepentingan permodalan neo-liberal.

Emmanuel Subangun dalam bukunya Negara Anarkhi mengatakan jikalau negara ini dibiarkan terus-menerus tanpa memiliki pemimpin nasional yang visioner, maka negara ini menuju proses Afrikanisasi. Yakni proses nasionalisme dan demokrasi di sebagian besar negara Afrika yang berakhir dengan menguatnya tabiat suku dan raja kecil, yang tak lain adalah gerak retrogad dan ketidakmampuan sebuah bangsa menghadapi tantangan jaman. Secara ekonomi tetap tergantung pada pertanian, secara politik amat tribal, dan secara sosialmenumbuhkembangkan radikalisme segala rupa, sehingga ujungnya adalah selalu ethnic cleansing seperti yang terjadi di Rwanda, Sudan dan Nigeria.

Oleh karena itu, mental inlander yang masih (banyak) mengada dalam era reformasi seharusnya dihilangkan asap-kabutnya dengan pendidikan politik yang memerdekakan sesuai dengan jiwa budaya bangsa Indonesia. Agar supaya – meminjam bahasa Karl Jaspers- kita tidak hanya merdeka dalam arti to live (hidup) bermakna pasif dan menjadi objek, akan tetapi merdeka dalam arti to exits (ada) bermakna aktif dan menjadi subjek. Semoga

0 komentar:

Posting Komentar