Jumat, 16 Juli 2010

Resensi Buku : Melacak Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Sulawesi Selatan

Judul Buku : Camp Pengasingan Moncongloe
Penulis : Taufik
Penerbit : Desantara Foundation dan LAPAR
Cetakan : Pertama, 2009
Pengantar : Erwiza Erman
Tebal : xxii + 270 halaman
ISBN : 978-979-19646-1-6

Dalam buku ini di bagi beberapa bagian, yakni bab I pendahuluan; bab 2 mengupas kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan; bab 3 mengutarakan Moncongloe: dari hutan menjadi kamp pengasingan tapol; bab 4 mengutarakan tahanan politik di Moncongloe; bab 5 menjelaskan pembebasan tahanan politik; dan bab 6 menjelaskan kesimpulan dan saran.

Masuknya Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Sul-Sel
Makassar yang di kenal sebagai kota pelabuhan berpuluh-puluh pedagang singgah, berdagang, hingga bertempat tinggal di Makassar menyebabakan arus pergerakan nasional juga menampakkan wajahnya. Menurut catatan Taufik, pada tahun 1916 organisasi syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di “Butta Daeng” ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin. Kemudian di susul oleh Muhammadiyah membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami. Kemudian PKI juga mulai membuka cabangnya di Makassar
Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong “Pemberita Makassar”.

Dengan surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda. Melakukan pendidikan politik kepada rakyat Sul-Sel untuk bersama-sama, bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah. Dan PKI cabang Makassar ini diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam konggres kesembilan partai ini.

Dengan gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah. Perlawanan sosial terhadap colonial Belanda menjadi “berhenti dan tiarap”. Dan banyak para akitivisnya yang di tangkap, bahkan ada yang di buang keluar negeri. Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat maupun di daerah-daerah “tidak terdengar” lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat dipatahkah.

Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat Sul-Sel pada umumnya, dan warga Makassar pada khususnya. Hal ini didasari oleh kuatnya control aparat pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan “anti-tesa” dari PKI tersebut. Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sul-sel menjadikan partai ini “melunakkan” propagandanya dengan menjelaskan lebih awal bahwa lambing palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh (palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).

Walaupun giat melakukan propaganda turun ke grass-root, tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah suara 17. 831 atau 1, 6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative. Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap. Aksi sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga pimpinan pesantren Darul Da’wah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.

Camp Pengasingan Moncongloe
Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Pelbagai organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan “perlawanan-balik” terhadap PKI yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.

Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila.

Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi mempunyai hubungan dengan PKI (lihat 112-116) Razia, pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya “dijebloskan” ke kamp pengasingan di Moncongloe. Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang. Di penjara, para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam.

Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana. Sebagaimana diteliti oleh penulis buku ini, bahwa Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan “Tanah Merah”.

Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP. 024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya. Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di Sul-Sel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI.

Pengamanan dan penangkapan aktivis dan simpatisan PKI di tangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di kampong Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik (tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto. Begitupula di tempat lain, kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani di tangkap karena mempunyai hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68.

Dalam wawancara peneliti kepada tapol (Cak Gun, namanya) berkata: “Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa salah saya, atau mungkin leluhur saya pernah membuat kesalahan sehingga sayalah yang harus menanggung akibatnya. Saya ditahan pada usia 15 tahun ketika itu saya duduk di bangku SMP kelas II, mana mungkin saya terlibat dalam Gerakan 30 September, sejak di penjara sampai pengasingan, saya tidak mengerti mengapa saya di tahan. Ada apa dengan nasib saya.”. Ini hanya sekedar salah satu contoh bahwa dalam penangkapan G 30 S/PKI, banyak dari tapol adalah salah tangkap. Dan ini bukan hanya terjadi di Sul-Sel, akan tetapi (mungkin) dapat terjadi di tempat lain di luar Sul-Sel.

Sebagai penutup, buku ini sangat penting untuk melengkapi “serpihan” sejarah Indonesia yang tercecer dan belum dikuak-publikasikan kepada khalayak ramai. Semoga buku ini menjadi bermanfaat bagi generasi masa kini dan generasi masa depan. Semoga...

Pendidikan dan Elpiji: Nestapa Buat Rakyat Miskin

Oleh Muh. Ilham Usman
(Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar)


Teringat sebuah pesan Kong Fu Tsu: “adalah lebih baik Anda menyalakan sebuah lilin betapapun kecilnya, daripada anda larut dalam kegelapan”. Harapan, sebuah harapan sangat tergambar jelas dari ungkapan mulia ini. Harapan ini masuk di sudut apa pun, tak terkecuali harapan untuk hidup lebih baik. Bukankah tiap ajaran, filsafat sosial, bahkan agama mengajarkannya, hingga predikat tempat “surga” selalu dijadikan pertarungan terakhir dalam pergulatan hidup ini. Akan tetapi, di negeri ini, harapan hidup lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong, ibarat sate jauh panggang dari api. Harapan pendidikan murah dan “bergizi”, aman dari ledakan elpiji selalu dinanti-nantikan.

Pendidikan mahal dan ledakan elpiji bertemu dalam satu titik singgung, titik singgung ketidaksejahteraan. Semuanya belum terwujud akibat pencabutan subsidi publik secara serampangan oleh negara dengan dalih agar masyarakat Indonesia mampu berdiri sendiri di era globalisasi ini. Bulan ini, penerimaan siswa-siswi di sekolah telah di mulai, tingginya minat orang tua menyekolahkan anak-anaknya tak berjalan lurus dengan biaya pendidikan yang terus melambung tinggi, belum lagi alat perlengkapan yang juga ikut-ikutan naik. Begitu pula, pencabutan subsidi terhadap minyak tanah membuat pemerintah mengalihkan peralatan dapurnya ke elpiji gas. Pencabutan subsidi publik merupakan salah satu bentuk dari alienasi (keterasingan) rakyat terhadap tanah airnya. Rakyat dipaksa untuk “merasa” terasing dari kekayaan alam Indonesia sebagai pemilik sah dari bumi pertiwi.

Alienasi? kata ini anda akan dapatkan, menurut Gunawan Mohammad (GM) dalam tulisan Hegel dengan kata entfremdung dan entässuerung. Entfremdung lahir karena adanya kesenjangan antara kerja dan kebutuhan manusia, sedangkan entässuerung merupakan “hal” yang lahir dari kesenjangan manusia dengan apa yang diproduksi dan diciptakannya. Lanjutnya, GM mengucap Marx dalam filsafat sosialnya lebih dekat ke makna yang kedua itu, entässuerung. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? alienasi juga sedang dan akan menyelimutinya. Alienasi itu lahir dari ideologi kapitalisme, ideologi yang memberikan porsi besar pada pasar dalam menentukan hasil akhirnya. Ironisnya, ideologi ini masih mendominasi kebijakan dan regulasi aparat pemerintah.

Peran Bijak Pemerintah
Mahalnya biaya masuk sekolah dan kuliah serta terjadinya ledakan tabung gas di mana-mana merupakan peristiwa-peristiwa sosial yang seharusnya pemerintah menanganinya secara serius, bukan hanya berkomentar yang tidak memberikan solusi terbaik. Jikalau pemerintah tidak menjalan peran sebagaimana mestinya, maka meminjam bahasa Ackermann (1997), agama sejak lahir merupakan sumber koreksi yang hadir sepanjang zaman, di mana dan kapan pun. Agama, elit agama dan kaum agamawan tidak tinggal diam melihat peristiwa-peristiwa sosial ini. Misalnya dengan mengaplikasikan kaidah fiqh agama menyatakan: “daf’u al-mafsadah muqaddam ala jalbi al-maslahah” (menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Menurut data TVone, ledakan tabung gas di tahun 2010 sebanyak 76 kasus lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Menolak ideologi kapitalisme yang telah ditanamkan oleh Amerika Serikat beserta sekutunya adalah hal yang tak mungkin, karena bisa berakibat fatal terhadap negara ini. Amerika Serikat –walaupun Presiden Obama pernah tinggal di Indonesia- akan melakukan segala hal demi mengukuhkan ideologi kapitalismenya. Maka dari itu, hal yang (segera) mungkin dilakukan oleh negara adalah meningkatkan “produktivitas” sektor strategis seperti sektor pendidikan, kesehatan dan perminyakan. Ketiga sektor inilah yang mempunyai peran strategis dalam (minimal) meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, yang hari demi hari, tertatih-tatih.

Pemaksimalan terhadap ketiga sektor strategis dapat dikategorikan sebagai menolak kerusakan besar yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat, sekutunya dan komprador domestik yang loyal terhadapnya. Pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan perminyakan akan mengantarkan masyarakat miskin dan tidak berpunya yang jumlahnya hampir 37, 17 juta jiwa dari total populasi Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan perbaikan di sektor pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi akan menumbuhkan intelektual-intelektual yang mumpuni dan kreatif menghasilkan alat-alat yang sesuai dengan kebutuhan bangsa dan negaranya dalam mengeluarkannya dari cengkeraman ideologi kapitalisme. Sedangkan di sektor kesehatan dengan subsidi yang cukup dapat memberikan kesejahteraan serta mengurangi penyakit yang timbul akibat asupan gizi yang kurang, dan sebagainya.

Tak kalah penting yakni sektor perminyakan dan gas. Sektor migas adalah menjadi kebutuhan vital menuju negara industrialisasi, maka menjadi penting jikalau sektor migas mendapat perhatian lebih dibanding sektor lain dalam menunjang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya tabung gas hasil konversi dari minyak tanah yang banyak mengalami ledakan, menurut koran media Indonesia.com, “pemerintah hanya menyiapkan slang, regulator, dan katup tabung elpiji yang harus ditebus oleh penerima program konversi minyak tanah ke gas sebesar Rp45.209 untuk Jawa dan Bali. Dana sebesar itu digunakan untuk menebus slang dengan harga pabrik Rp12.435, regulator Rp17.774, dan katup tabung Rp15.000”. melihat kenyataan ini, solusi yang diberikan oleh pemerintah seakan “ingin” lepas tangan dari permasalahan yang dihadapi oleh penerima tabung gas tersebut. Ironis bukan?

Akhirnya, memberi perhatian lebih terhadap tiga sektor strategis (pendidikan, kesehatan dan migas) ini merupakan manifestasi dari peniadaan alienasi (keterasingan) rakyat miskin dari sumber-sumber daya alamnya. Oleh karena itu, peran dan tanggungjawab pemerintah/negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya sangat diperlukan, meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti “hidup” (to live), bukan dalam arti “ada” (to exist), maka untuk tetap to live dan to exist, langkah maju dari amanat reformasi ’98 adalah melanjutkan kerja-kerja pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Lilin telah dinyalakan di era reformasi, redup atau memberi terang tergantung bagaimana pemerintah menjaganya dari terpaan angin. Hal ini mudah dikatakan, tapi sangat sulit dilaksanakan bukan?

Selasa, 13 Juli 2010

Negara dan Militer

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Di Universitas Hasanuddin
Makassar, 03 April 2010

Indonesia, lebih baik di bom atom sekalian daripada tidak merdeka 100 %
(Jendral Besar Sudirman)

Petikan penyataan diatas menyiratkan bahwa seharusnya negara Indonesia sebagai tempat manusia-manusia Indonesia berpijak, merdeka dan berdaulat atas tanah, air dan udaranya. Merdeka dan berdaulat atas ekonomi dan politiknya. Ironisnya, yang terjadi adalah semua kekayaan alam Indonesia dicaplok, diperas dan dikikis habis-habisan oleh para pemodal internasional (perusahaan internasional seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Shell, dsb). Massifnya penetrasi modal internasional membuat negara ini sangat tergantung, akibatnya, penentu kebijakan ekonomi sekaligus politik ada di tangan para pengusaha luar negeri yang bergandeng-tangan dengan para penguasa, pengusaha dalam negeri dan militer. Posisi ini menjadikan negara Indonesia bersifat semi-kolonial, setengah dijajah atau belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Rakyat Indonesia sebagai pemilik sah atas kekayaan alam Indonesia, ternyata dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan-perusahaan besar milik pengusaha luar negeri.

Peranan negara sebagai pelayan massa-rakyat dalam mensejahterakan, memakmurkan dan menjaga keamanan belum terpenuhi. Negara sebagai fasilitator bagi segala kepentingan rakyat Indonesia diabaikan begitu saja. Segala peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan SBY-JK tidak berorientasi dan berpihak pada rakyat, mulai dari kenaikan BBM, keppres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, swastanisasi BUMN, dan sebagainya. Memang benar, Indonesia telah merdeka bertepatan dengan dibacakannya TEKS PROKLAMASI oleh Soekarno-Hatta, tetapi faktanya tidaklah demikian. Negara justru menjadi hamba atau budak lewat cara membuat kebijakan-kebijakan “hasil pesanan” para kaum kapitalis monopoli.

Begitupula dengan reformasi, yang dielu-elukan sebagai pembawa angin segar bagi perbaikan negara Indonesia, tidaklah bersua. Alih-alih memberikan perbaikan bagi kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya bangsa Indonesia, malahan yang terjadi adalah penindasan dan penjajahan yang lebih parah lagi. Penindasan dan penjajahan ini justru dilanggengkan oleh Aparatur negara sendiri. Menurut Louis Althusser, seorang tokoh pembebasan Eropa, membagi aparatur negara menjadi dua, yakni Ideologi State Aparatus (ISA) yang bekerja secara persuasive dan ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dsb. Sedangkan Represif State Aparatus (RSA) yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan, seperti polisi, militer, penjara, pengadilan, dsb.

Sejarah Lahirnya Militer
Pada tahun 1825-1830 telah terjadi perang Jawa yang sangat dahsyiat antara pangeran Diponegoro dengan VOC. Walaupun kemenangan berada di tangan VOC, tetapi perang ini menyebabkan VOC bangkrut dan bubar, kemudian kerajaan Belanda mengambil alih seluruh yang berkaitan dengan VOC, termasuk tentara. Akibat perang yang dahsyiat itu, VOC kehilangan tentara sebanyak 15. 000 orang, dengan estimasi 7. 000 tentara VOC dan 8. 000 tentara yang dipasok dari para raja yang pro terhadap VOC. Atas dasar inilah, Kerajaan Belanda yang berkuasa di Hindia Belanda sepeninggal VOC, membangun tentaranya dengan KNIL (Koninklijk Nederlandhsch Indische Leger) yang berfungsi sebagai menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri.

Para tentara KNIL atau biasa disebut kompeni inilah yang menjadi penjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas colonial Belanda di negeri Indonesia. Pendek kata, jika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh para pahlawan kita dalam perjuangan kemerdekaan, maka KNIL - yang para anggotanya banyak direkrut dari para pemuda miskin Indonesia - menjadi garda depan dalam menghalangi perjuangan tersebut. Belanda dengan Politik devide et impera (politik pecah-belah) dapat mematahkan perjuangan-pergerakan para pahlawan Indonesia. Dan dengan kekuatan KNIL pulalah, Belanda melanggengkan penindasan dan penjajahannya di bumi persada ini.

Menjelang kekalahannya dari Jepang, KNIL mengalami pergeseran dalam rekruitmen dan fungsinya. Dari segi rekruitmen banyak golongan terpelajar, golongan kaya dan golongan aristocrat yang diterima menjadi anggota KNIL, antara lain Didi Kartasasmita (keturunan keluarga Menak yang sangat dihormati di Sunda), Surjadi Surjadharma (bangsawan Jawa keturunan Banyuwangi), Pangeran Purbonegoro dan adiknya BKPH Djatikusumo (putra dari Susuhan Pakubuwono X dari Surakarta, Ahmad Junus Mokoginta (seorang aristocrat dari Kotamobagu, SULUT), Alex Kawilarang, A. H. Nasution, TB. Simatupang, Rahmat Kartakusumah, Askari, dan lain sebagainya. Sedangkan dari segi fungsinya, tentara KNIL tidak hanya menjaga ketertiban dan stabilitas dalam negeri, tetapi juga mempertahankan Hindia Belanda (Indonesia) dari serangan tentara Dai Nippon Jepang.

Pada tahun 1942, Jepang mengalahkan dan memukul mundur Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Jepang pun menguasai negara Indonesia. Akan tetapi, kekuasaan Jepang atas Indonesia tidak berlangsung lama. Dikarenakan di luar negeri, Jepang secara bertubi-tubi diperangi oleh tentara Belanda dan sekutu sedangkan di dalam negeri, Jepang “disibukkan” dengan perjuangan kaum muda Indonesia dalam menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dititik persinggungan inilah, Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) sebagai kekuatan yang dapat menggempur tentara sekutu, jikalau tentara sekutu memasuki wilayah Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh Ruslan Abdul Gani , pertama, semakin terjepitnya tentara Jepang di Lautan Pasifik, di Pasifik Utara, tentara Jepang berhasil di usir dari kepulauan Alexantian; di pasifik Tengah, armada Amerika siap mendekati Filipina; di pasifik Selatan, pasukan Jepang berhasil dipukul mundur dan direbutnya kembali kepulauan Solomon; di pasifik Barat Daya, tentara sekutu mulai memasuki Papua dan pantai Nugini. Kedua, sebagai akibat dari semakin terjepitnya tentara Jepang oleh tentara Sekutu di Lautan Pasifik, maka Jepang pun merekrut para pemuda guna mempertahankan angkatan perangnya. Ketiga, tumbuh-kembangnya semangat nasionalisme dan patriotisme di jiwa para pemuda Indonesia, maka banyaklah para pemuda mendaftarkan diri menjadi bagian dari tentara sukarela bentukan Jepang.

Selain PETA, berdiri pula laskar-laskar rakyat yang berjuang menuntut kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia 100 %. Di dalam sejarah Indonesia, kelompok inilah yang menculik dan memaksa Soekarno-Hatta untuk membacakan TEKS PROKLAMASI. Di era ini, kaum muda yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat kembali memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Seperti yang dikatakan oleh Ben Anderson, bahwa revolusi kemerdekaan 1945 adalah REVOLUSI PEMUDA.

Pasca-Kemerdekaan Indonesia: Laskar Rakyat “ditelikung”
Pada tanggal 5 Oktober 1945, para bekas-bekas tentara PETA, KNIL serta beberapa badan perjuangan pemuda melakukan konferensi di Yogyakarta dan menghasilkan pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mendirikan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta dan mengangkat Panglima-sendirinya. Schodanco Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Mayjend Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR. Dikarenakan, Schodanco Supriyadi tidak pernah muncul sesudah pemberontakan PETA, maka terjadi perubahan hirarki-struktural dalam TKR, Muhammad Sulyoadikusumo diangkat sebagai ad interim. Di dalam pengangkatannya Muhammad Sulyoadikusomo berpidato bahwa “Pemerintah Republik Indonesia lagi berusaha menyusun secepat-cepatnya Tentara Keamanan Rakyat untuk menanggung keamanan dalam negeri. Tentara Keamanan ini didirikan, supaya tiap-tiap orang nanti merasa aman sehingga tidak perlu lagi-lagi tiap-tiap orang atau golongan bertindak sendiri-sendiri untuk menjaga keamanannya. Yang perlu sekali sekarang untuk mencapai susunan yang teratur dalam negeri ialah disiplin, dan kemauan untuk tunduk kepada kekuasaan negara yang sah. Dan janganlah orang atau golongan sendiri-sendiri melakukan kekuasaan yang menjadi hak pemerintah” .

TKR ini terus bertahan hingga pada tanggal 29 Januari 1948, Bung Hatta resmi menjadi Perdana Menteri menggantikan Amir Syarifuddin. Dan sebagai salah satu programnya adalah Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa). Sebagai rencana tindak lanjut dari program ReRA, maka pada tanggal 27 Februari 1948 pemerintah mengeluarkan Keppres No. 9 mengenai rencana ReRa dalam tubuh Kementerian Pertahanan maupun dalam Markas Besar Angkatan Perang. Dalam kementerian Pertahanan dibentuk Staf Umum Angkatan Perang dengan pimpinan Komodor Suryadhama dan wakilnya Kolonel Simatupang. Sedangkan Jendral Sudirman ditunjuk sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil dan wakilnya Mayjend AH. Nasution.

Kawan-kawan sekalian, janganlah berpikir jikalau program ReRa ini berjalan mulus dan tak ada penentangnya. Dengan adanya Keppres No. 9 yang isinya berbunyi bahwa “anggota militer yang sah adalah yang pernah mendapatkan pendidikan militer”. Ini berarti bahwa Laskar-laskar rakyat – yang tak pernah mendapatkan pendidikan militer - “nggak direkeng dalam pemerintahan”. Suara-suara KETIDAK-SETUJUAN dengan program ReRa ini pun bergema, diantaranya Badan Pemberontak Indonesia di bawah komando Bung Tomo adalah laskar rakyat yang pertama kali berteriak lantang untuk mengatakan “TIDAK” pada program ReRa inini (sebagaimana diketahui bersama bahwa dibawah komando Bung Tomo lah, terjadi perang arek-arek suroboyo yang terkenal dengan hari Pahlawan), lasykar yang dibentuk Nahdlatul Ulama juga berteriak kemudian disusul laskar-laskar rakyat lain. Sedangkan Divisi Ke-IV Senopati (didalamnya terdapat laskar-laskar rakyat, antara lain Pesindo, BPRI, Barisan Banteng, Hizbullah, dll), yang berkedudukan di Surakarta di bawah pimpinan Mayjend Sutarto (ex-PETA) adalah kubu terbesar dalam menolak ReRa. Pertentangan antara kubu pro-ReRa dan kontra-ReRa terus terjadi mulai dari teror, penculikan mengintai para prajurit maupun perwira angkatan perang hingga gencatan senjata.

Peristiwa ini merembes ke mana-mana, sehingga Jenderal Besar Sudirman pun turun-tangan dan bertindak menangani problem ini, akhirnya pertentangan pun reda. Tapi, tak berselang lama, genjatan senjata pun terjadi antara kubu divisi ke-IV Senopati dan divisi pemerintah yang diwakili oleh divisi Siliwangi, dengan akhir kekalahan di kubu kontra-ReRa. Dengan sisa-sisa pasukan divisi ke-IV, mereka pun kembali membangun kekuatan dengan berafiliasi dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin. Mereka yang berjuang agar program ReRa dihapus, didesak ke pinggir dan ironisnya, dituduh berbuat makar dan ingin melakukan tindakan kudeta terhadap pemerintah pusat. Akibat tuduhan tersebut, mereka “dihabisi tak tersisa” oleh tentara pemerintah. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa berdarah Madiun 1948 (Madiun Affairs) . Dengan “dihabisinya” gerakan ini, maka pupuslah sudah harapan kubu kontra-ReRa (Laskar Rakyat) “berkiprah” dalam memperjuangkan agar program ReRa ini dihapus.

Akhirnya, Kaum muda Indonesia yang mempunyai peranan penting di dalam revolusi kemerdekaan “dihabisi” oleh saudara sebangsa dan setanah-airnya sendiri. Kematian yang sangat tragis.

Eks-PETA, para pejuang yang tersingkir secara tragis.
Dengan wafatnya Jenderal Besar Sudirman, konflik para tentara ex-KNIL dan ex-PETA pun kembali terulang. Pertama, dari golongan mana yang berhak menjadi panglima besar. Kedua, tentang ideology militer di bawah pemerintahan sipil, apakah sebagai alat negara (ex-PETA) atau sebagai pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet (ex-KNIL). Oleh karena Itulah, Persaingan untuk merebut kursi pimpinan AD menjadi sangat penting, dengan jabatan ini dapat menentukan posisi dan kedudukan tentara/militer di dalam tubuh negara.

Bak gayung bersambut, para perwira ex-KNIL menempati posisi penting di Departemen Pertahanan dan MBT. Dan untuk mengimplementasikan ideologi militernya, maka AH. Nasution selaku KSAD menyusun strategi pembangunan AD yang terdiri dari program jangka pendek dan jangka panjang ke kabinet Wilopo, diantaranya melakukan Re-Ra. Program ReRa adalah program kedua kalinya di dalam sejarah militer Indonesia. Di dalam paket program Re-Ra ini, ada tiga golongan yang akan dibebas-tugaskan, pertama, prajurit-prajurit yang sudah pensiun; kedua, prajurit-prajurit yang sakit-sakitan atau yang secara fisik tidak cocok untuk tetap dalam tugas aktif; dan ketiga, prajurit-prajurit yang korup, melakukan tindakan kriminal, dsb. Dari program Re-Ra ini, para prajurit dan perwira ex-PETA yang kurang berpendidikan tetapi pernah mendapat pelatihan militer (terancam) tersingkir.

Seperti program Re-Ra I, suara-suara penolakan pun mulai bermunculan di mana-mana, dengan tokoh sentralnya Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis dan Panglima Divisi V Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng. Konflik antara pro-ReRa dan Kontra-ReRa terus terjadi, bahkan menjadi perbincangan hangat di parlemen, sehingga problema ini berlarut-larut dan tak terselesaikan. Campur tangan sipil dalam konflik di dalam tubuh militer, memerahkan telinga dan membuat geram para petinggi militer, hingga akhirnya terjadi peristiwa peristiwa 17 Oktober 1952, suatu preseden yang paling mencoreng sejarah militer. Ribuan pasukan dengan persenjataan berat dikerahkan mengepung istana untuk mengancam kabinet sipil. Akan tetapi, kudeta yang dikoordinir oleh AH. Nasution gagal.

Akibat kegagalan kudeta tersebut, terjadi perpecahan internal di tubuh AD. Tetapi perpecahan itu dapat diperdamaikan dengan diadakannya konferensi di Yogyakrata yang melahrkan “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Maka, diangkatlah Bambang Sugeng sebagai KSAD dan wakilnya Zulkifli Lubis. Konflik pun masih terus berkecamuk di dalam internal AD dan KSAD Bambang Sugeng menyatakan mengundurkan diri, dikarena tidak mampu menangani dan membenahi konflik tersebut.

Siapa yang berhak menjadi KSAD? Menjadi pemicu konflik internal AD. Di dalam perkembangan konflik tersebut, akhirnya pada tanggal 25-28 Oktober 1955 AH. Nasution terpilih kembali menjadi KSAD. Spontan, Mahidin Simbolon, Alex Kawilarang dan J. F. Warouw menolak keputusan tersebut.

Setelah dilantik AH. Nasution langsung mangadakan mutasi terhadap para perwira yang
menentangnya. Secara otomatis, kemarahan pun tersulut. Dan mengakibatkan terjadinya pemberontakan di daerah-daerah. Hingga akhirnya, negara Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat. Dan atas perintah AH. Nasution, para pemberontak di daerah-daerah “diadili” dengan menggunakan senjata. Dengan diberlakukannya UU keadaan Bahaya (Staat van Oorlog en Beleg), maka militer mempunyai peranan dan kedudukan penting di dalam Republik Indonesia. Di aras inilah, militer yang dikomandoi oleh AH. Nasution menjadi “penguasa tunggal” dan secara resmi memasuki wilayah sosial-politik.

Ex-KNIL, Sang Penguasa Baru
Militer profesional dan bukan alat negara yang dikomandoi oleh AH. Nasution mencapai puncaknya. Tidak ada lagi aral melintang. Dengan angkuh, sombong, militer pun melangkah bak peragawati berjalan lenggak-lenggok di catwalk. Pada suatu acara wisuda di Magelang, Jendral AH. Nasution berpidato bahwa ABRI bukan sekedar alat sipil seperti di negara Barat, tapi juga bukan Rezim militer yang mendominasi kekuasaan negara, melainkan salah satu dari kekuatan masyarakat. Konsep jalan tengahnya inilah, menjadi embrio dari Dwi Fungsi ABRI, yang pada era reformasi dituntut untuk dicabut. Dengan Dwi Fungsi ABRI, maka secara tersirat ABRI menjadi pengontrol negara dan masyarakat, baik dari segi pertahanan, keamanan, sosial, politik, budaya, dll.

Pada tahun 1950-1965, dominasi ABRI di level sosial dan politik begitu terasa, seperti dikeluarkannya dekrit Presiden 1959, ditangkapinya berbagai tokoh partai yang keluar dari “koridor” konstitusional ala AH. Nasutionn dan beralihnya era demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Kesemuanya ini adalah konsep AH. Nasution yang dijalankan oleh Presiden Soekarno secara paksa. Pendek kata, zaman ini adalah zaman militer ala AH. Nasution.

Akan tetapi, disela-sela zaman ini muncul PKI sebagai kekuatan penyeimbang. Di zaman ini, PKI “bisa dikatakan” sebagai pahlawan dalam memperjuangkan demokratisasi. Pertentangan antara ABRI dengan PKI dalam memperebutkan pengaruh ditingkatan masyarakat terus berlangsung, hingga akhirnya terjadi konflik berdarah pada tahun 1965/1966.

Membaca sejarah secara jernih dan terang, sangatlah dibutuhkan dalam melihat peristiwa 1965/1966. Agar supaya kita tidak salah memahami dan kepada siapa kita memihak. Sungguh hal yang menyedihkan, jikalau kita menyalahkan PKI sebagai pembuat makar dan pemberontak di dalam negara Indonesia. Bagi penulis, PKI adalah pahlawan yang memperjuangkan tegaknya demokratisasi di negara ini dengan reforma agraria, akan tetapi kesahannya PKI terlalu tergesa-gesa melakukan reforma agraria, ketika ABRI dengan senjata modernnya justru melanggengkan penindasan dengan cara menginjak-injak Hak Azasi Manusia dan “memandulkan” arti demokrasi.

Pasca peristiwa 65/66, kembali militer menjadi “penguasa tunggal” di negara Indonesia. Jutaan nyawa manusia melayang, dibantai, dihabisi dengan alasan menyelamatkan Indonesia dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua organisasi, partai, kelompok diskusi yang berhaluan kiri dan “dindikasi” berlabel PKI di bubarkan secara paksa. Tidak ada yang tersisa. Di era orde baru ini yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto, militer dengan gagahnya kembali menjadi penindas-penindas baru dengan peran Dwi fungsi ABRI. Di titik inilah, Peran sosial-politik ABRI mendapat legitimasi MPR melalui TAP MPR No. XXIV/MPRS/1966 dan pada tahun 1982, Dwi Fungsi ABRI mendapatkan kekuatan hukum melalui UU No. 20 tahun 1982.

Kepada kawan-kawan sekalian, jikalau muncul pertanyaan, apakah kita harus menolak keberadaan militer atau tidak. Kita tidak menolak keberadaan militer, justru yang kita tolak adalah MILITERISME, ideologi militer. Militer harus tetap ada, tetapi ideologi yang bersifat militer mesti kita tolak secara mentah-mentah. Kiprah dan peran militer di level pertahanan masih sangat diperlukan, tetapi di level politik mestilah DICABUT.

Kawan-kawan sekalian, Selamat datang di negeri yang masih dijajah dengan baju baru oleh ideologi yang melahirkan kebijakan dan regulasi yang tak berpihak kepada rakyat miskin dan papa. Inilah realita di negara Indonesia, sebagaimana yang digoreskan oleh Wiji Thukul dalam puisinya: Di tanah ini // Terkubur orang-orang yang // Sepanjang hidupnya memburuh // Terhisap dan menanggung hutang // Di sini // Gali-gali // Tukang becak // Orang-orang kampung // Yang berjasa dalam setiap pemilu // Terbaring // Dan keadilan masih saja hanya janji // Di sini // Kubaca kembali; // Sejarah kita belum berubah!

Penutup
ANDA Sebagai generasi pelanjut bangsa Indonesia memikul tanggungjawab lebih besar. Sebab masa depan Indonesia tetap berada di tangan kaum muda. Oleh karena itu, Tugas Nasional Pemuda adalah perjuangan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala Neo-Kolonialisme dan Imperealisme, Tugas Demokrasi Pemuda adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis dan Tugas Kerakyatan Pemuda dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas.

Semoga KAMI tidak salah menaruh harapan kepada ANDA, Sebagaimana yang dikatakan oleh Erich Fromm dalam bukunya Revolusi Harapan bahwa harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan social agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan. “MEI 1998 ADALAH PELAJARAN. Ini zaman, zaman permulaan. Awal bagi Rakyat Indonesia menemukan sejarah dan kemanusiannya dengan kesadaran, dengan pengetahuan. Dan para pemuda satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah carut-marut keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimpin hipokrit dan kelompok-kelompok politik oportunis. Situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideology ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan. Pemuda satu-satunya tenaga tersedia ketika buruh dan tani belum seluruhnya menemukan kawan. Dan pemuda adalah tenaga inti revolusi yang mempunyai tugas menghentikan dominasi dan hegemoni kesadaran kaum penindas atas mereka yang tertindas, sehingga rantai pembodohan-pemiskinan rakyat dapat segera dihancurbuyarkan”. (Manifesto Politik FPPI)

Di akhir tulisan ini, penulis hanya ingin menyitir tulisan Paulo Coelho, dalam novelnya yang berjudul The Alchemist: “orang menjadi tua tidak karena bertambahnya usia, tetapi karena ia menyerah dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citannya. Ia tidak menjadi tua karena kisut kulitnya, tetapi karena meringkus jiwanya. Kamu akan muda semuda kepercayaanmu, dan kamu akan tua setua keraguanmu. Kamu akan muda semuda harapanmu, dan kamu akan tua setua keputusasaanmu. Maka sejauh keindahan, kegembiraan, keagungan dunia, manusia dan Tuhan merambati hatimu, kamu akan tetap tinggal muda selamanya. Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya”.

”Sampai Ketemu Di Medan Perjuangan”

“Perjuangan selalu melelahkan. Dan yang melelahkan itu belum tentu berbuah. Dan jika berbuah belum tentu bisa ikut menikmati hasilnya

Jika Tan Malaka Masih Hidup?

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Universitas Negeri Makassar

Tanggal 19 Februari 1949, masih ingatkah peristiwa yang terjadi kala itu? Malam naas dan tragis bagi Tan Malaka, sang pejuang nasionalis revolusioner. Tertembaknya Tan Malaka oleh saudara sebangsa dan setanah-airnnya dari kalangan tentara reguler Macan Kerah, Brigade “S” di bawah pimpinan Letkol Surachmad di desa Pethok, Kediri. Akhir tragis bagi si pejuang kemerdekaan nasional. Dan beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 53 tahun 1963 yang isinya menganugerahkan gelar pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Tan Malaka.

Persatuan Perjuangan
Pasca-kemerdekaan 1945, Bung Hatta mengeluarkan Manifesto Wapres no. X tanggal 1 November 1945 yang memaklumatkan agar partai-partai politik segera didirikan. Bak gayung bersambut, partai-partai politik pun tumbuh dan berkembang bak jamur di musim hujan. Sedangkan di sisi lain, situasi dan kondisi Indonesia-muda masih sangat rentan terhadap penjajah Belanda.

Sebagai pejuang yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan 100% bagi negaranya, Tan Malaka sangat kecewa dengan sikap yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah sangat bertolak-belakang dengan kemauan rakyat. Karena menurut, Tan Malaka banyaknya partai yang bermunculan hanya akan membuat negara Indonesia lemah dan tak berdaya di hadapan para penjajah. Dan memang benar, Indonesia-muda mengalami “konflik elite politik” di dalam tubuhnya sendiri.

Melihat akan hal ini, Tan Malaka berinisiatif membentuk suatu wadah untuk mengkoordinasikan partai politik, laskar, dan badan-badan perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan 100 %. Dan dalam sejarah Indonesia, Tan malaka berhasil menghimpun dan menyatukan 141 organisasi terdiri atas partai politik, organisasi kepemudaan, kelaskaran rakyat, dan tentara Indonesia, berkumpul sebagai bentuk kritik terbuka atas cara-cara diplomasi pemerintah pusat lewat perjanjian-perjanjian yang sangat merugikan posisi politik dan kepentingan rakyat nasional, sebelumnya pada tahun 1925-1926, Tan Malaka juga pernah membicarakan pentingnya persatuan dan kesatuan, diantara pan-Islamisme, kaum nasionalis dan kaum “merah” dalam mengusir penjajahan kolonial Belanda. (Takashi Shiraishi: Zaman Bergerak).

Persatuan Perjuangan (PP) yang didirikan oleh Tan Malaka berhasil merumuskan minimun program, antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 %; pemerintahan rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintahan dengan kemauan rakyat); tentara rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat); melucuti tentara Jepang; mengurusi tawanan bangsa Eropa; menyita (membeslag, confiscate) dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun); menyita (membeslag) dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang, dll).

Konflik Elit Politik
Cita-cita reformasi yang terhadang oleh pertikaian elit politik, hanya melahirkan oligarkhi ekonomi dan politik, walaupun beberapa saat lalu Gus Dur dengan dukungan poros tengah pernah menata perekonomian dan perpolitikan dengan baik.

Hal ini diperparah dengan masih terjerembabnya Indonesia dalam posisi semi-kolonial terhadap penjajah asing menjadikan para penyelenggara negara tidak dapat berbuat banyak, selalu di suntik dan di paksa untuk mengikuti petunjuk dari “negara luar”. Apa lacur, nation-state ini tidak hanya keropos dari luar tetapi dari dalam pun sudah di depan mata.

“Malasnya” negara mengurusi tumpukan permasalahan sosial yang dihadapi oleh massa-rakyat, membuat rakyat bersikap apatis terhadap negara sebagai penanggungjawab dalam pemulihan permasalahan-permasalahan sosial. Negara berjalan ke kanan sedangkan massa-rakyatnya berjalan ke kiri. Sungguh ironis.

Terperangkapnya para elit politik yang hanya sibuk mengurusi peristiwa-peristiwa politik dan kekuasaan dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa sosial, seakan membuat kita sekalian bertanya apakah partai politik (parpol) pernah melakukan kaderisasi dan pendidikan politik terhadap kader-kadernya yang berkiprah di pentas perpolitikan nasional saat ini.

Bagi penulis, ada baiknya para elit politik “membaca-ulang” minimum programnya Persatuan-Perjuangan ala Tan Malaka yang dibuat guna mendaulatkan rakyat Indonesia, baik dari luar maupun dari dalam. Harapan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, selalu akan ada dan terpatri, mengutip Erich Fromm bahwa “harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan sosial agar manusia menjadi lebih hidup, lebih sadar dan lebih berakal. Harapan itu bersifat paradox. Harapan bukan menunggu secara pasif, bukan pula pemaksaan yang tidak realistik terhadap keadaan”.

Jika pejuang nasional itu masih hidup hingga detik ini, penulis yakin ia akan kembali melanjutkan Persatuan-Perjuangannya demi menghindarkan negara dan rakyat pada kehancuran. Semoga, di hari wafatnya ini, gagasan Tan Malaka terus dapat diapresiasi dan tidak lagi dipinggirkan ke panggung sejarah. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Semoga…

Gugatan Pendidikan Islam Terhadap Globalisasi

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Pendidikan Islam di Universitas Mandar As'ariyyah (UNASMAN) Polewali Mandar, Sulbar.

Detik ini, era globalisasi sedang dan telah bergelinding. Era ini mengandung kerancuan yang sering ditutupi oleh para ”pembelanya”. Mereka selalu mengatakan bahwa globalisasi adalah era millenium yang tidak mungkin di lawan, ia adalah keharusan zaman. Tetapi di sisi lain, globalisasi adalah era perdagangan bebas yang sarat akan terjadinya penindasan-penghisapan. Globalisasi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme internasional untuk mengeruk keuntungan di negara-negara berkembang, tak kecuali Indonesia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Revrisond Baswir dalam buku Imperialisme Abad 21: ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi...”

Maka tidaklah heran jikalau Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

Sedangkan periode ketiga, yakni globalisasi, terjadinya pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pasar.

Tantangan Pendidikan Islam
Bagaimana respon pendidikan Islam terhadap globalisasi? Apakah pendidikan Islam menerima globalisasi dan dampaknya atau menolak hal tersebut? Menurut Dr. Mahmud Arif dalam bukunya Pendidikan Islam Transformatif menulis bahwa sejak masa keemasan Islam, pendidikan Islam dapat dipetakan dalam dua arus utama aliran, yakni aliran konservatif dan aliran rasional. Aliran konservatif (al-Muhafizh) adalah aliran pendidikan Islam yang mempunyai kecenderungan “keagamaan” sangat kuat dengan ciri-cirinya hanya memaknai ilmu terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan, berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap “mengecilkan” dunia, dan menganggap ilmu hanya untuk ilmu. Titik ujungnya hanya dimaknai sebagai pewarisan budaya.

Sedangkan aliran rasional adalah aliran yang berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi (natiqah, ghadhabiyyah, dan shahwatiyyah) yang dimiliki individu sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual, antara lain hikmah (kemampuan mengetahui, berpikir, menalar dan memilah), ‘iffah (kemampuan mengendalikan keinginan sesuai dengan pertimbangan akal sehat), shaja’ah (kemampuan mengarahkan semangat/keberanian selaras pertimbangan akal sehat) dan ‘adalah (kemampuan menyeimbangkan antarberbagai potensi diri). Dengan pelbagai potensi ini dapat menjadikan manusia yang terdidik dengan pendidikan Islam menpunyai pola pikir dan cara pandang yang kritis-transformatif dan kritis-praksis terhadap globalisasi.

Ikhwan as-Shafa sebagai pelopor pendidikan Islam kritis-transformatif, melihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya berkutat pada pembinaan moral personal semata, akan tetapi juga mesti diarahkan pada pembinaan moral sosial. Dengan moral sosial inilah, maka pendidikan politik dijadikan sebagai agenda dalam melakukan transformasi sosial. Pendidikan politik dapat dijadikan sebagai alat bagi ummat Islam Indonesia untuk meningkatkan

Dengan pembinaan moral sosial, maka tugas pendidikan Islam dapat dipetakan menjadi tiga bagian. Yakni pertama, bahwa tugas nasional pendidikan Islam adalah memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Di dalam sejarah Indonesia, sikap kritis terhadap penjajahan telah dicontohkan oleh Kyai Kasan Mukmin dari Sidoarjo tahun 1903, berjihad melawan pemerintah Belanda dan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1942, pemimpin tertinggi NU dipenjarakan karena menolak dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan Saikere (membungkukkan badan sembilan puluh derajat menghadap ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, raja Jepang)

Kedua, tugas demokrasi pendidikan Islam adalah merubah struktur sosial-politik yang patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Di Indonesia, sejarah telah mencatat peran para Kyai dalam mengeluarkan fatwa “perang suci” (Resolusi Jihad) melawan Inggris dan Belanda, sehingga dengan fatwa ini menimbulkan perlawanan massa Jawa timur yang di kemudian hari di kenal dengan Hari Pahlawan (10 November 1945), akan tetapi peranan Kyai-kyai dalam perlawanan saat ini, terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban Indonesia.

Dan ketiga, tugas kerakyatan pendidikan Islam dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas. Pendidikan Islam aliran rasional ingin menekankan bahwa seorang pendidik tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya. Hal ini pula telah dicontohkan oleh KH. Zainal Mustafa di tahun 1944, memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata melawan Jepang karena telah memaksa mengambil beras dari petani.

Penutup
Dari uraian di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan ranah khatulistiwa ini tercerahkan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pendidikan Islam menjadi garda depan transformasi sosial menuju negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan (Tri Sakti ala Soekarno). Dengan pendidikan Islam beserta varian lembaganya pula dapat melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, kritis, kreatif, inovatif, dan tidak fanatik terhadap fundamentalisme agama yang justru menumbuh-kembangkan truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) serta fundamentalisme pasar yang menumbuh-kembangkan sistem ekonomi kapitalisme ortodoks. Semoga...

Kemiskinan Masih Menghimpit

Pernah Dipresentasikan Dalam Latihan Kader Kab. Mamuju Utara Sulbar
Tahun 2009


Di tanah ini// terkubur orang-orang yang//sepanjang hidupnya memburuh//terhisap dan menanggung hutang//di sini//gali-gali//tukang becak//orang-orang kampong//yang berjasa dalam setiap pemilu//terbaring//dan keadilan masih saja hanya janji//di sini//kubaca kembali//: sejarah kita belum berubah!//

Petikan puisi Wiji Thukul di atas seakan menyiratkan sejarah perjalanan nation-state Indonesia yang terus berada dalam jurang kehancuran. Mulai dari Penindasan, diskriminasi sosial, ketidakadilan ekonomi, ketidaksetaraan gender dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya ini terjadi dan dirasakan hingga ke dalam relung batin masyarakat Indonesia. Sungguh ironis, negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, akan tetapi masyarakatnya berada dalam “penindasan yang sungguh sangat tragis”. Penindasan serta penjajahan yang dirasakan oleh massa-rakyat Indonesia erat kaitannya dengan konteks globalitas dan nasionalitas yang dialami oleh negara saat ini.

Di dalam konteks globalitas, sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya ideologi kapitalisme neo-liberal sedang menanamkan kukunya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kemerdekaan Indonesia yang sudah berlangsung selama hampir 63 tahun, tidak lantas dengan mudah membebaskan rakyat kita dari penjajahan dan penghisapan dari para pemilik modal yang terus-menerus melanggengkan suatu praktek kolonialisme dan imperialisme yang berkepanjangan. Rakyat Indonesia sendiri telah lama terasing dari tanah airnya sendiri yang telah dilakukan oleh modal internasional melalui kaki-tangannya pada masa Orde Baru dan masih terus dilanggengkan hingga detik ini. Kekosongan masyarakat (baca: massa mengambang/depolitisasi) yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru telah mengantarkan masyarakat kita menjadi budak dinegerinya sendiri. Sementara itu, pemerintah yang berwatak kapitalisme birokratik terus-menerus mengulang kesalahan yang sama dengan kesalahan yang dilakukan di masa lampau, menjadi pemuja kemegahan pembangunan manusia Indonesia secara fisik dan mental yang senyata-nyatanya malahan justru menyengsarakan rakyat sendiri.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi persoalan yang cukup besar menyangkut tanah, air dan udara yang dikuasai oleh pihak asing. Kedaulatan nasional yang dicita-citakan oleh para founding father negeri kita senyatanya tidak terwujud setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang mensyaratkan pembayaran denda kerugian perang yang dikeluarkan oleh Belanda dalam perang kemerdekaan. Indonesia pun mulai berhutang kepada Amerika Serikat sejak saat itu. Pada masa Orde Lama, pemerintahan Sukarno menyerukan kemerdekaan sepenuhnya sebagai prasyarat kedaulatan, termasuk juga membebaskan diri dari beban hutang luar negeri Amerika Serikat dan menjadikan politik sebagai panglima dalam pemerintahannya. Tetapi, keadaan ini berbalik dengan adanya pembantaian massal pada akhir September 1965 yang menjadi awal lahirnya Orde Baru.

Lahirnya Orde Baru dengan developmentalisme-nya telah menjadikan ekonomi sebagai panglima dalam pemerintahannya. Secara teoritik, terdapat dua pendekatan besar dalam pembangunan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan, yakni pertama, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan terjadi, karena akibat kekurangan modal, maka investasi modal secara besar-besaran menjadi agenda utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Dan pendekatan ini dominan di pakai oleh pemerintahan anggota WTO dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kedua, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kebijakan kelembagaan yang tidak memberi ruang dan kesempatan bagi si miskin. Olehnya itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan terhadap kelompok miskin agar mereka dapat memiliki serta mampu merebut aset di berbagai level kehidupan.

Sebagai negara yang tunduk kepada pihak asing, maka pilihan pendekatan pertama pun jatuh padanya. Dikeluarkannya berbagai regulasi yang ”mengamini” masuknya investasi asing, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian dikeluarkannya hak guna bangun (HGB), hak guna usaha (HGU) dan hak pengelolaan hutan (HPH) yang di atur dalam UU No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan dan UU No. 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan serta UU No. 8/1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi. Modal internasional menggunakan strategi baru dalam melakukan penjajahan terhadap negara dunia ketiga dengan menggunakan Multi National Corporation (MNC)/Trans National Corporation (TNC).

Kehadiran MNC/TNC di Indonesia semakin dipermudah dengan penawaran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan keunggulan komparatifnya yaitu buruh yang murah, tanah yang murah, dan sumber daya alam yang melimpah. Perampasan serta perampokan tanah milik rakyat tersebut hingga hari ini melahirkan sengketa agraria yang sulit terselesaikan, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum. Akhirnya sampai detik lengsernya pemerintahan Orde Baru, ribuan pabrik sudah berdiri di Indonesia, di atas tanah milik rakyat yang tergusur. Hal ini sangatlah bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, empat cita-cita kemerdekaan bangsa adalah (1). Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2). Memajukan kesejahteraan umum, (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4). Ikut melaksanakan perdamaian dunia.

Era Reformasi dan pertarungan Para Elit Politik
Lengsernya kepemimpinan diktator-militeristk HM. Soeharto, memberikan angin segar terhadap kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Seiring perjalanan era reformasi, kekecewaan ternyata sangat terlihat di wajah kusut rakyat Indonesia, betapa tidak, perbaikan nasib dan keadilan dalam memperoleh kekayaan alam Indonesia pupus sudah oleh kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa yang tidak (pernah) memihak kepada grass root, malahan hanya berpihak kepada investor asing yang menanamkan modalnya (modal internasional) di bumi pertiwi ini.

Tak pelak lagi, transisi demokrasi telah berubah haluan menjadi institusional oligarkhi politik di antara elit-elit politik. Legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lagi dalam satu payung kepemimpinan tetapi telah terbagi-bagi dan tersebar ke dalam ranah kekuasaan otonom. Pertarungan kekuasaan di antara elit politik menjadikan negara ini seakan berada dalam “perang saudara” sebangsa dan setanah-air sendiri. Mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia, akan tetapi mereka lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu.

Untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik kita melakukan berbagai usaha untuk mencapai tampuk kekuasaan, akibatnya tidak muncul pemimpin nasional dengan karakter kerakyatan. Untuk dapat menjaga kelanggengan kekuasaan mereka, mereka juga mencari dukungan dari modal internasional yang tentunya juga berimbas pada paket-paket kebijakan yang harus mereka keluarkan, dan pastinya berpihak pada modal internasional. Kebijakan otonomi daerah yang ditandatangani oleh B. J. Habibie adalah salah satu usaha membuka peluang besar bagi modal internasional untuk melakukan ekspansi langsung ke daerah tanpa harus mendapat persetujuan dengan pemerintah pusat.

Singkatnya, pemerintahan melakukan kongkalikong (perselingkuhan tidak suci) dengan modal internasional. Rakyat sendiri hanya diajak untuk berbicara soal politik lima tahun sekali, saat pemilu. Hal ini ditujukan untuk melestarikan politik massa mengambang yang menguntungkan bagi pemerintah di mana kesadaran rakyat semesta dikendalikan dan di hegemoni oleh negara.

Akibat dari penjajahan neo-kolonialisme dan imperialisme dalam rupa IMF, World Bank, WTO dan lain sebagainya, hari ini rakyat harus menghadapi berbagai persoalan yang menyebabkan mereka tidak dapat menikmati hidup sebagai manusia, mulai dari terampasnya tanah yang dimilikinya untuk industri hingga mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan. Di dalam ideologi kapitalisme internasional, manusia di anggap sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan dengan sistem upah yang tidak layak.

Pemiskinan Sama Dengan Melanggar HAM
Dalam situasi ketertindasan dan kemiskinan seperti ini, sudah layak dan sepantasnya jika kita mempunyai sistem pemerintahan yang mampu mengambil keberpihakan kepada rakyat atau dalam istilah Bung Karno pemerintahan yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Namun kenyataan yang kita saksikan hari ini adalah sebuah panggung sinetron yang setiap hari seorang pemain dapat berganti lakon dan watak seribu kali. Pada awal masa kampanye Pemilu 2004 ini, kita dapat menyaksikan sebuah fenomena menarik di mana setiap partai politik yang terlibat dalam pemilu mencoba untuk mati-matian menarik simpati rakyat dengan ikut mencangkul di sawah, berkunjung ke rumah sakit, sampai ke pasar tradisional hanya demi satu tujuan yang sama, memperoleh dukungan yang sebanyak-banyaknya dari rakyat banyak.

Setelah Perang Dunia II berakhir dan tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 Desember 1984, di kota Paris, dideklarasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kemudian pada tanggal 16 Desember 1966, PBB menghasilkan dua konvenan, yakni konvenan hak-hak sipil-politik dan konvenan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. DUHAM dan dua konvenan tersebut kemudian menjadi UU HAM internasional dan menjadi bagian dari hukum internasional. Dengan demikian, perjanjian tersebut adalah perjanjian antar-negara, maka dalam hukum asasi manusia internasional, negara merupakan subjek hukum. Oleh karena itu, negara-negara peserta perjanjian mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus diberikan kepada warga negaranya, yang meliputi: 1). Kewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia; 2). Kewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia; 3). Kewajiban memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia. Sedangkan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara dapat mengambil dua bentuk, yakni 1). Melanggar melalui pelanggaran dengan tindakan (violence by action); 2). Dan melanggar melalui pelanggaran dengan cara pembiaran (violence by omision)

Dengan menilik hal di atas, maka negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia dengan melakukan pelanggaran dengan cara pembiaran. Karena telah membiarkan warganya hidup dalam kemiskinan, ketertindasan, keterjajahan dan penderitaan yang akut. Dan sejarah kita belum berubah, sejarah penindasan. Wallahu a’lam bisshawab…

Elit Politik: Merapuh Dan Melangit (Catatan 12 Tahun Reformasi)

Pernah Dipresentasikan Dalam Diskusi Reformasi
Oleh Lingkar Studi Merah Putih (LSMP) UIN Alauddin

Runtuhnya konsolidasi demokrasi di era Presiden Gus Dur berefek lahirnya oligarkhi politik di perpolitikan nasional tempat kita berpijak. Angin reformasi yang berhembus membawa transformasi sosial yang dinanti-nantikan telah beralih arah menuju ilusi demokrasi. Harapan menjadi tak bersua seiring elit politik sebagai salah satu penyangga terwujudnya demokratisasi, terkotak-kotak dan berpikir-bertindak hanya demi partainya saja. Era reformasi pun tak jelas arahnya.

Berubahnya haluan menjadi institusional oligarkhi politik dalam ranah kekuasaan otonom melahirkan pertarungan kekuasaan dan ujungnya adalah berlaku slogan “memahami berarti mendamaikan”. Negara menjadi arena “perang saudara”, mereka tidak peduli lagi dengan nasib jutaan rakyat Indonesia dan hanya lebih peduli terhadap “pengejaran” kedudukan dan kekuasaan masing-masing individual. Dan tak sungkan-sungkan pengejaran kekuasaan dan kedudukan ini mengundang atau meminta bantuan modal internasional untuk mendapatkan keinginannya itu. Ironis.

Politik Egois
Para elit politik pra-kemerdekaan angkatan 1928 dengan visi geopolitik dapat “mencuri” momentum Perang Dunia I antara tripple entente (Perancis, Inggris, dan Rusia) melawan tripple alliance (Jerman, Italia dan Turki) dan menguatnya rasa nasionalisme di negara-negara luar, sehingga berhasil melakukan konsolidasi kebangsaan dengan melahirkan Sumpah Pemuda. Begitu pun dengan elit politik angkatan 1945 seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soerkarno dan Bung Hatta mempunyai visi geopolitik yang terang sehingga dapat “membaca” Undang-undang Agraria 1870 yang berlaku masa 75 tahun ke depan, maka pada tahun 1945 adalah masa-masa bumi pertiwi tak bertuan dan kolonial Belanda “habis” kontraknya di bumi pertiwi dan tanpa menghiraukan peristiwa globalitas perang antara Negara-negara fasis (Jerman, Italia dan Jepang) melawan aliansi sekutu (Polandia, Perancis, Inggris, AS) dengan diluluh-lantahkannya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS. Maka dengan visi inilah mampu mencuri momentum dengan memekikkan kemerdekaan Indonesia, ketika terjadi perang pasifik.

Sekarang, apakah para elit politik juga mempunyai visi geopolitik seperti elit-elit politik pra-kemerdekaan yang mampu membaca peristiwa demi peristiwa, momentum demi momentum, yang mempengaruhi nasionalitas dan lokalitas? Berjayanya pihak AS dalam memenangkan Perang Dunia II menyebabkannya ingin menjadi polisi dunia, sehingga leluasa mencengkeram negara-negara yang baru berdiri di satu sisi dan di sisi lain, munculnya kekhawatiran “kekuatan tandingan” komunisme yang dipelopori oleh Uni Soviet, ujungnya terjadi “perang dingin” antara blok Barat dan blok Timur.

Kemenangan revolusi Tiongkok di bawah komando Mao Tse Tung, lahirnya Republik Demokratik Vietnam di bawah Ho Chi Minh, terjadinya perang Korea, dipindahkannya rudal nuklir Uni soviet ke Kuba dan dominannya kekuatan kiri di Indonesia menjadikan AS memperluas dominasi dan hegemoninya, hingga akhirnya AS pun menjadi polisi dan penguasa dunia beserta ideologinya sebagaimana dilukiskan oleh Daniel Bell dalam bukunya ‘The End of Ideology” dan “The End of History and The Last Man” oleh Francis Fukuyama. Kekukuhan ideologi kapitalisme tak terelakkan dan terus berlanggeng hingga detik ini, walaupun di sisi kanan dan kirinya ada kekuatan yang mengancam, seperti China, Iran dan Amerika Latin.

Belum adanya visi geopolitik yang dimiliki oleh para elit-lit politik di tanah tercinta ini, dapat terlihat bagaimana untuk memperoleh kemenangan, elite-elite politik pusat melakukan berbagai usaha dan upaya untuk mencapai tampuk kekuasaan. Akibatnya belumlah muncul pimpinan nasional dengan karakter kerakyatan, transformatif dan visioner.

Mental Inlander
Tempo dulu, pemerintahan kolonial Belanda membagi stratifikasi masyarakat menjadi tiga bagian, yakni bagian atas adalah golongan kulit putih, golongan kedua adalah bangsa Arab dan Tionghoa, sedangkan golongan terbawah adalah pribumi/masyarakat asli Indonesia (inlander). Pembagian strata ini terus langgeng hingga kesadaran sosial-politik dan sosial-ekonomi yang mewarnai kehidupan nation-state hingga detik ini.

Mental pribumi sebagai stratum terbawah dari stratifikasi masyarakat “mengada” dalam mental-kesadaran-keyakinan yang terus ditundukkan. Tunduk, patuh, tidak percaya diri, merasa rendah diri dan pasif adalah sebagian dari hasil konstruksi yang telah “terlembagakan dan dilembagakan” oleh penjajah dan terus dipatenkan hingga penguasa saat ini. Mental inlander membumi terhadap massa-rakyat Indonesia. Dan negara sebagai fasilitator belum sungguh-aktif memainkan perannya dalam menggeser watak mental pribumi menjadi mental merdeka sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa ini.

Dibacakannya teks proklamasi oleh Bung Karno-Hatta, menandai nation-state telah memasuki fase revolusi nasional-demokratis dengan pengukuhan bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan. Akan tetapi, hal itu belumlah menjadikan pribumi menghirup kemerdekaan dan kedaulatan sendiri. Oleh karena itu, transformasi fase revolusi nasional-demokratis mestilah dilanjutkan pada fase revolusi sosial-demokratis dengan memprioritaskan penggeseran watak feodalistik (tuan-hamba) dan restrukturisasi sosial-ekonomi dengan mementingkan kebutuhan pribumi daripada yang lainnya.

Proklamasi kemerdekaan dan ideologi Pancasila tidak boleh berhenti hanya semata-mata pernyataan politik melainkan juga harus disadari sebagai sikap sejarah dan pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia. Kesadaran dasar kita hari ini adalah bahwa di ranah politik, sosial, dan ekonomi, kita tidak hanya menghadapi tantangan untuk bertarung dengan kekuatan-kekuatan asing yang datang dari luar, tetapi juga harus mewaspadai bahaya keterasingan yang timbul dari dalam akibat pengelolaan ekonomi politik yang hanya diabdikan kepada kepentingan permodalan neo-liberal.

Emmanuel Subangun dalam bukunya Negara Anarkhi mengatakan jikalau negara ini dibiarkan terus-menerus tanpa memiliki pemimpin nasional yang visioner, maka negara ini menuju proses Afrikanisasi. Yakni proses nasionalisme dan demokrasi di sebagian besar negara Afrika yang berakhir dengan menguatnya tabiat suku dan raja kecil, yang tak lain adalah gerak retrogad dan ketidakmampuan sebuah bangsa menghadapi tantangan jaman. Secara ekonomi tetap tergantung pada pertanian, secara politik amat tribal, dan secara sosialmenumbuhkembangkan radikalisme segala rupa, sehingga ujungnya adalah selalu ethnic cleansing seperti yang terjadi di Rwanda, Sudan dan Nigeria.

Oleh karena itu, mental inlander yang masih (banyak) mengada dalam era reformasi seharusnya dihilangkan asap-kabutnya dengan pendidikan politik yang memerdekakan sesuai dengan jiwa budaya bangsa Indonesia. Agar supaya – meminjam bahasa Karl Jaspers- kita tidak hanya merdeka dalam arti to live (hidup) bermakna pasif dan menjadi objek, akan tetapi merdeka dalam arti to exits (ada) bermakna aktif dan menjadi subjek. Semoga

Manifesto Kaum Tertindas

Pernah Diterbitkan Di Buletin Kampus Lentera Alauddin

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di muka bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka yang mewarisi bumi” (QS. Al-Qashash: 5)

PROLOG
Naïf kiranya, bilamana pelbagai persoalan yang sedang melilit negeri yang kita cintai bersama ini, tidak dikaitkan dengan kondisi-situasi yang sedang terjadi di dunia Internasional. Problem nternasional mempengaruhi problem nasional, problem nasional mempengaruhi problem regional bahkan local. Contoh kasus seperti peristiwa kenaikan BBM yang dilegalkan dengan pepres no. 55/2005 (premium naik 87, 5 %; Solar naik menjadi 104, 7 %; dan minyak tanah 185, 7 %) tidaklah terlepas dari pengaruh dunia Internasional sehingga minyak dunia naik menjadi 67 $US/barrel. Peristiwa ini terjadi karena adanya ketegangan Iran versus Amerika dan Eropa mengenai pengembangan nuklir, juga terjadinya kekacauan politik di negara Nigeria (negara penghasil minyak keenam di dunia), mau tak mau mempengaruhi “dunia perminyakan” di dunia. Dan juga terjadinya ketegangan antara Rusia dan Ukraina mengenai masalah minyak dan gas. Rusia sebagai negara penghasil minyak dan gas banyak memasok ke Eropa dan Amerika, tetapi terjadinya ketegangan antara Rusia dan Ukraina menyebabkan terhentinya pasokan tersebut, dikarenakan Ukraina tak mengizinkan Rusia melewati pipa mereka. Permintaan semakin tinggi, tetapi penawaran (barang) tak ada atau kurang, sehingga menyebabkan naiknya harga minyak dunia.

Ironisnya, kok Indonesia ikut-ikutan menaikkan BBM. Padahal Indonesia mempunyai sumber ladang minyak yang banyak, apalagi yang terakhir menjadi perbincangan hangat di Media massa yakni perebutan Blok Cepu (terjadi perebutan antara Exxon Mobil dan Pertamina, yang katanya melibatkan campur tangan George W. Bush dan SBY) yang mempunyai kandungan minyak 600 juta barrel hingga dua milyar barrel. Ternyata jawabannya adalah sebagian besar perusahaan minyak di Indonesia adalah milik swasta dan luar negeri. Indonesia sebagai salah satu negara anggota World Trade Organization (WTO) atau perdagangan dunia internasional harus dan wajib mengikuti “aturan main” di WTO, salah satu aturan mainnya adalah National Treatment (NT), yakni apabila sebuah perusahaan negara lain masuk ke sebuah negara, maka negara tersebut harus memperlakukan perusahaan-perusahaan tersebut sebagaimana perusahaan-perusahaan dalam negeri sendiri. Karena pemerintah mendapat tekanan dari pihak luar dan swasta, mau tidak mau, harus menaikkan harga BBM.

Penindasan-pembodohan yang dulunya dilakukan oleh VOC (Belanda), sekarang kembali lagi terjadi, tetapi dalam wujud yang berbeda. Utang luar negeri dan investasi para investor adalah dua bagian dari penjajahan dan pembodohan tersebut. Ketika terjadi krisis moneter medio 1997, para aparat negara yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto mengundang International Monetery Found (IMF) untuk “memperbaiki” krisis tersebut. IMF memberikan beberapa syarat, agar supaya kondisi perekonomian Indonesia kembali pulih. Adapun syarat-syaratnya terangkum dalam Struktural Adjustment Programe (SAP), yakni Liberalisasi Perdagangan (menghilangkan aturan-aturan yang melindungi industri-industri local), Liberalisasi Investasi (diberikannya kesempatan kepada perusahaan-perusahaan luar negeri untuk memiliki saham hingga 100% dan pembebasan tariff bea masuk), Pemotongan Anggaran untuk Kepentingan Publik (seluruh anggaran untuk kepentingan publik, seperti biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, dsb di potong bahkan kalau perlu dihapuskan. Inilah yang menyebabkan biaya-baiya pendidikan, kesehatan, dsb naik melambung tinggi), Devaluasi Mata Uang (pelaksanaan kurs mengambang bebas, ini berbahaya sekali, karena kurs mata uang di tentukan oleh pasar yang di dalam terdapat para spekulan mata uang yang licik), Upah Buruh yang Rendah (peraturan ini dibuat, agar supaya para investor asing mudah masuk ke negara Indonesia dan menanamkan sahamnya. Bahasa kasarnya, menanamkan modal yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda), .

Inilah sebagian syarat-syarat yang diberikan oleh IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Bukan pemulihan dan perbaikan yang datang, tetapi yang terjadi kondisi perekonomian makin parah hingga detik ini. Dari pelbagai kebijakan yang diberikan, ternyata terdapat penindasan dan penjajahan di dalamnya. Kaum menengah ke bawah, terpinggirkan dan terdiskriminasi dalam kebijakan tersebut. Liberalisai perdagangan, liberalisasi investasi, pemotongan anggaran untuk kepentingan publik, devaluasi mata uang, dan upah buruh yang rendah adalah bagian dari eksploitasi terhadap kaum miskin yang hari demi hari meningkat tajam. Inilah realita sesungguhnya di negeri Indonesia.

Dengan demikian, apa yang sedang terjadi di dunia Internasional sangat berkaitan erat dengan apa yang sedang dan akan terjadi di negeri Indonesia. Disinilah peran negara sangat dibutuhkan. Apakah negara (para aparatnya) mengikuti apa yang diingini oleh para penjajah atau bangkit dan melawan segala kebijakan yang “didikte” terhadapnya? Bukankah tugas negara adalah melindungi warganegaranya dari penindasan-pembodohan alias penjajahan.

DIALOG
Presiden I RI, Soekarno pernah melukiskan mengapa kita melakukan pergerakan secara sempurna: “Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan culture – pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya. Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imprealisme. Sebab stelsel (sistem) inilah yang sebagai kamiladen (lintah/parasit) tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita. Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan kecil-kecilan. Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan yang ingin merubah samasekali sifatnya masyarakat”.

Mansur Fakih (Alm.) telah menyebutkan bahwa Indonesia telah mengalami beberapa episode penjajahan, Periode pertama kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua adalah bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan). Sedangkan periode ketiga adalah globalisasi, di mana terjadi pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada pasar (invisible hands). Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia. Ini sangat berbahaya sekali, karena peran pemerintah “dikecilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah hanyalah menjadi pembuat-pembuat kebijakan yang berpihak kepada pasar. Di era globalisasi penjajahan tingkat tinggi (IMPEREALISME) terjadi lagi.

Anda sebagai bagian dari negeri tercinta ini, seharusnya tidak berpangku tangan dalam melihat keterpurukan Indonesia. Anda sebagai kaum intelektual, tidak sewajarnya menghabiskan waktu dengan berdiskusi-ria, tetapi semestinya bangkit dan bertindak. Anda sebagai generasi pelanjut bangsa ini, sewajibnya menjadi pelindung atau benteng para kaum yang teraniaya oleh sistem yang tidak adil.

EPILOG
Penulis hanya ingin menyatakan bahwa siapa yang salah dan pihak mana yang benar mesti benar-benar ditegaskan. Mungkinkah tercapai kompromi apabila kepentingan “kita” dan “mereka” saling berseberangan. Kepentingan “kita” (bangsa terjajah) menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan ekonomi-politik sepenuhya sedangkan kepentingan “mereka” (bangsa penjajah) menginginkan terjadinya koloni, prektorat, dan mendikte. Ini persoalan krusial, menyangkut penghidupan yang layak di masa depan dan berkaitan harga diri serta martabat negara Indonesia di antara negara-negara lain.

Penindasan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja. Akan tetapi, tidak ada orang yang rela jika hak-hak dasarnya di injak-injak, dihilangkan. Siapapun tak rela, termasuk si penulis, begitupula dengan si pembaca. Oleh karena Itulah, satu-satunya cara untuk menyadarkan penguasa adalah melawannya. Tidak dengan kekuasaan baru tetapi dengan KUASA RAKYAT yang kokoh dalam kesadaran sejarah pembebasan.

Mari kita hentikan jerit-tangis kesedihan hingga segaris senyum-bahagia terpancar dari rona wajah mereka dengan cara memanifestasikan sekuat tenaga dalam memperjuangkan hak-haknya. Setitik kehidupan sangatlah berharga. Bangkit dan melawan adalah satu pilihan dan kewajiban, karena kita tidak ingin wilayah NKRI terus menerus dieksploitasi dan dijajah. Mari bergerak dan berjuang untuk Res-publica. Mungkin inilah, MANIFESTO yang cocok bagi kaum teraniaya. MANIFESTO KAUM TERTINDAS. Selamat berjuang dan sampai jumpa di sudut-sudut jalan kebenaran. Semoga fajar kemerdekaan dan kedaulatan cepat menyingsing, serta jangan lupa jaga kesehatan. ®

Islam Bukan Agama Kekerasan

Pernah Diterbitkan di Buletin Jum'at At-Tabsyir

“Ajaklah ke jalan Tuhan-Mu dengan jalan kebijaksanaan, dan berdialoglah dengan cara yang terbaik...”

Petikan ayat di bawah ini menjelaskan bahwasanya Allah Swt, mengajarkan kepada ummatNya agar senantiasa berdakwah dengan cara bil-hikmah mau’idzah dan berdialog dengan baik, bukan dengan cara kekerasan atau memaksa.

Sejarah Indonesia adalah sejarah kekerasan. Pernyataan ini bisa benar, bisa pula tidak. Tetapi, bukti kongkret tentang kekerasan ada di pelupuk mata kita. Pemberitaan tentang kekerasan telah tersebar di mana-mana, baik di media cetak maupun elektronik. Maka sangatlah wajar, jikalau negara tercinta kita “ dimasukkan dan dianugerahi” sebagai negara pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang terpopuler. Mulai dari pelanggaran HAM yang bersifat sipil-politik maupun ekonomi, sosial dan budaya.

Penyerangan serta pengrusakan terhadap tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah, begitu pun penyerangan terhadap sekelompok ummat oleh ummat yang mengatasnamakan Islam di Monas pada tanggal 01 Juni 2008 bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara kita adalah beberapa contoh kasus telah terjadinya tindak kekerasan agama terhadap pemeluk agama lain. Peristiwa ini sangatlah memiriskan dan memilukan hati jutaan rakyat Indonesia yang nota-bene adalah masyarakat yang menghargai perbedaan dan cinta perdamaian. Penyerangan tersebut dapat dikategorikan pelanggaran HAM sipil-politik (kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya).

Sekarang muncul pertanyaan, apakah sebuah agama mengajarkan kekerasan? Dan bagaimana agama menyikapi tentang kekerasan? Sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan kepada para pemeluknya untuk melakukan kekerasan atau premanisme terhadap suatu kelompok, baik itu berdasar ekonomi, politik bahkan agama, karena yang demikian itu adalah sebuah kemungkaran dan menimbulkan permusuhan di antara makhluk ciptaan Allah Swt. Di dalam agama Islam, Allah Swt berfirman dalam surah An-Nahl : 90 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi (kasih) kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari berbuat keji, kemungkaran dan berbuat permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pengajara.” Begitu pula di dalam kontitusi kita, pada pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 disebutkan: (1). “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya serta berhak kembali; (2). “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hal itu ditegaskan ulang dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam pasal 22 ditegaskan (1). “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya; (2). “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaanya itu”.

Dengan demikian, agama Islam adalah agama yang tidak pernah mengajarkan kekerasan terhada ummatnya, melahan sangat menolak hal yang demikian. Bukankah agama Islam adalah agama rahmatan lil-‘Alamin, agama yang mengajarkan lemah-lembut, kasih-sayang dan memberi rahmat terhadap sekalian alam. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt, untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Indonesia sebagai negara yang mempunyai beragam agama, suku, dan etnis adalah sebuah kebanggaan, tetapi di sisi lain juga bisa membuyarkan impian dan menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Apabila keragaman ini bisa dijahit dan dirajut ke dalam ke-Bhineka Tunggal Ika-an, maka yang terjadi adalah akan tercipta sebuah negara yang sangat demokratis dan menghargai keragaman. Tetapi, apabila keragaman ini dikoyak-koyak oleh segelintir kelompok, maka nestapa negeri damai dan adil akan bersua di hadapan jutaan masyarakat Indonesia. Dan di negeri ini pulalah terdapat ummat Islam terbesar di antara negara-negara Islam lainnya. Tetapi, mengapa hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam justru langgeng dan tumbuh subur di negeri tercinta ini.

Atau jangan-jangan yang dikatakan oleh K. H. Mustafa Bisri dalan goresan puisinya memang benar, “Tuhan, lihatlah betapa kaum beragama negeri ini/mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain di negeri-negeri lain/demi mendapatkan ridha-Mu/mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka/untuk berebut tempat terdekat di sisiMu/mereka memaafkan kesalahan/dan mendiamkan kemungkaran/bahkan mendukung kezaliman/untuk membuktikan keluruhan budi mereka/terhadap setan pun mereka tak pernah berburuk sangka/”. Ihdinas Shiratol Mustaqiim.

Idul Adha dan Korupsi

Pernah Diterbitkan Oleh Media Harian Tribun Timur
Sabtu, 28 November 2009

Berselang 70 hari setelah merayakan Idul Fitri, maka umat Islam pun kembali merayakan Iduladha dengan melaksanakan shalat Iduladha dan berkurban. Idul yang berarti kembali dan adha yang merupakan padanan kata dari dhahayah dan udhiyah berarti penyembelihan.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, mengatakan bahwa kata al-udhiyah atau ad-dhahiyah adalah nama sesuatu yang disembelih yaitu unta, sapi atau kambing pada hari nahar (tgl 10 Dzulhijjah) atau pada hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) sebagai wujud mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan demikian, hari raya 'Idul adha adalah perayaan kembali menyembelih binatang atau berkurban.
Di dalam sejarah, menyembelih hewan kurban bermula dari kisah Nabi Ibrahim as yang mendapatkan mimpi dari Allah Swt untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Karena kepatuhannnya kepada Allah Swt, Nabi Ibrahim as pun melakukan perintah disertai dengan kerelaan dan kepatuhan sang anak atas perintah Allah lewat mimpi tersebut (QS. As-Shafaat: 102).

Dari kisah ini, sedikitnya ada dua teladan yang dapat diambil hikmahnya, yakni teladan seorang hamba yang patuh dan taat atas perintah Allah Swt., pergantian penyembelihan terhadap Nabi Ismail as dengan seekor binatang dapat diartikan bahwa ajaran agama Islam sangat menghargai nyawa manusia, makanya harus diselamatkan; dan penyembelihan hewan pun dapat bermakna alegoris menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia.

"Menyembelih" Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar-balik dan menyogok. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri.

Dalam literatur Islam, korupsi berarti guluul. Kata ini merupakan mashdar (sumber asal) dari fi'il sulasi mujarrad-mudhaf yakni galla, yagullu, gillun, gulul, dapat diartikan membelenggu dan khianat. Nabi Saw pernah bersabda: "Barang siapa yang dipekerjakan dalam suatu pekerjaan dan ia diberi gaji, tetapi ia mengambil (gaji lain) setelah ia di gaji sesuai hasil kerjanya, maka ia termasuk korupsi".

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang perusahaan, negara dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korup berarti suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok dan memakai kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi.

Di Indonesia, perlawanan terhadap korupsi terus dilaksanakan sejak runtuhnya kekuasaan orde baru hingga detik ini. Pelbagai kebijakan pun dibuat untuk menghalangi korupsi merajelela, seperti adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), walaupun lembaga terakhir ini ramai dibicarakan dan diberitakan "konspirasi" pelemahan institusi ini.

Menurut data Transparancy International, indeks persepsi korupsi (IPK) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan mulai tahun 2003 (IPK 1,9), tahun 2004 (IPK 2,0), tahun 2005 (IPK 2,2), tahun 2006 (IPK 2,4), tahun 2007 (IPK 2,3), tahun 2008 (IPK 2,6), dan tahun 2009 (IPK 2,8). Sedangkan dalam lingkungan ASEAN, Indonesia termasuk mengalami peningkatan menuju peringkat lima dari sepuluh negara yakni Singapura (IPK 9,2), Brunei Darussalam (IPK 5,5), Malaysia (IPK 4,5), Thailand (IPK 3,4). (Kompas, 19/11/2009)

Kepemimpinan Nasional
Dengan melihat kondisi ini, untuk "menyembelih" korupsi dan meningkatkan kemajuan negara dan bangsa, maka sangat diperlukan dua hal yakni pertama, adanya kepemimpinan nasional yang kuat dan berintegritas tinggi. Teladan ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as dengan rela mengurbankan anaknya, harta yang sangat dicintainya.

Seorang pemimpin yang taat dan patuh terhadap nilai-nilai agama akan mampu mengedepankan kepentingan masyarakat dan negara Indonesia atas kepentingan pribadi, golongan dan partainya. Seorang pemimpin nasional bukan lagi milik satu golongan dan partai, akan tetapi telah menjadi milik publik sebagai penyambung lidah rakyat, fasilitator atau katalisator dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat UUD 1945.

Melanggengkan korupsi di bumi pertiwi Indoensia hanyalah akan membawa dampak buruk bagi jutaan masyarakat Indonesia. Di dalam sejarah Indonesia, salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit adalah menjamurnya korupsi dan mementingkan kepentingan pribadi dan golongan di atas segala-galanya.

Begitu pula dengan perusahaan colonial Belanda, VOC salah satu penyebab hancurnya perusahaan tersebut selain karena besarnya biaya perang untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830) adalah menjamurnya perilaku korupsi di antara birokrat-birokrat perusahaan. Apakah sejarah itu akan berulang kembali? Hanya orang kurang-bijaklah jatuh pada lubang yang sama.
Dalam "menyembelih" korupsi di ranah khatulistiwa ini, apa salahnya bercermin atau mencontoh penegakan hukum negara-negara luar, seperti pemerintah Vietnam mengganti semua pejabat Departemen Perhubungan karena telah melakukan penggelapan sejumlah dana pembangunan proyek infrastruktur atau negara China menembak mati koruptor beserta anak-istri dari pejabat korupsi tersebut.

Ataukah memberikan efek jera terhadap koruptor dengan cara menyita semua harta koruptor untuk dimasukkan dalam kas negara sebagai tambahan untuk menciptakan pemberdayaan rakyat miskin. Bukankah dalam ajaran Islam dikatakan bahwa seorang pemimpin "tasharruf al-imam 'ala al-raiyah manutun bi al-maslahah" (tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan).

Kedua, menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia dapat diartikan sebagai adanya pendidikan yang menghargai kepentingan berbangsa dan bernegara daripada kepentingan pribadi, golongan dan partai. Sifat egois seharusnya diminimalisir.

Pendidikan berwawasan pencegahan (preventif) terhadap korupsi lebih penting daripada penindakan kepada pelaku korupsi. Dengan adanya pendidikan preventif dapat dijadikan alat bantu untuk menganalisa struktur penindasan ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang selama ini belum pernah dimasukkan dalam kurikulum pelajaran sekolah atau perkuliahan. Sehingga yang terjadi adalah melahirkan murid atau mahasiswa berkesadaran palsu, tidak mau tahu akan situasi dan kondisi bangsanya, ketidakpercayaan kepada masa lalu dan ketidakmengertian akan masa depan.

Dengan pendidikan pula, manusia dapat membangun dan melestarikan peradaban. Bukankah manusia merupakan homo educandum (manusia yang mampu di didik) menuju tatanan yang lebih baik dengan mengaktualisasikan ranah afektif, kognitif dan psikomotoriknya, sehingga fungsi dari pendidikan memanusiakan manusia dapat tercapai.

AM Mangunhardjana pernah berkata: "kebanyakan tragedi dalam sejarah manusia tidak begitu saja terjadi oleh perbuatan maksiat kaum penjahat, melainkan juga karena kegagalan orang-orang yang bercita-cita tinggi, berbakat unggul dan berkepribadian baik, namun enggan untuk berbuat sesuatu. Merekalah inilah manusia-manusia yang membiarkan gagasan bagus tetap terpendam dalam benak mereka, bakat mereka tidak produktif buat dunia sekitarnya dan kepribadian mereka tetap kering dari jasa sesamanya".

Akhirnya, semoga perayaan Idul Adha tahun ini tidak hanya menjadi ritus belaka, namun mampu menjadi spirit untuk meminimalisir korupsi serta melakukan perubahan dan transformasi sosial menuju negara republik (res publica: pemerintahan untuk menyejahterakan orang banyak) yang sebenar-benarnya.**

Idul Fitri dan Nilai-nilai Kemanusiaan

Pernah Diterbitkan Oleh Media Harian Tribun Timur
Rabu, 23 September 2009

Kemarin sebulan penuh umat Islam telah melaksanakan puasa Ramadan. Mudah-mudahan Allah swt menerima segala amalan yang kita perbuat dan tentunya menjadikan diri pribadi sebagai Muslim dan Muslimah yang berakhlak baik.

Momentum Ramadan ini, kita jadikan sebagai latihan dalam mendidik dan menempa jiwa menuju yang fitrah. Oleh karena itu, di akhir Ramadan kita mendirikan salat Idulfitri sebagai perlambang dimulainya era baru bagi setiap individu yang lulus dalam tempaan jiwa selama sebulan ini.

Idulfitri, bermakna id berarti kembali dan fitri berarti fitrah kesucian manusia. Jadi Idulfiri adalah kembali ke fitrah suci manusia ibarat bayi yang baru lahir dari perut ibunya, suci, dan bersih.
Akan tetapi, kenyataannya sangat berbeda dengan realitas masyarakat Islam Indonesia yang menjadikan Idulfitri sebagai ajang "belanja" berbagai kebutuhan Idulfitri. Idulfitri hanya bermakna hari raya Islam yang sangat jauh dari pesan keilahiaan dan kemanusiaan.

Idulfitri hanya dijadikan sebagai hari "berpesta makan dan minum" setelah sebulan penuh menahan makan dan minum di siang hari. Maka dari itu, idealnya Idulfitri adalah momentum awal ujian-aplikatif dari sekian ibadah yang dianjurkan di dalam Ramadan, seperti berkasih-sayang, membeikan perhatian yang tulus, berlemah-lembut, berkata baik, tidak mencaci-maki, memberi infak atau sedeqah, dan sebagainya.

Fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, penciptaan atau kejadian. Sebagaimana di dalam surah al-Rum ayat 30 yang artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".

Dari ayat di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya manusia sejak awal kejadiaannya membawa potensi keagamaan yang hanif (lurus). Dengan demikian, tiap individu manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat mengarahkan hidup dan kehidupan ummat ke arah lebik baik.
Sejalan dengan itu, kelahiran Islam pun untuk mendobrak tatanan sosial masyarakat yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Islam datang dan memihak terhadap kaum mustadh'afin (orang-orang yang lemah dan dilemahkan) dan melarang eksploitasi manusia atas manusia yang lain.
Pesan kemanusiaan Idulfitri seharusnya menjadi pijakan ummat Islam dalam beraktivitas sehingga segala perkataan dan perbuatannya menghormati dan menghargai individu lainnya. Sejak awal, Islam diturunkan dalam konteks zamannya, pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya serta sistem ekonomi alternatif.

Alternatif terhadap sistem sosial-budaya dan sosial-ekonomi di tanah Arab, yang mana pada waktu itu sedang berlangsung sistem yang sangat tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seperti Islam sangat menolak sistem monopoli perdagangan dan riba yang dijalankan oleh para tokoh Quraisy pada kala itu.

Menghargai Perbedaan
Menghargai perbedaan etnis dan keyakinan. Begitu pun dengan ketidakadilan gender yang dilestarikan secara turun-temurun oleh orang-orang Arab, mereka tidak menghargai wanita pada zamannya. Inilah beberapa sistem yang dikritik oleh Islam, sehingga makna Islam sebagai rahmatan lil-'alamin menemukan relevansinya.

Seorang pemikir Islam, Al-Syathibi di dalam bukunya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah memperkenalkan konsep maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari'ah). Adapun tujuan-tujuan syari'ah Islam diturunkan ke muka bumi adalah agar supaya kemaslahatan kehidupan ummat terjaga, yang meliputi 3 (tiga) bagian, yakni 1). Al-daruriyat al-khams (kebutuhan primer) yang meliputi kemaslahatan jiwa, kemaslahatan agama, kemaslahatan keluarga, kemaslahatan akal, dan kemaslahatan harta benda, 2). Al-daruriyat al-hajjiyah (kebutuhan sekunder) yakni untuk mendukung terlaksananya kemaslahatan yang bersifat primer tadi; 3). Al-daruriyat al-tahsiniyyat (kebutuhan tersier) yakni meliputi kebutuhan yang bersifat tambahan. Dari ketiga maqasid al-syari'ah ini, terlihat jelas bahwasanya ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dan Idulfitri pun dapat bermakna sebagai kembali menegakkan dan mempraktikkan nilai-nilai kemanusiaan yang sekian lama terpendam atau terkaburi dengan sifat-siafat egois manusia yang tidak menghargai nilai-nilai universal tersebut. Kembali menegakkan sikap berlemah-lembut di lingkungan sekitarnya.

Kembali mempraktikkan tutur-kata yang baik di antara tetangga dan handai-taulan sekelilingnya. Kembali menghargai dan menghormati perbedaan ras, agama, etnis, suku dan keyakinan di antara masyarakat Islam, khususnya masarakat Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan ini seharusnya menggeser dan menggusur nilai-nilai kepri-binatangan yang menjadikan manusia belum mampu menjadi khalifah-sejati di muka bumi ini

Mengambil Hikmah
Sebuah kisah arif, di mana Timur Lenk menghadiahi Nasruddin seekor keledai dan ia pun menerimanya sepenuh hati. Akan tetapi Timur Lenk berpesan bahwa keledai itu harus bisa membaca buku dalam dua minggu.

Dan Nasruddin pun menyanggupinya. Sebagaimana kita ketahui bersama, dengan akal cerdiknya Nasruddin pun mulai memutar-otak dan berpikir bagaimana caranya keledai ini bisa membaca padahal ia adalah seekor binatang. Ia pun mendapatkan ide dengan memberinya seiap gandum di tiap lembaran buku itu.

Ia pun mulai melatih membolak-balik buku tersebut hingga akhirnya ia pun di panggil oleh Timur Lenk untuk mempertanggungjawabkan kesanggupannya mengajar keledai untuk membaca. Di hadapan Timur Lenk, Nasruddin pun mulai menunjukkan kepiawaiannya sehingga sang keledai itu pun dengan tenang mulai membuka sampul buku, terus membuka lembaran demi lembaran hingga ke lembaran akhir.
Nasruddin pun mendapat penghargaan dan applause dari sang raja Timur Lenk. Timur Lenk pun mulai penasaran dengan berkata dalam hati: "Sungguh hal yang aneh, seekor keledai dapat membaca hanya dalam waktu dua minggu?".

Dengan rasa penasarannya, ia pun mulai mempertanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh Nasruddin sehingga dapat menjadikan seekor keledai dapat membaca. Dengan hati tenang, Nasruddin pun menceritakan bahwa tiap hari ia melatih keledai buka lembaran buku yang mana di setiap lembaran terdapat gandum, sehingga mau tidak mau, sang keledai itu pun akan berusaha mencari gandum itu dengan membuka tiap lembaran.

Sang raja pun mengangguk sebagai rasa takjub atas didikan Nasruddin. Tetapi ia pun melanjutkan rasa penasarannya dengan berkata: "Kalau begitu berarti keledai itu tidak mengetahui dan mengerti apa yang dibacanya?

Nasruddin pun menjawab: "begitulah keledai hanya membalik-balik buku tanpa mengerti isinya".
Dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah bahwa jika seorang individu di bulan Ramadan dan Idulfitri hanya dilalui begitu saja, tanpa ada hikmah yang dapat dipetiknya, maka apa bedanya kita sekalian dengan seekor keledai yang hanya mampu membalik-balik buku tanpa mengerti isinya.

Bukankah seharusnya menjadi muslim sejati adalah dengan mengambil hikmah dari setiap lembaran peristiwa demi peristiwa dan dijadikan pelajaran untuk masa akan datang sehingga terwujud tatanan sosial yang menghormati dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan bathin. Selamat idul fitri 1430 H.***

Senin, 12 Juli 2010

Islam, Negara, dan Gizi Buruk

Pernah Diterbitkan oleh Media Harian Tribun Timur
Jumat, 6 November 2009

Menarik tulisan yang diangkat dalam Salam Tribun hari Selasa, 3 November 2009 berkaitan dengan memerangi gizi buruk, sehingga membuat penulis yang berkecimpung dalam ranah pemikiran Islam ingin rasanya memberi peran-aktif dalam memerangi dan menurunkan gizi buruk khususnya di kawasan timur Indonesia. Mengingat pemahaman agama yang luas dan dalam dapat memberikan pengaruh yang juga cukup besar dalam berperilaku sehari-hari.

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kesehatan. Hal ini dapat terlihat dalam firman Allah Swt dalam surah `Abasa ayat 24 yang berbunyi: "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya".
Walaupun ayat ini berbicara secara umum, tetapi secara intrinsic berkaitan dengan menjaga dan meningkatkan mutu kesehatan setiap individu. Begitu pula, Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu".

Dari dalil-dalil ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa Islam sebagai agama yang menjamin kemaslahatan manusia, juga menjamin peningkatan mutu kesehatan. Rendahnya kualitas kesehatan fisik secara tidak langsung juga mempengaruhi kesehatan mental.

Ajaran agama melarang kita untuk meninggalkan generasi-generasi pelanjut dalam keadaan lemah fisik, mental dan apatah lagi lemah hati.

Sejalan dengan itu, menurut Prof M Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al Quran mengatakan sekian banyak ayat-ayat Al Quran dan hadis yang berbicara mengenai kesehatan, dapatlah ditemukan bahwa ajaran agama mendahulukan pentingnya upaya pencegahan daripada pengobatan.
Ironisnya, persoalan kesehatan sangat jarang diperbincangkan, untuk tidak dikatakan cenderung diabaikan, kecuali hanya di sekitar lingkungan yang berhubungan dengan masalah tersebut, seperti dokter umum, perawat, dokter spesialis ataukah akademisi yang bergelut dengan pengetahuan ini.
Oleh karena itu, persoalan ini sangatlah mendasar karena berkaitan dengan mutu peningkatan dan sumber daya manusia Indonesia sekarang dan akan datang.

Tanggungjawab Negara
Kemarin, para anggota DPR/DPD telah dilantik dengan menelan biaya cukup besar senilai Rp 46, 049 miliar sebanding dengan 1.105 kali lipat biaya jaminan kesehatan masyarakat miskin (Kompas, 18 September 2009). Di sisi lain, anggaran biaya kesehatan sangat kecil untuk masyarakat yang menderita gizi kurang dan gizi buruk.

Padahal, perbaikan gizi sangatlah penting dan menjadi salah satu bagian dasar dalam meningkatka kualitas kesehatan. Gizi kurang adalah jika jumlah asupan zat gizinya lebih rendah dari kebutuhan sedangkan gizi buruk adalah jika jumlah asupan zat gizinya sangat kurang dari kebutuhan.
Gizi buruk dapat di bagi menjadi dua bagian, yakni marasmus (gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat) dengan tanda-tanda klinis seperti wajah sangat kurus, tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit, rambut mudah patah dan kemerahan serta adanya gangguan pencernaan.
Sedangkan kwashiorkor (gangguan gizi karena kekurangan protein) dengan tanda-tanda klinis seperti bengkak di kaki, perut buncit dan wajah membulat. Maka, "gabungan" marasmus-kwashiorkor dikenal luas dengan sebutan busung lapar.

Menurut data WHO, masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi karbohidrat 1.735 kilokalori/kapita/hari dan protein 5,5 gram/kapita/hari. Padahal, idealnya menurut WHO pula, seharusnya mengonsumsi karbohidrat 2.100 kilokalori/kapita/hari dan protein 60 gram/kapita/hari.
Dengan kurangnya asupan gizi inilah, sehingga usia rata-rata harapan hidup masyarakat Indonesia hanya berkisar 68-69 tahun dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang berkisar 72-73 tahun.

Diperlukan Kepeloporan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan gizi buruk adalah kurangnya asupan gizi dalam waktu lama dan menderita penyakit infeksi, sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara baik karena adanya gangguan penyerapan. Sedangkan secara tidak langsung, yakni kurangnya persedian pangan di rumah, pelayanan kesehatan yang terbatas, kesehatan lingkungan yang kurang baik dan pola asuh yang kurang memadai.

Setiap tahunnya Depkes RI, cuma menganggarkan 2,3 persen dari APBN, padahal WHO menyarankan seharusnya lima persen dari APBN. Dengan melihat kondisi obyektif nation-state Indonesia dalam konteks gizi buruk dan peningkatan kualitas kesehatan, maka diperlukan:
Pertama, kepeloporan. Dalam mewujudkan peningkatan kesehatan sangatlah diperlukan kepeloporan. Pengertian penulis, mengenai kepeloporan adalah adanya individu atau kelompok yang "berani" melakukan perubahan sosial terhadap negara dan masyarakat yang menuju negara sehat 2015 sebagaimana yang telah dicanangkan, maka peran Depkes perlu ditingkatkan.

Hassan Hanafi, seorang pemikir asal Mesir memberikan pembedaan antara "pemikir elit" dengan "pemikir massa". Pemikir elit adalah para pemikir yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif (tertutup), sementara pemikir massa adalah para pemikir yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik massa (intelektual organic).

Oleh karena itu, kepeloporan adalah suatu keniscayaan untuk membawa nation-state Indonesia ke arah yang lebih baik dan sehat, sehingga Human Development Index (HDI) menjadi lebih baik lagi dibanding tahun-tahun kemarin.

Pada 2008 lalu, HDI Indonesia berada diperingkat 107 di antara 177 negara, dibandingkan Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 63), Thailand (peringkat 73), Filipina (peringkat 90), dan Vietnam (peringkat 105). Unsur HDI ini ada tiga bagian yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Kedua, reformasi kesehatan, yakni membongkar selubung hegemoni dengan menciptakan reformasi kesehatan dengan cara meningkatkan anggaran kesehatan. Minimnya anggaran kesehatan menjadikan pelayanan dan akses kaum miskin terhadap kesehatan pun menurun. Adalah ironis, Indonesia sebagai Negara agraris dan bahari dengan cakupan sumber daya alam (SDA) melimpah-ruah mempunyai masyarakat sakit-sakitan.

Menurut data, Indonesia adalah penghasil timah kedua terbesar di dunia, eksportir batubara thermal ketiga di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesr di dunia, penghasil nikel kelima terbesar di dunia, penghasil emas ketujuh terbesar di dunia. Tetapi sayangnya, kesemuanya sedang dieksplorasi dan dieksploitasi oleh pihak swasta-asing dan pemerintah Indonesia hanya memdapatkan beberapa persen saja dari SDA tersebut.

Bukankah tanggung jawab negara seharusnya sesuai pasal 34 ayat 2 dan 3 UUD 1945, pasal 12 Kovenan ekosob, pun di dalam DUHAM pasal 25 ayat 1 berbunyi: "Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya."
Di dalam kaidah Ushul fiqh dikatakan "Tasharruf al-imam `ala al-raiyah manutun bi al-maslahah" (Tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan).

Ketiga, dan persatuan. Kepeloporan tidak akan bermakna dan membuahkan hasil, jika kepeloporan tidak di ikat dan di rajut dengan persatuan. Fenomena kemiskinan dan rendahnya kualitas kesehatan terjadi di dalam struktur masyarakat menengah ke bawah.

Oleh karena itu, perlu adanya restrukturisasi program antar-departemen dengan cara menyatukan anggaran kesejahteraan di setiap departemen dalam satu wadah, tidak berjalan sendiri-sendiri. Dengan persatuan antar-departemen memungkinkan "mendongkrak" kualitas kesehatan yang selama justru diabaikan. Bukankah mengabaikan bidang kesehatan merupakan genosida yang secara perlahan merupakan tindakan negative terhadap kemanusiaan.

Ketiga faktor inilah, paling tidak, dapat menekan kasus gizi buruk dan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan. Hal ini tidak terlepas peran dan tanggung jawab negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya, meminjam pandangan Karl Jaspers, kita hanya merdeka dalam arti "hidup" (to live), bukan dalam arti "ada" (to exist), maka untuk tetap to live dan to exist, langkah maju dari amanat reformasi '98 adalah melanjutkan kerja-kerja pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Semoga pemerintahan pada Kabinet Indoensia Bersatu jilid II dapat mewujudkan masyarakat dengan kualitas kesehatan yang lebih baik lagi.***